Bagian 5

2.1K 224 30
                                    

"Nomor antrean 02, Joddy Prayata. Silakan masuk."

Seorang perawat berbaju merah muda memanggil. Aku tersenyum, mengisyaratkan Sekar menunggu di luar.

"Aku ikut, Jod."

"Oh, Mbak mau ikut? Yaudah ayo."

Sekar berdiri, lalu berjalan mengikutiku.

Perawat mempersilakan kami masuk ke sebuah ruang bercat putih. Aroma khas rumah sakit menguar dahsyat. Di sana, duduk seorang dokter laki-laki senior, dengan kepala yang dipenuhi uban, serta kacamata putihnya.

"Halo, Joddy. Selamat pagi."

"Pagi, Dok."

Dokter tampak membuka lembar demi lembar rekam medisku. Kemudian sedikit memperbaiki kacamatanya, dan tersenyum.

Dokter berdehem. "Ada perbaikan bulan ini? Masih suka begadang?"

"Lumayan lebih baik, Dok. Nggak begadang lagi," jawabku yakin.

"Tanpa obat?"

"Dengan obat, Dok."

"Jadi, tanpa obat masih begadang?"

"Betul, Dok."

"Itu namanya belum ada perubahan, Jod. Sejauh ini, saya selalu memberikan obat-obatan penenang. Kamu rutin konsumsi nggak? Sesuai jam nggak? Sudah hampir setahun lho kamu minum obat terus, ini sudah dosis yang lumayan tinggi. Ckckck, Jod."

Aku terdiam, sekilas menatap ke arah Sekar yang sedang konsen mendengarkan omongan dokter. Setahun mengonsumsi obat memang bukan hal yang baik. Apa kabar dengan ginjalku bila terus dipaksa menyaring obat keras?

"Baiknya kamu dirawat di rumah sakit jiwa, Jod. Sekalian nanti di sana ada psikolog, jadi selain obat, kamu juga dapat terapi."

Ah, mengapa harus rumah sakit jiwa? Apa OCD itu gila sehingga harus banget menginap di sana. Hela napas terasa berat saat mendengar saran dokter tersebut. Terpaksa aku tersenyum, hanya untuk menjaga etika di hadapan dokter senior ini.

"Jod, yang terpenting adalah sugesti. Sugesti kamu dalam menciptakan pikiran-pikiran positif, agar yang terbentuk pun aura positif."

"Baik, Dok."

"Anti depresan saya masih kasih, silakan tebus di apotek. Cepat sehat, Joddy."

"Terima kasih, Dok."

Termenung mengingat ucapan sang dokter. Rona wajahku berubah padam. Entah mengapa Tuhan mengujiku dengan hal ini. Kami melangkah menuju apotek, untuk menebus resep obat yang masih wajib kuminum

"Ayo, Mbak, pulang," ucapku setelah menebus obat tersebut.

"Yakin pulang? Nggak jalan-jalan?"

"Jalan-jalan?" tanyaku heran.

"Barangkali kamu mau refreshing, Jod?"

Sekar tersenyum, lantas meraih bahuku. Kami berjalan beriringan menuju parkiran. Semenjak ada gadis imut ini, hidupku sebagai penderita OCD lebih berwarna. Aku merasa dihargai setidaknya, dan tidak dianggap berbeda.

"Ayo, Jod! Ini motormu, kenapa diam aja di sana?"

Ah? Diam? Betul juga. Bukannya segera mengeluarkan motor, aku justru memikirkan parkiran yang menurutku tidak rapi. Di mana motor tidak disusun sesuai warna dan ukuran. Argh. Berantakan sekali.

"Heh, Jod. Jangan bilang kamu lagi mikirin cara nyusun motor-motor di parkiran ini?" tanya Sekar sambil manyun dan berkacak pinggang.

Aku mendekat ke arahnya, menggaruk-garuk rambut yang sebenarnya tidak gatal. Terus terang, memang tebakan Sekar tidak ada salahnya.

"Kalau iya kenapa?" tanyaku senyum, tapi tidak dengan Sekar.

Napas Sekar terdengar berat. "Jod, apa yang kamu dapat dari menyusun motor selain lelah? Apa jadi indah itu parkiran?"

"Iya," jawabku singkat.

"Indah ndasmu, Jod!"

"Setidaknya indah di mata saya, Mbak."

"Oke, yang waras ngalah. Sekarang begini. Kalau aku minta kamu untuk memberi skor antara indah dan rasa lelah setelah mindahin seluruh motor. Kamu bisa?"

"Bisa dong, Mbak."

"Yaudah, berapa skor untuk lelah dan skor untuk keindahan yang kamu lihat?"

Aku mengatukkan jari ke bibir. "Tujuh puluh persen indah, tiga puluh persen lelah."

Sekar mendelik, dan kerongkongannha bergerak naik turun, nampak ya banyak liur yang tertelan saat aku berkata demikian.

"Kenapa kok kayak kaget gitu, Mbak?"

"Memang kamu ini lelaki dahsyat, Jod. Ayo keluarkan motormu sekarang. Kita jalan deh. Penat liat kamu bertingkah aneh."

Kami berboncengan. Kali ini, Sekar nampak tak canggung lagi. Jarak duduk yang sebelumnya terlalu jauh kini semakin rapat. Sekar tak canggung melakukan kontak fisik di motor. Meski kontak fisik yang ia lakukan sedikit garang, seperti menjewer, mengelitiki, dan mencubit.

Gemuruh mulai terdengar halus, bersambut berkas cahaya yang bergantian menghiasi di atas langit. Awan gelap seolah berjalan mengikuti kami. Mendung tak dapat ditolak. Sebentar lagi, bumi akan diguyur hujan.

"Mbak, nepi dulu. Kita pakai jas hujan."

"Ayo, Jod."

Segera aku membuka bagasi motor, dan mendapati jas hujan yang tidak kuinginkan.

"Yah, jas hujannya satu. Model kalong, Mbak. Padahal biasanya saya bawa dua. Gimana? Kita pakai berdua, ya?"

Sekar mengangguk. Aku pun mengenakan jas tersebut, lalu naik ke motor.

Berdebar dada ini saat Sekar menyandarkan tubuh ya di punggungku. Benar-benar tiada jarak di dekat kami. Begitu pun dengan tangannya yang melingkar di perutku, membuat otot di sana seakan kaku karena menerima pelukan wanita secantik Sekar.

Laju motor kuperlambat. Berjalan seraya membelai punggung tangan Sekar. Ia diam, dan justru tampak menikmati. Terasa dari rengkuhannya yang semakin erat. Aku tersenyum, entah dengan Sekar. Hujan kali ini terasa membawa kenangan.

"Aku mau kamu sembuh, Jod!" kata Sekar lantang di tengah derasnya hujan.

Aku tersenyum, dan semakin menguatkan genggaman pada tangan Sekar yang masih memeluk pinggang.

Hujan semakin deras. Membasahi sebagian tubuh kami yang tak tertutup mantel. Airnya mengalir dari pucuk kepala, dan ke bagian wajah. Sekar tampak tidak mengeluh akibat hujan yang menerpa kami.

Tidak ada tanda kalau hujan akan mereda, malahan semakin deras. Dan mantel benar-benar tidak mampu melindungi kami. Meneduh adalah keputusan terbaik.

Motor kami menepi di halte. Sekar lebih dahulu turun dan berteduh di sana. Berhubung kursi halte sudah penuh, sebab ramai yang berteduh. Kami berdiri di sebelah tiang di bawah rindangnya pohon besar.

Kuperhatikan wajah dan rambut Sekar yang telah basah terguyur hujan. Wajah tanpa polesan make up itu masih tetap cantik. Ingin rasanya membelai tapi takut digampar. Sebab wanita di sebelah ini kan gadis bukan sembarang gadis.

"Aku punya kenangan buruk tentang hujan, Jod. Kamu percaya? ucap Sekar memecah kebisuan.

"Kenangan apa, Mbak?"

"Nanti kamu akan kuceritakan. Kenangan yang membawaku pada sebuah depresi panjang yang hampir membuatku bunuh diri."

Aku terkejut saat kalimat itu terucap dari bibir Sekar. Raut wajahnya berubah sedih, tak seceria tadi. Lembut aku mengangkat dagunya dengan tangan kanan, lalu tangan kiri bergerak menyusuri rambut yang telah basah itu.

Sekar diam, matanya mengerjap pelan dan membuatku semakin melayang. Aku tersentak saat tangan Sekar bergerak menyentuh sudut bibirku. Usapannya terasa menyenangkan.

"Bibirmu, Jod."

Tubuhku tegang. "Kenapa, Mbak? Bibir saya?"

"Tebel banget, ndebleh," ucap Sekar seraya menarik kencang daging bibir bagian bawah.

"Sakit gila!" teriakku, Sekar pun tertawa. "Dasar asdos peak!"

Mbak Dosen ImutWhere stories live. Discover now