4. Mantan

146 41 93
                                    

•×•
MANTAN
•×•

Mantan
(Mantap untuk Dilupakan!)
#ups😘

Hawa dingin perlahan merangkak setiap sentimeter tubuhnya, membuat perempuan bersweter abu gemetar tak kuasa menahan cuaca pagi ini. Setelah beberapa detik yang lalu ponselnya membangunkannya, perempuan itu mengucek kedua bola matanya untuk memperjelas pandangannya. Tangan kananya meraih syal di dalam lemarinya, lalu membelitkannya di leher. Ini merupakan kali pertama Ajeng bangun sepagi ini, hanya untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Toh, ia ingin lulus tahun ini juga, tentunya dengan nilai yang memuaskan.

Sebelum duduk di kursi seraya menatap layar laptopnya, Ajeng melangkah ke dapur untuk menyeduh segelas susu hangat. Sepertinya enak sebagai pendamping pengerjaan tugas kuliahnya pagi ini, setidaknya bagian dalam tubuhnya mendapatkan dekapan dari susu yang di seduhnya, meskipun bagian luar tubuhnya harus merasakan dinginnya cuaca ini, tanpa ada dekapan siapa pun selain dari syal yang melingkar di lehernya.

Ajeng duduk di kursi belajarnya dengan posisi kedua kaki bersila di atas kursi itu. Ia mulai membuka laptopnya dan menyalakannya. Sesekali Ajeng menggesekkan kedua tangannya satu sama lain, lalu meniup tangannya agar mendapatkan kehangatan.
Tidak seperti biasanya hari ini dinginnya lebih menusuk, mungkin karena hujan semalaman. Dan sekarang pun masih terdengar gemercik air yang jatuh ke permukaan, meskipun volumenya tidak sebesar malam tadi. Setelah Ajeng membuka lembar kerja di laptopnya, ia mulai membaca novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck di kamarnya, yang hanya di temani oleh seberkas cahaya dari laptop dan lampu duduk.

Dalam kesibukannya membaca, terkadang Ajeng menyeruput susu yang perlahan hilang kehangatannya. Ada pun ketika Ajeng menemukan beberapa unsur yang menjadi bahan analisisnya, ia segera menuliskan unsur tersebut di laptopnya. Sungguh jam se-pagi ini merupakan waktu terbaik untuk belajar, karena otak manusia masih fresh belum dipenuhi oleh berbagai macam pemikiran-pemikiran yang entah itu positif atau negatif. Dan benar saja, Ajeng merasa nyaman belajar di jam ini. Dengan mudahnya otaknya menyambut asupan yang menjadi tugas akhir kuliahnya.

Huft. Ajeng menghela napas pendek merasa tersentuh dengan isi novel yang di bacanya, padahal masih termasuk halaman awal. Tetapi diksi yang tertoreh di halaman ini, berhasil mengusik batin perempuan kelahiran tanah Sunda ini.

Memasuki bagian selanjutnya, Ajeng menghentikan acara membacanya. Selain waktu untuk salat subuh tiba, Ajeng belum siap menerima kejadian yang terjadi di bab selanjutnya itu. Karena di bagian awal-awal saja Ajeng sudah merasa tersentuh, apalagi di bab berikutnya yang mungkin mulai memasuki akar konflik dari novel tersebut.

Setelah mematikan laptop dan menutup bukunya, Ajeng beranjak membangunkan temannya yang masih tertidur pulas.

“Nay, subuh ....” Ajeng memukul kecil bahu Naya berkala.

Gemercik hujan sudah tak terdengar lagi, berganti menjadi lantunan kemenangan yang menyemarak pagi ini. Melihat Naya menggeliat yang diikuti dengan aksi menguap, Ajeng terkekeh kecil lalu pergi ke kamar mandi.

Naya mengucek kedua matanya sambil bergumam enggak jelas. Tubuhnya masih terasa lelah akibat shock malam tadi mati lampu. Entah sampai jam berapa lampu kembali nyala seperti biasanya, yang jelas malam tadi setelah Ajeng pulang dirinya langsung tidur tidak peduli sampai kapan mati lampu berakhir.

Mendadak kedua tangannya menggerayangi tubuhnya, kala dirinya mengambil posisi duduk di kasurnya. Naya segera meraih selimutnya yang sebelumnya ia hempaskan dari tubuhnya. Perempuan dengan rambut sebahu itu kembali meringkus tubuhnya dengan selimut, sambil mengeluarkan suara gemetar dari mulutnya.

“Ya ampun Nay, kamu kenapa? Udah mata pada bintit, tubuh di tutup, gemeteran lagi.” Ajeng tertawa melihat kelakuan Naya.

“Ini gara-gara kamu Jeng!” jawab Naya seraya memalingkan matanya dari Ajeng.

Amarga Tresna || TERBITTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon