X. The Undesirable

4.8K 767 36
                                    

"Apa-apaan ini?"

Hampir semua orang di Hintarn telah berhamburan keluar, melihat bagaimana labirin Hitam yang terbentang di hadapan mereka diselimuti perisai mirip aurora merah muda dan keunguan. Ketika para cenayang ataupun guru mencoba meringsek masuk, tubuh mereka akan tersengat seketika. Arm tahu tidak ada gunanya berusaha menghancurkan perisai itu. Maka dari itu dia bergeming diam pada menara lonceng.

Perhatian Arm tidak hanya tercurah pada labirin yang seakan menjadi medan perang tersebut. Laki-laki itu juga sesekali melirik ke satu arah, di mana satu gadis juga tengah berdiam sambil membawa busur serta tabung berisi anak panah di punggungnya. Mereka berdua sepakat berpikir, tidak ada gunanya bertindak sementara siapa pun yang berada di dalam sana tidak ingin ada yang ikut campur.

Tapi bukan berarti mereka tidak melakukan apa-apa.

Karkhem langsung memerintahkan beberapa orang sekaligus untuk menyampaikan pesan keluar Hintarn. Karena labirin itu telah terkunci dari dalam, mereka terpaksa membuka segel pintu lain. Kalau saja Galadrim tidak pergi, laki-laki itu mungkin bisa langsung membantu. Tapi sekarang tidak ada yang tahu di mana keberadaannya.

Jauh dari kepanikan di luar sana, Dashana tidak bisa mencegah dirinya berlutut dengan napas yang terengah. Darah mengucur dari kepalanya, melewati pelipis dan menetes sesampainya di dagu. Rambut peraknya terurai dan meliuk diterpa angin. Baru saja dipukul mundur, kilat kemarahan masih tampak kentara pada pijar mata gadis itu. Dashana bangkit.

"Putri Tamaryn ..."

Suara itu berbisik, memenuhi udara di sekelilingnya.

"Bergabunglah dengan ayahmu ... tidak ada gunanya melawan ..."

Dashana tertawa pelan. Lama-lama tawa itu berubah keras. Dengan telapak tangan kanan, dia menutup wajahnya. Lalu seringai kelamnya muncul. Sepertinya akan gagal, dia membatin. Sepertinya memang bukan dia, gadis yang ditakdirkan menjadi permaisuri Allaghur. Dashana merasa lebih baik mati, daripada dirinya meminta bantuan siapa pun untuk membalaskan dendam ayahnya.

Tapi jika Dashana mati, siapa yang akan bisa melenyapkan bayangan iblis itu?

***

Prajurit penjaga berhamburan keluar saat salah satunya melihat emblem yang tersemat di jubah Galadrim. Mereka bersamaan menunduk sekilas pada laki-laki itu kemudian membukakan gerbang besar yang ada di hadapan mereka. Caral melangkah mengikuti dari belakang. Ketika jarak mereka bertambah lebar, Galadrim akan menoleh. Tatapan mereka bertemu dan Caral akan langsung berjalan lebih cepat untuk berada di dekatnya.

"Apa ayahku benar-benar tinggal di sini?" tanya Caral sembari mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.

"Ya," jawab Galadrim. "Tempat ini megah, namun kosong. Tidak masalah jika satu orang tinggal di sini atas permintaan kerajaan."

Mereka sampai di pintu depan, dengan sepasang pelayan yang membukakan pintu. Baru saja beberapa langkah masuk ke dalam, mereka mendengar derap suara kaki yang berlari. Caral mendongak, melihat bagaimana ayahnya bergerak cepat tanpa peduli tubuhnya beberapa kali oleng sampai hampir jatuh.

"Caral!" seru Yehu.

Senyum Caral merekah lebar. Langsung saja dia merentangkan tangannya, menyongsong Yehu. Ayah dan anak itu langsung berpelukan erat setelah lama tidak bertemu.

"Rambutmu! Coba lihat! Siapa yang—..." Caral hampir tidak bisa menemukan kata-katanya karena mendapati kepala ayahnya yang begitu konyol. Rapi dan ... bergelung layaknya bangsawan. Baru kali ini Caral melihat penampilan Yehu seperti itu. Sama sekali tidak cocok, seakan-akan dayang di sana membuatnya sengaja untuk mengejek orang tua pelupa tersebut.

Lady of PerishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang