Part 4

7 0 0
                                    


Nadia sudah diperbolehkan pulang, tapi dokter tetap menyarankan untuk mengunjungi psikolog sesekali, demi kebaikan Nadia. Sudah dua hari, beberapa tetangga merasa terganggu karena kedatangan reporter di depan rumahnya. Tapi, tak pernah ia menanggapi mereka. Bahkan, tiap kali keluar atau di dalam, Johan selalu mengunci pintu.

Bahkan, kehadiran polisi beberapa waktu lalu sempat ditolak, namun demi melanjutkan penyidikan. Johan memperbolehkan mereka masuk, sayangnya yang didapati tetap sama, Nadia masih mengurung diri di kamar dan bicaranya sangat irit. Lebih mahal daripada harga cabai saat kemarau.

"Saya Nina, Pak."

"Oh, silakan masuk!"

Johan yang lebih dari empat hari tidak kerja, akhirnya terpaksa menyewa pembantu untuk menjaga Nadia saat dirinya kembali meniti karir di City News, tempat anak biadab itu mengeruk hasil dari kerja kerasnya. Johan membuka pintu kamar, masih sama, Nadia tetap diam di sudut ruangan dengan tangan memeluk lutut.

"Ayah berangkat dulu, ya. Ayah janji akan langsung pulang." Johan membelai rambut putrinya lalu beranjak untuk menutup pintu.

"Apa saja yang harus saya lakukan, Pak?"

Johan menatap wanita yang sudah mendapat kerutan di sana-sini. Ia tersenyum sekilas. "Cukup bersih-bersih saja, masak di jam biasa makan."

"Baik, Pak."

Johan mematung di pintu, ia teringat sesuatu dan berbalik. "Letakan saja makanan dan minumannya di depan pintu ya, Bi. Jangan ganggu Nadia sampai dia sendiri yang membawanya masuk."

Nina mengangguk, membuat Johan tertelan pintu. Di luar rumah tidak lagi ramai seperti hari yang lalu. Hanya tinggal tetangga saja yang kerap bertanya yang terjadi, kadang heran tidak melihat Nadia keluar rumah, dan Johan hanya tersenyum sambil pamit pergi.

Johan sudah melajukkan mobilnya, bahkan menemui lampu merah. Namun, ia merasa pengendara motor di ujung jalan meliriknya, senyum itu terlihat menyeringai. Johan teringat sesuatu, dia adalah ....

"Ada apa?" tanya Johan saat teleponnya berhenti berbunyi.

"Kau di mana sekarang? Kau mau dipecat dari pekerjaanmu, hah? Cepat datang atau buat surat pengunduran diri!"

"Aku di jalan, kau puas!" teriaknya kesal karena pengendara itu telah pergi.

Johan mematikkan sambungan teleponnya dengan Rendra. Entah mengapa pikirannya berkecambuk sekarang. Mengapa lelaki itu bisa tahu bahwa pengemudi mobil adalah dirinya, juga rela mematung di sana untuk memandang serta menyeringai padanya? Johan segera menancap gas saat lampu sudah hijau, ditambah beberapa teguran keras terdengar di belakang.

Johan sudah sampai di City News. Sepertinya berita tidak menyebar banyak, buktinya mulut tetap fokus membahas masalah koruptor yang baru ini terkuak. Atau mungkin sang penghuni kursi tertinggi menampar mulut para penggosip dengan amplop. Ia sendiri hanya bisa berperisangka saja.

"Kau sudah datang?" tanya Rendra yang kebetulan bertemu di dalam lift.

Johan menekan lift. "Tujuan kita sama, kan?"

"Ya, lantai 7."

Sepertinya Rendra tidak mempermasalahkan bawahannya yang malah mengalihkan pembicaraan. Sebenarnya, lelaki tersebut hanya bersikap baik pada Johan, karena mereka sudah seperti saudara kandung.

"Laporanmu waktu itu sangat bermutu, satu-satunya berita yang ada di Indonesia, tidak ada yang berani membahasnya karena mereka sepertinya tidak mendapat bukti saat ke cafe."

Johan hanya mengangguk. Setelah apa yang terjadi dengan Nadia, ia tidak menindak lanjuti untuk meliput cafe tersebut. Rendra tampak memperhatikan dirinya.

"Bagaimana keadaan Nadia?"

Ya, Rendra tentu tahu masalah tersebut. Mendapat kabar darinya, juga gosip yang menyebar bak virus tertiup udara. Johan termenung sejenak, mengingat keadaan putrinya yang terlihat terpuruk.

"Masih sama, saat ditanya dia tidak menjawab, tapi saat aku menyentuhnya ... wajahnya terkejut, kemudian tersenyum tipis."

"Sudah membawanya ke psikolog?"

Johan mengangguk. "Besok aku akan membawanya lagi. Doakan semoga Nadia bisa kembali seperti dulu."

Giliran Rendra yang mengangguk, tapi kemudian tersenyum miris. "Masih tahan kau kerja di sini, Jo."

"Aku mau memastikan kondisi Nadia baik dulu, setelah itu aku akan mencari pekerjaan lain."

"Kau--kudengar Vallerian dibebaskan karena tidak kuat bukti, kau tidak ingin--"

"Selagi Nadia tidak mengandung anak lelaki sialan itu ...," potong Johan memejamkan matanya, "aku ingin Nadia hidup tanpa bayang lelaki itu."

"Aku doakan yang terbaik." Rendra menepuk pundaknya, seolah memberi semangat hidup.

Pintu lift terbuka, tapi yang ditemukan bukanlah lorong sepi menuju meja para jurnalis. Johan sedikit mengepalkan tangannya, ingin sekali menyentuh bibir itu dengan kasar dan brutal. Sayangnya, ia masih ingat hukum dan nasib anaknya.

"Non, buka pintunya."

Nina mulai merasa cemas karena Nadia belum juga keluar dari kamar mandi sejak satu jam lalu. Memegang pintu yang ternyata dikunci. Wanita dengan banyak kerutan tersebut mencoba menghubungi Johan, namun tidak juga diangkat padahal tersambung.

Nina hampir menjerit, mendengar suara benda yang pecah dari dalam. Ketukan di pintu makin keras, sayangnya tiada sahutan dari Nadia.

"Non, bibi mohon! Jangan melakukan hal yang membahayakan, bibi sangat takut. Non, ayo keluar!"

Nadia memegang serpihan cermin yang masih menempel di dinding. Menariknya paksa, dan tersenyum sinis saat berhasil mendapatkannya. Mata lebar itu menerka, lengan atau leher, mungkin pikiran sudah sampai ke sana. Tapi, sesuatu membuatnya termenung.

"Ayah ... aku harus bagaimana?" Nadia kembali terisak.

***

"Sudah kuduga kau akan datang."

Pintu lift hampir tertutup lagi, tapi Rendra segera menjulurkan tangannya. Sehingga lift tidak membawa mereka kemana pun. Johan melintas begitu saja, melupakan pangkat orang yang dikawal banyak bawahannya.

"Bisa kita bicara sebentar," bibir itu kembali berucap.

Johan berhenti dan mulai muak. "Aku ingin hukum yang bicara, bukan kita."

Bersambung ....

Lanjut besok ya 🙃

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 31, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CAMERA 07 FOR JUSTICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang