5

875 35 1
                                    

Pengunjung cafe sangat ramai. Vannya menunggu diruangan manager cafe. Manager cafe yang diyakini seorang perempuan muda seusianya itu masih diluar menunggu pemilik cafe menyetujui adanya pekerja baru.

"Maaf mbak Vannya sudah menunggu lama. Kata pemilik anda boleh kerja disini mulai besok." ucap manager itu seraya duduk dikursi kebesarannya. Vannya tersenyum lega.

"Terima kasih bu," ucap Vannya dengan binar senang.

"Jangan panggil 'bu' saya bukan ibu kamu. Panggil aja aku Reka kita seumuran juga. Oh ya kamu pulang kantor jam berapa?" tanyannya,

"Pukul 6 sore, Ka. Sepulang dari sana saya langsung kesini. Boleh, kan?" tanya Vannya.

"Iya boleh pergantian sift malam sama siang itu pukul 7 kok. Semoga kamu betah kerja disini nantinya." Reka mengulurkan tangannya dan Vannya menjabat tangan tersebut.

Vannya tersenyum lega, kerja tambahannya akhirnya ia dapatkan. Sesampainnya dihalte dirinya menunggu angkutan umum. Namun sudah satu jam menunggu tak ada satu pun angkutan umum yang lewat. Vannya memutuskan jalan kaki saja menuji rumahnya hitung-hitung hemat biaya juga. Kenapa Vannya jarang menggunakan ponsel? Bagi Vannya ponsel miliknya tak penting karena tak ada satu orang yang menelfon atau bertegur sapa lewat ponsel itu. Mungkin hanya orang rumah saja yang akan menelfon menanyakan kapan dirinya akan pulang.

Tak terasa ia melangkahkan kakinya kini sudah sampai dipertigaan rumahnya. Vannya mengeluar botol minuman dari dalam tasnya. Rasa dahaga sudah dialiri air melalu tenggorokannya. Vannya selalu membawa minum dari rumah dan ditaruh dalam tas ranselnya.

Merasa ada yang mengukutinya Vannya menegok kesamping adan kebelakang. Tidak ada orang kenapa dia merasa ada yang mengikuti. Tak ambil pusing Vannya melanjutkan langkahnya menuju rumah. Didepan rumah seperti biasa ibunya akan menunggu dia pulang didepan teras.

"Assalamuallaikum, Vannya pulang."

"Waalaikumsalam, capek ya sayang." elus sang ibu pada bahu Vannya saat Vannya memeluk ibunya.

"Lumayan lah bu. Bu ini uang gaji pertama Vannya. Maaf ya bu uangnya tidak sesuai gaji Vannya. Gaji itu terpotong karena kecerobohan Vannya." ucap Vannya tak berani menatap mata sang ibu.

"Tak apa nak, ini udah cukup bagi ibu. Semoga cukup untuk kebutuhan keseharian kita dan biaya tanggungan adik-adikmu." ucap Ibu dengan langkah pelan memeluk bahu anaknya untuk duduk diruang tamu.

"Tapi bu, itu nggak bakal cukup. Gaji Vannya dipotong 50% itu sama saja separuh dari gaji yang sebenarnya bu," Vannya memainkan jari-jari tanggannya.

Ibu Vannya tersenyum bangga memiliki anak seperti Vannya adalah anugerah dari tuhan yang paling indah. Impiannya tercapai memiliki keluarga utuh dan dikarunia anak-anak yang berbakti pada kedua orang tua.

"Vannya minta maaf ya bu. Vannya janji nggak bakal ceroboh dan Vannya juga sudah mendapat pekerjaan tambahan ditempat lain dengan sift malam." lanjut Vannya memberitahu keseharian dan langkah yang ia ambil tadi sore.

"Loh Van, jangan gitu kamu nggak lelah jika kamu terus memfosir tubuh kamu buat aktivitas kerja kesehatanmu bakal terganggu, nak." nasehat Ibu, Vannya menunduk dengan memasang telinga memahami setiap kata ibunya.

"Maaf bu, Vannya harus mengambil langkah itu supaya adik-adik Vannya dapat sekolah tinggi. Ibu jangan khawatirkan Vannya."

Ibu mengangguk akhirnya ibu Vannya menyetujui keputusan anaknya dengan berat hati. Bukannya Ibu Vannya tak senang anaknya giat bekerja. Tapi keinginan Vannya juga demi kebahagiaan adik-adiknya. Beruntunglah memiliki anak seperti Vannya memikirkan kebahagian keluarga dan sayang keluarga.

Wanita Tangguh✓Where stories live. Discover now