5 - Senasib

9.8K 1K 18
                                    

Kata orang, kita berteman dengan orang-orang yang sejenis. Bagiku, yang selalu dibilang jomlo abadi, Sunny dan Moon adalah orang sejenis. Malas pacaran tapi juga malas kalau dibilang tidak laku. Jadilah kami makhluk-makhluk nyinyir dengan kekuatan tahan bully.

Sunny pernah berpacaran beberapa kali, semuanya kandas. Orangtuanya pernah menawari metode perjodohan, yang semuanya berakhir dengan adegan-adegan ajaib. Nona Viking pernah pakai baju ala badut mampang, yaitu boneka yang kepalanya lebih besar dan bisa mengangguk-angguk. Dia pernah juga berdandan ala Poison Ivy yang serba hijau dengan rambut merah menyala. Semua itu dilakukan supaya calon jodohnya kapok lihat dia. Pokoknya ada-ada saja hal ajaib yang dia lakukan.

Moon yang diam-diam memberontak, menolak pacaran hanya untuk membuat orangtuanya jengkel. Katanya kalau punya pacar, bisa-bisa dia kembali terkekang. Laki-laki itu memang butuh waktu lama untuk merasakan kebebasan.

Kalau ada kesamaan di antara kami bertiga, mungkin salah satunya adalah status kami yang single alias jomlo. Selain itu, kami juga merasa nyaman dengan status masing-masing. Tidak perlu meminta izin untuk pergi kemping mendadak. Tidak perlu mengurusi rasa cemburu kalau aku lebih banyak waktu bersama sahabat-sahabatku. Intinya lebih tidak merepotkan. Kecuali saat pertemuan keluarga, di mana status sangat penting.

Aku memikirkan kata-kata Moon yang bertanya apakah berpacaran itu penting. Tadi dia membahasnya lagi dalam perjalanan mengantarkanku dan Sunny. Karena Nona Viking turun duluan, otomatis aku hanya berdua saja saat Moon bertanya-tanya padaku.

"Star, balik ke pertanyaan gue tadi. Kenapa pacaran itu penting menurut lo?" tanya Moon.

"Er ... biar nggak dibilang jomlo?" Aku balik bertanya dengan bingung.

"Lo tuh ya, umur aja yang mau kepala tiga, tapi pikiran masih bocah." Mendengar kata-kata itu, aku mencubit bahu Moon dengan sebal.

"Gue masih 28. Please deh. Emang menurut lo pacaran itu nggak penting?" balasku menantang.

"Kalau buat alasan status, ya jadi nggak penting. Buat gue, pacaran itu selangkah menuju pernikahan." Moon berkata tenang.

"Gila! Nikah?" Mimpi pun aku tidak pernah membayangkan si manusia bulan akan menikah. Dia tertawa melihat wajahku yang kaget.

Bagiku, pernikahan itu sangat luar biasa jauh dari jangkauanku. Pacar saja setengah semaput aku mencarinya, apalagi calon suami, ya kan?

"Mungkin lo belum dapat jalan buat pacaran, ya karena niat lo itu, Star. Jahat kan kalau lo pacaran cuma gara-gara mau punya status dan malu diejek?" Kali ini pertanyaan itu menohokku.

Aku terdiam sambil menatap keluar jendela mobil. Bukan marah tapi karena kusadari dalam lubuk hati terdalam, ucapan sahabatku itu benar. Aku selalu fokus pada tujuanku supaya tidak diejek atau ditanya-tanya kapan nikah oleh keluargaku. Mungkin sudah saatnya aku memperbaiki niat.

"Lo kenapa nggak mau pacaran, Moon?" tanyaku akhirnya setelah pegal hanya menoleh ke arah kiri.

"Belum pengen aja," sahutnya singkat, padat dan jelas. Setelah itu dia menolak untuk bicara topik pacaran lagi.

"Gue itu takut, Moon. Misalkan gue punya pacar, apa gue masih boleh punya sahabat. Gue males nyoba-nyoba pacaran. Banyak minusnya. Ingat kan teman kita si Inge yang ternyata diduakan sama pacarnya terus dia depresi sampai mau bunuh diri. Kalau pacaran bikin bego kayak gitu, ya gue nggak maulah. Tapi gue juga males ngadepin kenyinyiran keluarga besar gue. Apalagi kalau orangtua dibawa-bawa, bilang ngebiarin gue buat milih-milih atau bahkan ada yang meragukan orientasi sex gue. Padahal kan gue cewek tulen," kataku berapi-api.

"Tumben, otaknya jalan, Bu," ledek Moon.

"Sial!" Aku memukul pelan bahu laki-laki yang kini tertawa-tawa.

Menurutku, ada lagi keuntungan menjadi sahabat Moon. Bisa mendengarkan tawanya yang sangat irit itu. Orang lain? Mana bisa.

"Tapi kita nggak boleh sok tahu sih, Star. Bisa jadi si Inge itu ada masalah lain yang bersamaan. Nggak serta merta juga kita bilang kalau cewek itu nggak punya otak. Dia cuma nggak berpikir panjang."

"Wow. Bisa juga Bapak Bulan bicara seperti itu." Jujur, aku kaget mendengar betapa seriusnya topik pembicaraan kami ini. Namun, senang juga bertukar pikiran begini. Setidaknya beban menjadi lebih ringan.

"Gue udah putusin, Moon." Aku berkata dengan keteguhan dan keyakinan.

"Putusin siapa? Pacaran saja belum, lo udah mau putus." Moon kembali terkekeh dan hanya tertawa saat aku memukul lengannya lagi.

"Bukan itu, Bulan. Gue udah putusin mau nyoba aplikasi yang tadi di download sama Sunny. Siapa tahu ketemu jodoh, ya?" Dengusan keras terdengar. Pasti, Moon luar biasa menahan diri untuk tidak tertawa. Aku harus waspada kalau tidak mau dikerjai oleh laki-laki itu.

Sepanjang sisa perjalanan, Moon meledekku habis-habisan. Kupingku sampai memerah oleh kata-katanya. Dia menurunkanku di depan rumah, lalu menungguiku sampai aku masuk. Setelah memastikan kalau aku aman di rumah, barulah dia masuk ke dalam mobil dan kembali pulang.

"Hoi, Star!" Aku terlonjak kaget sambil memegangi dada. Adikku, Riga berdiri santai di balik pintu tepat saat aku membuka pintu untuk masuk.

"Bagus, ya? Berani ngagetin." Riga menjerit kesakitan sambil minta ampun saat aku menjewer telinganya.

Kalau kupikir-pikir sebenarnya hidupku sangat meriah. Sahabat-sahabat yang baik, keluarga yang hangat, saudara yang kompak. Aku hanya lupa kalau keserakahan bisa membawa banyak luka.

Kapan Nikah? (Completed)Where stories live. Discover now