06. Si Penghuni Lama (b)

9.8K 1.3K 46
                                    

Alisa memandangi dirinya di depan cermin rias yang sudah setengah menghitam karena terbakar. Dia hanya bisa memandangi rok kotornya.

"Bagaimana caranya kita bisa selamat?" tanyanya lirih, nyaris seperti bisikan. "Kenapa aku kotor sekali?"

Digo menjawab dengan enteng, "selama terhindar dari orang gila itu, kita selamat, kok. Aku sudah hafal saat dia akan datang dan saat dia sudah masuk kamarnya lagi."

"Kamu sudah hafal?"

"Iya, akibat terlalu lama disini."

"Memang ada tanda? Tanda apa yang kamu maksud? Apa tandanya orang gila itu datang dan pergi?"

"Semacam ada bunyi kicauan burung."

"Tapi tadi tidak ada bunyi apapun! Kami tidak mendengar apapun."

"Semakin kamu lama disini, indera pendengaran dan penciumanmu akan berkembang, percayalah. Ini rumah sudah seperti hutan belantara dimana kita harus bertahan hidup dari singa kelaparan. Nanti juga terbiasa."

"Nanti juga terbiasa, kamu bilang? Bagaimana kamu bisa setenang ini, Digo, ini mengerikan. Sungguh."

"Jangan cemas, aku temanmu sekarang. Dan juga, kuperingatkan, disini banyak jebakan pintu aneh, setiap pintu bisa menuju ke tempat lain, aku tahu ini membingungkan dan menakutimi, tapi tenanglah, aku punya peta rumah ini. Kita tidak akan tersesat saat ingin kemanapun. Orang seperti kita terkadang harus tetap mandi."

"Terkadang harus tetap mandi? Daripada mandi, aku lebih mengkhawatirkan bahan makanan," sahut Alisa yang sebenarnya saking takutnya tidak merasakan apapun. Dia hanya ingin pulang. "Apa kita akan dapat makanan? Aku tak melihat pintu keluar ataupun gudang makanan dimanapun. Selama kita tak bisa keluar, bagaimana caranya kita makan?"

Digo memalingkan pandangan. Ada sesuatu hal yang membuatnya enggan untuk membahas makanan jika bersama Alisa. "Eh, makanan, ya. Kamu tak perlu mencemaskan makanan sebenarnya."

"Selalu tersedia'kan?"

"Ya, ada makanan setiap pagi di meja bawah. Jangan tanya siapa yang menyiapkannya."

"Siapa?"

Digo malah tersenyum mendengarnya. "Kubilang'kan jangan tanya karena aku tidak tahu."

"Maaf."

"Kenapa kamu tak istirahat saja, Alisa. Rebahan saja disini. Aku akan duduk di lantai kalau kamu rebahan."

Alisa menggelengkan kepala. Dia masih fokus caranya untuk keluar. "Apa kamu tidak berencana membunuhnya lagi? Aku bantu, bersama orang lainnya, aku yakin kalau kita bekerjasama, mungkin ..."

"Tidak. Sekarang tidak lagi. Aku sudah nyaman disini, asalkan kami tidak bertemu, seatap tidak masalah," potong Digo menyentuh dahi sesaat. Lalu dengan sengaja mengacak poni rambut hitamnya agar menutupi kening tersebut.

"Digo, pikirkan keluargamu!"

"Sebenarnya aku yatim piatu, tidak ada yang peduli aku hilang atau kemanapun. Intinya aku ... tak mau melakukam sesuatu yang berbahaya sekarang."

Alisa menyentuh lengan Digo, berusaha memahami apanyang dirasakan oleh laki-laki itu. Dia yakin ada hal buruk yang telah terjadi. "Aku mungkin tak tahu apa yang sudah kamu alami, tapi aku harus keluar dari sini, apakah, tolong katakan, apakah hanya itu satu-satunya jalan? Aku tidak mau berdiam di rumah ini selamanya."

Digo memandangi pegangan tangan Alisa. Sudah lama tidak ada tangan yang menyentuhnya. Senyuman tipis tersungging di bibirnya. "Kamu mau menyelidiki tentangnya?"

"Jika itu bisa membuatku bebas dari sini, akan kulakukan! Aku mohon bantulah aku! aku tidak mau satu atap dengan iblis! Bisa saja dia menusuk kita saat kita mencari makanan."

"Makanan lagi," ulang Digo menertawainya sedikit, "sudah kubilang, kamu tak perlu mengkhawatirkan itu, nanti juga tahu alasannya."

Alisa agak keberatan dengan sikap itu. Kedua matanya tampak berair, takut dan sedih, karena kematian Gilang. Belum lagi suara teriakan tadi membekas dalam benaknya, serasa membentuk sebuah trauma. "Digo, bisa-bisanya kau tertawa di saat seperti ini? Ada orang yang tewas tadi."

"Maaf." Digo manggut-manggut turun dari ranjang, lalu duduk di kursi membelakangi meja rias menghadap langsung Alisa, "oke, akan kubantu. Aku juga sedikit penasaran dengan pria itu, besok ayo kita cari tahu tentangnya. Kalau beruntung, kita mungkin bisa membunuhnya. Kalau beruntung. Asal kamh tahu saja, usaha sekeras apapun kalau tanpa kebetuntungan, disini takkan ada gunanya."

Ucapan Digo seperti orang uang putus asa, tapi berusaha menutupinya karena sedang bicara dengan Alisa. Iya, terlihat dari gurat wajahnya yang sendu, bisa dipastikan dia sangat sedih karena suatu hal. Namun, sentuhan tangan Alisa barusan entah mengapa menyalakan kembali api semangat di dalam hatinya.

Alisa tersenyum. "Tentu! Aku akan meminta bantuan ..."

Digo menggelengkan kepala. "Tak perlu. Semakin banyak orang, nanti semakin rumit. Kita berdua saja. Setelah itu kita pikirkan cara setelah mendapatkan semua informasinya."

"Kamu memang jenius."

"Karena aku sedikit bosan berada di situasi ini terus."

"Apa kamu tak takut?"

Digo menggelengkan kepala, "Sebenarya takut pasti ada, tapi aku juga sedih sekaligus bosan. Semakin lama kamu disini, nanti juga paham perasaanku."

Alisa semakin penasaran dengan jati diri Digo. Lelaki ini terus saja mengulang kalimat 'semakin lama disini, nanti juga terbiasa, nanti juga paham'.

Melihat Alisa yang tampak gelisah, Digo langsung menjelaskan, "tapi jangan khawatir, aku juga mau lepas dari sini, aku tidak mau satu atap dengan orang gila yang ditusuk tidak mati itu. Menyebalkan, bukan?"

"Digo ..."

"Kalau ingin berhasil, kuncinya itu tetap waspada dan takut tak masalah, asal jangan terlihat takut. Dulu aku gagal karena ketakutan seperti kalian tadi. Saat kita terlalu ketakutan, akhirnya kalang kabut, lalu mati."

"Oke, aku mengerti."

"Sebenarnya," tukas Digo menatap serius Alisa. Jeda sejenak, lalu bertanya, "kamu pasti tahu kalau ruangan-ruangan aneh ini ada penghuninya'kan? Ada yang kosong bisa ditempati, tapi kadang ada penghuninya seperti pasien sakit jiwa itu?"

"Ya, kenapa?"

"Dulu aku pernah berpikir kalau sebenarnya pemilik rumah ini juga salah satu satu penghuni 'kamar-kamar aneh', ya mungkin dia hanya bisa keluar saat matahari terbenam. Siapa tahu'kan?"

"Kurasa berada disini sebentar saja, pemikiran realistis akan segera hancur."

"Benar, dulu aku juga begitu. Disini ada orang gila, ada mantera, ada hal-hal mistis lainnya. Aku jadi penasaran siapa yang membangun rumah ini, aku belum tahu sejauh itu."

"Kamu benar."

Tiba-tiba terdebgar suara ketukan pintu yang menggangu obrolan merek. Ketukannya pelan, pelan dan berubah keras. Kemudian, seseorang berbisik di balik pintu:

"Alisa, tolong aku, biarkan aku masuk."

Alisa kaget mendengarnya suara tersebut. Meskipun baru mengenal, tapi dia sangat yakin kalau itu adalah,"Dewi!"

Digo memasang ekspresi wajah datar, sudah tahu apa yang terjadi, dan tidak berminat untuk membuka pintu.

"Digo, temanku ... Dewi, dia ada di depan pintu." Alisa panik memandangi Digo dengan tabgan menuding ke arah pintu.

Situasi berubah mencekam.

Suara ketukan pintunya semakin keras dan suara mirip Dewi itu terus meronta-ronta di balik pintu.

***

Can't Escape [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang