Jiwaku surut
Hatiku porak-poranda
Aku memanggilmu
Untukmu, Lilili Yabbay
Mereka tak pernah menyangka bahwa memanggil orang yang sudah meninggal membuat mereka dalam bahaya.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
•••
19 Oktober 2018
Tak terasa, lima bulan semenjak meninggalnya Saera.
Boleh dikatakan, kalau suasana sekolah semenjak kepergian Saera berbeda. Setelah lima bulan, tak ada yang pernah melupakannya. Mereka selalu terbayang oleh kesalahan mereka yang menyebabkan Saera meninggal.
Gadis itu bagai menghantui kenangan mereka. Tak ada yang berani membicarakan Saera keras-keras. Atau sekedar mengucapkan namanya. Gadis itu membekas dalam ingatan mereka.
Jaehyun pun masih belum pulih dari lukanya. Dia ingat sekali betapa takutnya dia saat menemukan Saera tergeletak di lantai dengan pisau di tangan kanannya. Sedangkan pergelangan tangan kirinya teriris dalam. Darah menodai lantai kamarnya.
Jeno juga jarang tersenyum semenjak kejadian itu. Setiap hari dia habiskan untuk mengenang gadis yang dicintainya. Gadis yang tak sempat jadi miliknya. Gadis yang meninggalkannya lima bulan yang lalu.
Seperti saat ini, Jeno duduk bersandar di bawah pohon di taman belakang. Ada Jaemin bersamanya.
"Sudah lima bulan berlalu, Jeno," kata Jaemin. "Dan kamu masih belum bisa merelakan dia?"
Jeno menggeleng. "Apa kamu bisa merelakan orang yang kamu cinta meninggal setelah dibully habis-habisan?"
Jaemin terdiam.
"Bagian paling menyakitkannya adalah, semua orang seolah-olah mengenal dia dan mengenang dia," kata Jeno. "Padahal mereka juga penyebab Saera depresi."
"Aku tahu, tapi kamu juga harus melanjutkan hidup," sahut Jaemin. "Kamu tidak bisa seperti ini terus."
Jeno menutup matanya, merasakan hatinya kembali meretak. "Bagaimana aku bisa melanjutkan hidup, ketika penyemangat hidupku pergi selamanya dari sisiku?" tanya Jeno.
Lagi-lagi, Jaemin terdiam, memandang Jeno dengan iba.
"Aku tidak ingin menemuinya di makam," kata Jeno lagi. "Aku ingin melihatnya. Sosok aslinya."
"Kamu tahu kan kalau itu mustahil?" tanya Jaemin dengan pelan.
Namun, Jeno tidak menggubris pertanyaan Jaemin. Pemuda itu merasa sudah kehilangan akalnya.
Jeno putus asa.
•••
Jaehyun merenung, bahkan tak menyantap makan siangnya di kafetaria. Netranya sinis akan kelabu. Jaehyun benar-benar terlihat menyedihkan. Yang lain turut prihatin melihatnya.
"Jaehyun, tidak mau makan?" tanya Mark.
Jaehyun menggeleng.
"Sudah lima bulan lamanya, Jaehyun," kata Renjun.
Jaehyun tetap menggeleng.
"Aku rindu padanya," gumam Jaehyun pelan.
Semua langsung menghentikan aktivitas masing-masing. Terdengar helaan napas dari Seulri.
"Aku juga," kata gadis itu pelan.
"Kalau bisa, aku ingin melihat dia sekali lagi," timpal Kyunghee.
"Kesalahan kita tidak termaafkan," kata Bella. Dia menundukkan kepalanya dengan sedih.
Mark mengusap rambutnya frustrasi. "Kenapa hatiku rasanya sakit sekali?"
Tak ada yang bisa menyahut, karena mereka juga merasakan sakit hati. Ditambah rasa bersalah yang menggerogoti hati mereka. Bahkan, membicarakan Saera saja membuat hati mereka hancur.
"Apa kita pembunuh?" tanya Seulri. "Kita tidak bisa menyangkal bahwa kita yang menyebabkan dia bunuh diri."
Mark mengepalkan tangannya. Sedangkan Jaehyun diam saja. Mata Jaehyun menatap lurus ke depan. Dia terlihat yakin. Rahangnya menegang.
"Akan aku cari caranya," kata Jaehyun tiba-tiba.
"Cara apa?" tanya Renjun.
"Cara untuk menemuinya lagi."
Semuanya langsung terdiam membisu.
•••
Jaehyun pelan-pelan membuka pintu kamar Saera.
Itu adalah ruang yang selalu Jaehyun hindari setelah kepergian Saera. Tak pernah sekalipun dia mau masuk ke sana. Dia tak sanggup. Bahkan, melihat pintu kamarnya saja, Jaehyun tak bisa. Jaehyun tak akan bisa menahan air matanya.
Namun, demi menemukan cara untuk melihat Saera lagi, Jaehyun rela masuk ke sana. Jaehyun rela disiksa oleh rasa sakit. Jaehyun tahu dirinya sudah gila. Bagaimana bisa dia berpikiran untuk mencari cara melihat Saera lagi? Jaehyun hanya kalut. Dia tenggelam dalam rasa bersalah, hingga tak mampu berpikir rasional.
Jaehyun menutup pintu di belakangnya. Matanya menyapu sekeliling ruangan. Tak ada yang berubah. Tatanan kamarnya masih sama seperti dulu. Ayah mereka memutuskan untuk tidak mengubah apapun. Mereka membiarkan kamar Saera tetap seperti dulu.
Di lantai yang Jaehyun injak ini adalah tempat di mana tubuh Saera terbaring kaku. Dengan darah yang membanjiri lantai. Jaehyun sangat amat terlambat untuk menyelamatkan Saera. Andai saja saat itu Jaehyun pulang cepat, mungkin Saera masih bisa diselamatkan. Namun, Jaehyun malah pulang pada pukul dua malam. Saera sudah terlanjur kehabisan darah akibat nadinya yang putus. Dan Jaehyun hanya bisa menyesali semuanya.
Jaehyun menatap lantai lama-lama, sampai matanya terasa panas. Air mata berlomba-lomba keluar dari matanya.
Jaehyun jatuh berlutut, lalu menangis tersedu-sedu. Kepalanya menunduk, kedua tangannya mengepal, hatinya sesak. Jaehyun menangis dan menangis.
"Maafkan aku, Saera," bisik Jaehyun di sela-sela tangisnya.
Cukup lama Jaehyun menangis. Pemuda itu memutuskan untuk mengusap air matanya. Dia kemudian berdiri dan menghampiri meja belajar Saera. Buku-buku Saera memang selalu tersusun rapi. Jaehyun menyusuri tangannya ke meja tersebut.
Matanya kemudian mengarah pada loker kecil di meja tersebut. Pelan-pelan, dia membuka loker tersebut.
Jaehyun membelalak kaget ketika melihat sesuatu.
•••
argh, ternyata pusing juga bikin cerita ini :") maaf ya kalo semakin gaje. kalo kalian ada masukan, bisa kasih tau aku. bakal aku terima kok.