Apapun Untukmu 1/2

937 39 1
                                    

"Ma-maafkan A-Aku," Moon mencoba berbicara dengan segenap kekuatannya yang tersisa.

"Se-selama ini... A-Aku selalu men-men-cintaimu Yuen, se... lamat tinggal..." Moon menutup matanya setelah menghabiskan kalimat terakhirnya untuk Yuen. Moon telah pergi meninggalkan Yuen untuk selamanya. Kini, tiada lagi Moon yang Yuen sayangi.

Fin.

"Hwaaa, kenapa Moon matiii?!" Yaya memukul pundakku setelah menutup buku novel yang telah Ia selesaikan.

Buku novel itu Aku tulis sendiri spesial untuk Yaya. Ia yang memintaku menulis cerita cinta. Namun, karena harus menyelesaikannya di waktu Aku depresi dan penuh tekanan, ceritanya memiliki sad ending.

Gruduk.

Di luar sedang hujan deras. Setelah rapat OSIS dan semuanya sudah pulang, ruangan terlihat menakutkan ditambah listrik yang padam. Aku dan Yaya terpaksa menunggu hingga hujan berhenti. Kak Halilintar tidak ingin menjemput karena hujan terlalu deras. Sangat beresiko untuk membawa mobil. Sedangkan, rumah Kami cukup jauh dan Aku tidak bisa mengendarai motor.

"Gem, kapan hujannya berhenti? Bosen nih," Yaya mengeluh sambil memutar kursi yang Ia duduki. Aku hanya bisa tersenyum melihat kelakuannya yang tidak henti-hentinya bertanya kapan hujan berhenti.

"Tunggu aja ya,"

"Hmmn bosen banget, ngapain ya?"

"Main tebak-tebakan?" Pertanyaan dijawab pertanyaan, setelah itu Yaya mengangguk dengan cepat.

"Aku dulu ya, Gem! Angin, angin apa yang romantis?" Yaya duduk menghadapku.

"Anginku hanya bersamamu,"

"Ih, gaseru, Gempa kan emang selalu romantis!" Yaya melipat kedua tangannya ke depan dada lalu memuncungkan bibirnya.

"Kamu kenapa?"

"Gapapa,"

"Beneran?"

"Iya,"

"Kalo Aku lempar ke luar mau?"

"Nggak!" Yaya memukul pundakku lagi.

"Hmn, jadi milikku mau?"

"Udah pasti kan," Yaya memelankan suaranya namun masih dapat didengar. Jantungku berdegub kencang. Disaat berdua seperti ini memang cobaannya sangat banyak, apalagi dengan Yaya. Oh Tuhan kuatkanlah Gempa.

Deredum!

Yaya memelukku, erat sekali. Sepertinya Ia sangat terkejut mendengar petir tadi. Wajahnya imut sekali, oh tidak, Aku tidak tahan dengan pipi chubby nya. Aku membalas pelukannya, kuelus perlahan punggungnya untuk mencoba menenangkan.

Aku melihat ke luar jendela, hujan terlihat lebat sekali, bahkan pohon mangga di depan tidak terlihat. Aku turunkan kepalaku, kutatap Yaya yang membenamkan wajahnya ke pelukanku. Tak lama terdengar suara Yaya menangis. Entah apa yang salah, tangisannya semakin keras.

Posisi dudukku Aku benarkan, Yaya masih menangis dalam dekapanku walaupun sudah berlalu 5 menit. Aku tak tahu harus melakukan apa. Aku bukan seorang yang bisa membujuk seperti Kak Taufan. Aku letakkan kepalaku di atas kepalanya, menikmati wangi stroberi khasnya. Wangi yang selalu Aku rindukan.

It's All About Us ✔Where stories live. Discover now