fRiENds #2

4 0 0
                                    


Manusia adalah makhluk hidup yang paling egois dan serakah didunia ini. Mereka menginginkan impian mereka melebihi apapun, mereka menginginkan cinta, mereka menginginkan harta, dan masih sangat banyak apa yag mereka inginkan, tidak bisakah mereka berbagi semua itu? Mereka harus berfikir beberapa kali sebelum berbagi apa yang mereka miliki. Apa ada untungnya? Atau tidak?

Katakalah banyak orang yang suka berbagi, tapi berapa banyak orang yang perlu berfikir untuk berbagi? "Dia tidak normal." jika kau berfikir seperti itu, kenapa kau tidak berbagi kenormalan yang kau miliki? Sulitkah?

Tapi, dua paragraf payah itu tak perlu dipikirkan. Ya, itu hanya omong kosong. Semua orang akan berfikir seperti itu. Berfikir dan berkata memang sangat mudah, tapi bagaimana dengan melakukannya?

Aku juga termasuk dalam golongan orang-orang sombong yang sulit untuk berbagi. Sangat ironis sekali jika aku meminta orang-orang untuk berbaik hati agar mauberbagi. Aku manusia yang sialan, bukan? Tidak, mungkin lebih tepatnya menyedihkan. Aku yang sombong ini tak memiliki hak untuk menasehati orang lain untuk berbuat baik. Sialan.

"Kenapa kamu tidak bilang jika kamu tidak ikut latihan diKarasuno? Bukannya, kemarin kau bilang bahu dan kakimu tak apa?" Akiteru menatap sang adik yang masih berusaha mengatur nafasnya karena rally panjang match point terakhirnya. Kei hanya menunduk masih berusaha menghirup oksigen sebanyak mungkin. Bisa dibilang, bahwa staminanya adalah yang paling minim bila dibandingkan dengan pemain lain di timnya. Akiteru yang menyadari adiknya masih kesulitan untuk bicara langsung memberikan botol minum untuk adik tersayangnya itu.

"Aku merasa tak pantas bermain dengan mereka." Hanya satu kalimat yang diucapkan Kei. Tapi dengan satu kalimat itu, Akiteru yang masih berusaha memahami kondisi adiknya sekarang merasa dikhianati oleh kepercayaannya sendri. Akiteru hanya bisa terdiam, tak ingin menambah beban pada adiknya. Ia sendiri paham betul kenapa adiknya berkata seperti itu. Tapi, dirinya tak pantas disebut seorang kakak jika hanya bisa membuat adiknya selalu merasa terpuruk.

"Apa kau tahu, Kei? Tidak semua yang ada dipikiranmu itu benar, lho. Satu pendapatmu yang kau yakin itu sangat salah, bisa jadi dimata orang lain itu benar." Kei menatap kakaknya, ia tak begitu mengerti apa yang kakaknya katakan. Akiteru diam sebentar sebelum melanjutkan ucapannya yang masih dalam nadanya yang lembut, "Semua yang kau alami, semua yang membebanimu, bagilah pada kami. Kau tidak sendiri, Kei. Semua itu bukan hanya kesalahanmu." Setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya, Akiteru berjalan menjauh menuju teman-temannya. Ia tak mau memperpanjang perdebatannya dengan adiknya. Baginya, yang paling membahagiakan dirinya hanyalah ketika adiknya berhasil keluar dari rantai penyesalan yang melilit adik kecilnya itu.

Kei terdim sebentar. Ia tak begitu mengerti apa yang dikatakan oleh Akiteru. Haruskah ia mengetujui ucapan kakaknya sedangkan hatinya sungguh berkebalikan dengan ucapan mulia itu? Jika Iya, maka apa yang harus ia lakukan? Bukankah semua yang ia lakukan selama ini hanya menghancurkan hati, pendirian serta semangat orang lain?

"Lalu, Lalu apa yang harus ku lakukan, Nii-chan?" Kei menatap kosong tangannya yang barusaaj ia perban, apa yang bisa ia lakukan dengan tangan sialan itu? Akiteru menatap adiknya yang telah putus asa. Akiteru sungguh paham apa yang dirasakan adiknya. Kepribadian mereka mungkin berbeda jauh, tapi Akiteru bisa merasakan sakit dari belenggu penyesalan yang melilit adiknya.

"Berhentilah menyalahkan diri sendiri. Kau--" Belum selesai Akiteru bicara, Kei sudah lebih dulu menyela dengan tawa hambarnya. Ia sungguh putus asa.

"Bagaimana caranya? Aku yang menyebabkan semuanya. Mereka gagal karena aku. Aku yang tak pernah bisa berguna, aku yang sangat sialan, aku--" Tidak, Akiteru Tidak melakukan apapun. Ia tetap tenang dan diam menunggu adiknya melampiaskan seluruh bebannya pada cacian-cacian menyakitkan itu. Tapi, sayangnya Kei bukanlah orang yang kuat untuk mendengar cacian yang ia lontarkan pada dirinya sendiri. Ucapannya terhenti sebelum ia selesai. Tidak, tepatnya, cacian pelampiasaannya itu terhenti sebelum ia puas. Ia tidak merasakan kepuasan apapun. Yang ia rasakan hanyalah beban yang terus menghantam punggunggungnya.

Air mata yang telah memenuhi kelopak mataya sudah tak sanggup ia bendung. Rasa panas menjalar sampai daun telinganya yang sudah mulai memerah. Ia tak sanggup lagi. Kei bangkit dari duduknya, ia tak peduli dengan tatapan teman-teman kakaknya yang memeperhatikannya. Dengan cepat, ia menyambar jaket dan tasnya, lalu berjalan keluar.

"Aku duluan." Hanya dua kata terakhir yang menjadi penutup obrolan sialan melam itu. Akireru menympahi dirinya sendiri atas apa yang telah ia katakan pada adiknya. Kenapa ia tak bisa membela keputusan adiknya walau hanya sedikit? Akiteru yang kesal meninju tembok yang ada didepannya.

"Bukankah kau terlalu keras padanya, Akiteru? Menurutku, dia adalah blocker yang bagus. Tidak, mungkin lebih tepatnya sangat bagus." Akaizawa tiba-tiba menimbrung, mencoba memberi solusi pada teman pirang gelapnya itu.

"aku sudah tak mengerti lagi, Akaizawa-san. Dia memiliki bakat, tapi tak mau mengakuinya." Akiteru menggelengkan kepalanya kesal. Akaizawa kali ini hanya terdiam. Dilihat dari mana-pun, Akiteru telah mencoba yang terbaik.

"Kalau begitu, percayalah pada adikmu, Akiteru." Akaizawa menepuk bahu Akiteru. Lalu berseru lantang agar teman-temannya kembali berlatih tanpa blocker hebat bermarga Tsukishima yang telah melenggang pergi.

fRiENdsWhere stories live. Discover now