18. Pergi

494 54 0
                                    

Tiga hari telah berlalu sejak insiden Aya dan Usy. Meski mereka belum akur dan memang tidak pernah akur, setidaknya tidak ada pertengkaran lain. Sepulang Usy dari ruangan pembina harian, mulut harimaunya sudah terjinakkan. Berganti dengan diam. Meski rasa kesal saat melihat Aya ataupun Nila selalu muncul di hatinya.

Selama tiga hari pula, Nila menghabiskan jam terakhir di perpustakaan. Bersama Erick, Aya, dan Syahid, mereka melatih Nila sekuat tenaga. Tapi, tak ada perubahan pasti. Meskipun hafalan materi Nila cukup baik, ekspresinya saat melakukan presentasi lebih buruk dari kata buruk itu sendiri.

Erick mati-matian mengajarinya cara tersenyum. Pernah sekali, Nila tersenyum seperti orang normal, tapi justru kelihatan aneh di mata Erick. Bukan tanpa alasan, Nia hanya menarik ujung bibir ke samping dengan binar mata datar. Tidak hidup. Mati. Erick sendiri bingung dibuatnya.

Seperti saat ini, Erick tengah mengusap wajah frustasi. Salah satu tangannya bertumpu pada sisi meja, sedang tangan lainnya sibuk memijat pelipis. “Hai, Bocah! Senyuman daru mata itu senyuman paling tulus. Kamu nggak punya otot mata buat senyum, ya?”

Nila mendengus kesal, melirik Erick tajam.

“Kenapa? Aku salah ngomong? Sana, duduk manis depan cermin. Liat mata kamu yang udah kayak tembok itu.”

Mata tembok? Memangnya ada mata tembok? Dasar gila! Nila merutuki. Wajahnya tertekuk, muak karena sejak tadi Erick selalu saja mengatainya.

“Nil, lihat aku deh. Terus ikutin cara senyum aku.” Aya memegang bahu Nila. Mereka berhadapansaat ini.
Aya tersenyum lebar, membuat matanya menyipit. Sedangkan Nila, gadis itu hanya memasang wajah datar.

“Senyum Bocah, senyum. Atau harus ya, aku disiksa dulu? Aku harus gantung diri sambil dicambuk di depan podium supaya kamu bisa menghayati presentase?” Erick mengacak rambut frustasi.

Mendengar hal itu, Nia nyaris terbahak. Erick terdiam, lalu mengangkat wajah ke arah Nila yang duduk di bangku seberang. Gadis itu justru membuang muka. Erick jadi gemas sendiri.

“Jadi kamu beneran suka liat aku tersiksa? Kejam kamu, Bocah. Aku salah apa sama kamu??? A—”

“Kayaknya ente lebih baik ke dapur, Rick,” seru Syahid memotong drama melow Erick. Pria itu benar-benar muak mendengar nada Erick yang luar biasa menggelikan. Syahid merangkul Erick, lantas menariknya keluar perpustakaan.

Dan Aya, gadis itu mematung di tempat. Tidak percaya telah melihat tawa Nila begitu dekat. “Ma syaa Allah, kamu cantik banget, Nil!”

Kakak adik tidak jauh berbeda. Sama-sama lebay! Nila menghela napas, mengambil tumpukan buku di atas meja lalu berjalan keluar perpustakaan. Dia juga keroncongan. Latihan membuat energinya terkuras.

***

Libur kedua. Waktu semakin cepat berlalu. Sudah tujuh hari yang Nila habiskan untuk latihan. Meskipun kemampuan penghapalannya di atas rata-rata, gadis itu benar-benar bermuka embok.

Setiap malam setelah shalat Isya di masjid, Aya akan menginterogasinya lalu melatih mimik wajahnya. Tetap saja, sia-sia.

Hari ini mereka tidak latihan. Untuk pertama kalinya setelah Ustadzah Syifa mengatakan perihal lomba, akhirnya Nila bisa mengikuti pelajaran terakhir. Ustadzah Aqila sedang menjelaskan di depan papan tulis tentang bangsa Arab sebelum Islam.

“Masyarakat badui mempunyai sektor pertanian subur di sekitar oase, sedangkan bagi Arab perkotaan, Arab Quraisy dikenal dengan perdagangannya yang jaya. Para pedagang biasanya ke Syam di musim panas dan Yaman di musim dingin,” jelas Ustadzah Aqilah. Tangannya bergerak reflek seiring dengan kalimatnya.

Nila hanya bisa melongo. Istilah-istilah yang disebutkan Ustadzah Aqilah tidak terdefenisi di otak gadis ini. Parahnya lagi, Aya sedang mengantuk. Berkali-kali tanganya menekan bibir agar tak terbuka saat menguap. Situasi yang sempurna.

Santriwati lainnya terlihat fokus. Hanya Aya dan Nila yang pikirannya berseliweran ke mana-mana. Mungkin karena kebiasaan beberapa hari terakhir. Apalagi saat bertemu Erick ataupun Syahid, dua gadis ini akan lupa arti mengantuk itu sendiri.

Di dalam ruang kelas XII MIA 2, Erick tidak jauh berbeda. Dia membulatkan mata, mengetuk kepala ke meja atau menepuk pipi berulang kali. Pelajaran matematika yang dibwakan Ustad Taufik lebih seperti kunang-kunang beterbangan. Deretan angka yang tertulis di papan putih itu melenyapkan semangat mudanya.

Tiga puluh menit kemudian, akhirnya pelajaran selesai. Seluruh santri dan santriwati menghela napas lega. Serentetan angka tadi benar-benar mmuakkan. Rasanya seperti masuk ke dalam kurungan gelap dan tidak tahu di mana jalan keluarnya.

“Rick, mau ke mana?” tanya teman sebangku Erick.

“Jemput Aya. Hari ini mau pulang ke kampung.”

“MAS ERICK!” teriakan Aya dari luar kelas membuat Erick sempat tersentak. Untung saja, Ustad Taufik sudah keluar. Kalau tidak mereka bisa terkena musibah. Bagaimanapun, status mereka di pondok tetaplah santri. Bukan adik kakak yang berada di satu atap.

“Aku duluan.” Erick keluar. Ransel hitam mengait di bahu lebarnya. Tiba-tiba sebuah suara menghentikan langkah pria itu saat berada di depan pintu.

“Erick!”

“Iya, Devi?" Deviani, teman kelas Erick, ketua kelas, dan pernah menjabat sebagai sekretaris OSIS. Senyumnya mengembang sambil menyerahkan buku tulis bersampul merah muda. Buku catatan Bahasa Arab.

“Untuk apa, Dev?”

“Supaya nggak ketinggalan. Balikinnya lewat Syahid saja, ya.” Erick meaggut-manggut lalu berterima kasih. Aya yang merasa diabaikan itu langsung menepuk lengannya keras.

“Aww! Apaan, sih?" Erick meringis. Pandangannya jatuh ke arah Aya yang melotot tajam.

“Eh, maaf. Itu salah saya.” Devi mengundur diri dari sana. Aya hanya mengedikkan bahu saat matanya bertemu dengan wajah datar Nila di sampingnya.

“Mas, kita jadi pulang, 'kan? Umi pasti nunggu di rumah.”

Pulang??? Nila menatap dua orang itu dengan alis berkerut.

“Nil, kamu jaga diri, ya. Ini penting banget soalnya. Aku nggak tau pulangnya kapan. Tunggu aja. Satu hal lagi, dilarang kangen!” Aya cekikikan. Kedua tangannya memegang bahu Nila erat, seolah ada hal yang sedang dia tahan.

Nila tidak merespon. Matanya menatap punggung Erick dan Aya yang perlahan menjauh. Baru kali ini, seorang Erick diam di hadapannya. Apa yang terjadi sebenarnya?

***

Bismillaah.
Erick dan Aya harus pergi dulu. Jangan tanya ke mana hohoho *tawa jahat

Karena ini POV 3 berpusat pada Nila, aku menyatakan NO SPOILER😂

Sebenarnya nih, aku niatnya up pas jumlah viewer genap 700. Bukan karena apa-apa sih. Lagi pengen jahat aja gitu😂 (jangan digebukin ya. Sekali-kali jahat gak pa-pa dong😢)

Tapi karena aku sayang sama dia, bukan kalian, meski dia gak peka. Eh, salah salah.

Karena aku sayang, makanya up meski minus 7 menuju 700. Itu aja udah excited banget😍. Makasih udah ngikutin kisah mereka sampai detik ini, yoh😘

Spoiler dikit nih, siapin hati kalian untuk next part😂😂

Salam Sayang,

Nuril a.k.a Miss Typo😘

Vanilla Latte (END)Where stories live. Discover now