thirteen

188 29 18
                                    

"Tumben banget manggil malem-malem," kak Taeil menghampiri gue yang diam di depan kafe yang cukup jauh dari kampus itu, "Nge-date ini kita ceritanya?"

"He eh, iya deh," Gue cuma mendengus melihat ekspresi kak Taeil yang senyam-senyum, "Gih pesen minum dulu."

Kak Taeil menyengir lebih lebae, "Ditaktir gak nih?"

"Iya."

"Hehe bercanda--EH BENERAN?!"

"Apasih kak kayak aku jarang nraktir aja?" Gue mendengus sambil memberikan menu ke arahnya, "Mcd bulan lalu itu yang bayar aku lho!"

"Itu kan bareng anak-anak klub, bukan sendiri sendiri!" Kak Taeil memanggil pelayan kafe tersebut, dan dengan cepat memesan segelas Americano, "Less ice tapi ya mbak~,"

Gue mengeleng-ngelengkan kepala, "Dah malem tetep minum Americano, apa gak nangis lambung kakak?"

"Lho ini kan sengaja, jadi nanti kalo sakit bisa ngemis ke kamu buat rawatin soalnya kamu yang beliin Americanonya,"

"Aduh nyesel ngomong deh,"

Kak Taeil ketawa renyah, "Bercanda, bercanda~,"

Gue cuma bisa mengerlingkan mata sambil menyesap matcha latte gue yang esnya udah setengahnya mencair. Tak lama kemudian, ice Americano kak Taeil datang.

"Jadi," kak Taeil membuka mulut sambil mengaduk-aduk gelasnya, "Kenapa ngajak ketemuan? Kakak tau kamu bukan orang yang ngajak ketemu orang karena gabut. Tapi jangan minta kenaikan budget lagi ya, kakak udah gak bisa negosiasi sama anak keuangan!"

Gue cuma bisa menghela nafas.

"Kak Taeil udah tau kan sebenarnya aku mau ngomongin apa?"

Cowok di depan gue malah mengendikkan bahunya, sedotan masih tergigit di antara kedua bibirnya.

"Kak. Hubungan kakak sama kak Doyoung apa?"

Dia mengerjap-ngerjapkan matanya. Sedotan sudah lepas, dan sekarang kembali mengaduk-aduk gelasnya. Rasanya lama sekali ia diam sampai akhirnya ia membuka mulutnya.

"Teman beasiswa,"

Otomatis gue menaikkan alis gue mendengar jawabannya.

"Teman beasiswa?"

"Teman beasiswa."

Gue mengeleng-mengelengkan kepala, "Kak, stop bercanda,"

"Aku gak bercanda Maxine," kak Taeil tersenyum kecil kepada gue, "Aku sama Doyoung gak punya hubungan lain kecuali kita sesama penerima beasiswa yang sama. Nothing more,"

Rasanya emosi gue naik. Meskipun kalo ditanya kenapa--gue gak tau. Gue gak tau kenapa gue marah kak Taeil merahasiakan apapun yang dia rahasiakan itu kepada gue.

Padahal sebenarnya, gue tau jelas kalo gue bisa mengikuti saja apa kata kak Doyoung.

Jangan ikut campur.

"Kak, serius? Bohong di depan mataku banget gini?"

"Aku gak bohong sama kamu, Maxine."

Ah, maaf Jungwoo.

Ternyata memang gue anaknya suka ikut campur urusan orang.

"Okay," gue berdiri, "Thanks kak. Aku duluan,"

"Maxine," kak Taeil memegang tangan gue sebelum gue pergi, "Akan lebih baik kadang-kadang kita gak tau apa-apa daripada tau apa-apa."

Gue mendengus.

"Aku tau."










"Mungkin harusnya lo bilang aja,"

Gelas Americano Taeil sudah mencapai setengahnya, saat seseorang duduk kursi di depannya. Taeil hanya bisa menghela nafas mendengarnya.

"Tau gak, dulu Maxine pas ospek kampus ngapain?"

"Ngapain?"

"Berantem sama anak divisi acara gara-gara temen segrupnya pas dikasih tugas nembak anak bem, disuruh dibacain di lapangan ke semua partisipan ospek,"

"Buset, lagian udah gua kasih tau jangan suka ngasih tugas aneh-aneh dah. Terus yang menang siapa?"

"Gak tau. Katanya diselesaikan secara 'kekeluargaan'. Gak pernah nanyain ke Maxine juga takut dimarahin." Taeil kembali menghela nafas, "Makanya itu gue gak ngasih tau. Gue tau Maxine kayak gimana--meski bukan masalah dia, tapi kalo dia liat situasi yang gak sejalan sama prinsip dia, dia bakal ikut campur. Untung aja sekarang udah lebih kalem karena gak banyak yang terjadi di kampus."

"Ngomongnya udah kayak bapaknya aja. Bukannya lo baru kenal Maxine pas dia masuk circle ya?"

"Secara formal. Non-formalnya, gue udah tau Maxine dari awal SMA,"

"Anjir, stalker?!"

"Bukan gitu! Aduh, bikin pengen ngumpat aja deh lo! Gue cuma tau karena dia dulu pas SMA suka banyak kabar berantem, entah fisik entah adu mulut. Seringnya karena adeknya sih, kayaknya dulu suka digangguin,"

"Wow. Terus yang menang siapa?"

Taeil melototi teman yang duduk didepannya itu.

"Apa sih lo sama menang-menangan??? Ketularan Sicheng???"

"Eits kalem. Saya kan juga mantan NCT. Menang kalah itu perihal penting,"

Taeil cuma bisa mengelengkan kepalanya.

"Maxine yang menang. Most of the time,"

"Lah, kalo gitu sih gue jadi lu gak akan khawatir. Kayaknya dia selalu bisa melewati masalahnya tuh, kalo di denger dari cerita lo,"

"Lo ga pernah suka sama orang lain sih," Taeil berdiri dari duduknya, "Semampu-mampunya manusia, gak akan ada orang yang bakal biarin gebetannya kesusahan kan?"











Bisa-bisanya udah gue lagi bete begini, terus hujan deras, terus ditengah-tengah gue lagi mau makan ada yang ngebel berkali-kali, keras.

Kayak, apasih, kalo pintunya gak di jawab, artinya antara emang gak ada orang dan gak diizinin ketemu kan? Apa sesesusah itu buat dimengerti?

(Sebenarnya gue gak perlu semarah ini karena bel. Tapi berhubung emosi gue karena kak Taeil belum reda, maka dari itu sayangnya semua jadi terasa menyebalkan.)

TING TONG TING TONG TING TONG--

"AAAAH IYA IYA APA SIH!"

Gue akhirnya meletakkan mangkok berisi mi itu ke meja, dan bergegas ke pintu. Siap untuk mendamprat siapapun yang dari tadi memencet bel  pintu gue.

"Ada apa sih--,"

Amarah gue sirna seketika saat membuka pintu.

Ada tetes-tetesan darah di lantai, yang sedikit-sedikit terbaur dengan genangan air hujan.

Nafas yang memburu dan tubuh yang mengigil.

Sinar mata yang redup dan tampak memohon untuk diselamatkan.

"Jungwoo...?"

"Maxine, maaf..."

forever young // k.jungwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang