Tentang Kafani(1)

6.5K 493 13
                                    


"Jadi, Nenek. Nenek Rahma?" Tanyaku setelah melipat mukena. Wanita disampingku mengangguk yakin. Aku masih mengingat-ingat kejadian demi kejadian yang kulalui bersama Kafani empat tahun lalu.

"Pas Agatha ketemu nenek dimana?"

"Kamu masih kepikiran?" Aku mengiyyakan dengan isyarat kepala yang kugerakkan keatas kebawah.

"Waktu itu kalian kerumah nenek dengan seragam bercat sana-sini, katanya merayakan kelulusan." benar, itu hari dimana kami berkomitmen setelah 2 tahun pacaran. Aku mengingatnya.

"Kamu mau berjanji?"

"Untuk?"

"Untuk tidak kemana-mana, tetaplah disampingku," teriaknya yang sedang memfokuskan pandangannya kedepan. Aku dibelakangnya, menjadi penumpang setia.

Aku diam dengan hati bergedebuk tak tentu sambil memerhatikan jalanan yang ramai pengendara terutama anak SMA yang hari itu merayakan kelulusan. Banyak para remaja berseragam dengan oretan spidol dan ...

"Hey.. kenapa diam?" Sergahnya menolehkan kepalanya kebelakang. Hati berbunga membuat suaraku tercekat, tak tahu lagi apa yang akan kuucapkan, seolah hanya bisa mengangguk yakin.

"Kok gak jawab sih?"

Ih, dia gak tau apa aku gerogi. "Udah nyetirnya yang fokus." pergerakan tanganku membenarkan kepalanya agar pandangannya fokus kedepan, "kamu gak mau kan kita lecet-lecet di hari kemenangan?"

"Kalo aku yang lecet gak papa asal jangan kamu."

Dasar pria gak tahu diri, bisa-bisanya tak pernah berhenti membuat pipiku bersemu merah. Kucubit pinggang kirinya.

"Awss.. sakit Tha," ringisnya dan menurunkan laju motornya.

"Kamu sih, udah tahu jalanan rame gini, masih aja gombal. Kalo kamu yang lecet aku yang nggak rela."

"Hahaha.. " tawanya yang tak pernah aku lupa. Renyah. "Iyyadeh sahabat sekaligus pacarku."

"Hah?"

"Iyya, sahabat, sekaligus pacar. Dari menjadi sahabat sampai jadi pacar kamu selalu gak rela aku kenapa-napa."

iyya karena aku sayang.

"Betah banget duduk dimotor, gak mau turun?" Aku terperangah, ternyata motornya sudah berhenti melaju dan aku masih diam?

Kulihat sekitar, tak ada lagi jalanan yang ramai pengendara. Hanya rumah berukuran sedang tapi asri dengan tanaman bunga-bunga disekitarnya.

"Kita dimana?"

"Makanya turun dulu biar tahu kita dimana." aku menurut.

Setelah memarkirkan motornya, Kafani menarik tanganku untuk mengikutinya. Dia mengtok pintu depan dengan senyum bahagianya.

"Assalamualaikum, Nek," sapanya saat perempuan yang ku perkirakan berusia setengah abad membuka pintu dan tersenyum.

"Waalaikumussalam. Siapa ini Kaf?"

"Yah Nenek kok langsung ditodong pertanyaan sih, gak disuruh duduk nih?" Aku hanya diam membiarkan nenek itu menatapku dari bawah hingga atas dan berhenti tepat dipandangan mataku.

"Hehe iyya Nenek lupa, abisnya kamu bawa bidadari kerumah nenek yang jelek ini." ah, Nenek bisa aja buat aku tersipu.

Aku tak bertanya perihal siapa nenek dihadapanku ini, biarkan kafani yang menceritakannya sendiri.

Nenek datang dengan secangkir teh, diletakkannya dimeja bundar tepat dihadapanku. Lalu dia duduk disampingku sedang Kafani duduk dihadapanku memangku dagunya.

"Kok bawa satu Nek tehnya?"

"Kan tamunya satu, lagian kamu biasa ambil sendiri," cibir nenek melirik Kafani acuh.

Aku masih bingung dengan percakapan keduanya yang membuatku hanya bisa berasumsi bahwa dia adalah Nenek Kafani, karena sebelumnya Kafani tak pernah menceritakan perihal wanita disampingku ini. Tapi, Kafani keluarga berada, kenapa neneknya tinggal dirumah sederhana?

"Ayo diminum tehnya."

"Iyya nek terimakasih, maaf merepotkan."

"Hah, nggak kok. Justru nenek senang Kafani bawa teman. Eh temannya ya? Atau pacarnya? Siapa sih Kaf?" Tuntut nenek pada Kafani yang sudah nyengir gak jelas lalu berbisik tapi masih terdengar jelas.

"Dia calon istriku nek."

Blush.. hampir saja aku terbang kekayangan mendengar kata istri sampai-sampai membuat retina nenek membulat sempurna dan tersenyum bangga.

Percakapan berlanjut dengan candaan garing Kafani berpadu gombalan ala nenek Rahma. Iyya, namanya Rahma sama dengan nama ibuku.

"Nenek pengen deh ketemu sama ibumu, selain karena nama yang sama, nenek juga penasaran seperti apa wajahnya. anaknya aja secantik ini, pasti ibunya gak kalah cantik," kerlingnya menggodaku yang sejak tadi tersipu malu.

Aku menyeruput teh dihadapanku untuk menetralisir rasa maluku yang sejak tadi nenek puji tanpa henti.

"Kamu beneran mau jadi istri Kafani?"

Pertanyaan nenek benar membuatku kikuk setelah tadi pertanyaan Kafani hanya kujawab dengan anggukan yang mungkin tak terlihat olehnya karena sedang mengemudi.

"Nenek masih tanya, liat tuh pipinya udah merah kayak make blush on."

Bukan menutup pipiku yang merah, justru aku terheran kenapa Kafani bisa tahu blush on?

"Tahu dari mana blush on?"

"Jangan mengalihkan deh Tha. Kamu tersipu kan?" Decaknya memainkan sebelah matanya. Ingin rasanya kulempar muka jahilnya dengan gelas didepanku agar berhenti menggodaku.

Sekelumit kejadian bersama Kafani terngiang. Dia memang selalu mampu buat aku tersipu bahkan hanya mengingatnya. Aku tersenyum tapi penuh luka. Senyum itu bukan lagi tersipu bahagia dan berbunga-bunga.

"Agatha langsung pulang?"

"Hah," aku terjingkat kaget, sedari tadi aku termenung menunggu nenek menyelsaikan melipat mukenanya.

"Iyya nek, Agatha langsung pulang."

"Nenek boleh ikut Agatha? Nenek ingin bertemu bundamu. Pasti cantikmu menurun dari ibumu." aku lagi-lagi tersenyum penuh luka. Luka bukan karena Kafani, tapi karena kehilangan. Tapi, aku bersyukur, dengan begitu aku tak harus melihat bunda bersedih karena ayah yang ditahan.

"Bunda sudah tiada, Nek."

"Innalillah, yang sabar nak. Kapan yang tiada?"

"Setahun yang lalu."

"Hoo.. pantes saat Kafani kerumah dan menanyakan kenapa tidak membawamu, Kafani bilang kamu lagi sibuk. Itu karena kamu lagi berkabung? Yasudah nenek pulang aja."

"Biar Agatha yang antar nek."

"Gak ngerepotin kan?"

"Nggak kok nek, justru Agatha senang."

Kami berlalu dari pintu masjid menuju parkiran dimana kak Ano memarkirkan mobilnya. Ternyata dia sudah menunggu menumpu tubuhnya dengan kedua tangannya dibemper depannya.

"Kak, kita antar nenek kerumahnya, ya." Ia hanya mengangguk dengan senyum lelahnya. Iya dia lelah, itu pasti.

"Kakak capek ya?" Tanyaku setelah duduk dikursi belakang, seolah kak Ano supir pribadi.

Kak Ano memutar kepalanya 90° dan tersenyum, "demi adek kesayangan, lelahnya gak kerasa tuh."

Ustadz Pribadi (End)Where stories live. Discover now