13

198K 18.5K 1.6K
                                    

Selasa (15.54), 22 Juli 2019

Happy reading!

---------------------

Di detik itu, rasanya jantungku berhenti berdetak. Tubuhku juga menegang sempurna seolah-olah berubah menjadi patung. Sementara di seberangku—terpisah meja kerja yang lebar—Pak Arvin tampak biasa saja. Dia duduk dengan tenang di kursi seraya meletakkan gelas kosongnya di atas meja.

Aku ternganga, tak bisa mengalihkan perhatianku dari wajah itu. Bahkan kini seluruh tubuhku terasa menggigil. Bukan hanya akibat hawa dingin yang kian pekat, melainkan juga akibat pertemuan tak terduga ini.

Tiba-tiba Pak Arvin mendongak menatapku. Keningnya berkerut. Mungkin dia merasa heran mengapa aku tetap berdiri dengan mulut terbuka menatapnya.

"Apa ada masalah?"

"Eh." Aku tersentak. Bukan karena pertanyaannya. Tapi akibat suara familiar yang mengalun dari sela bibirnya. Suaranya amat mirip dengan suara si hantu.

"Anda tidak ingin duduk?" tanyanya dengan mata menyipit tajam. Raut wajahnya tak lagi menampakkan rasa heran. Melainkan tampak mengancam. Seolah dia akan menyakitiku jika aku tidak segera duduk.

"Oh, maaf. Saya hanya kaget." Menelan ludah, aku segera duduk di salah satu dari dua kursi depan meja besarnya.

"Kaget? Apa saya tampak menyeramkan?"

Andai dia menanyakan itu dengan senyum di bibirnya, aku pasti akan berpikir dia sedang bergurau untuk mencairkan suasana. Tapi raut dingin dan tatapan tajamnya tak pernah luntur, membuatku merasa tengah diancam.

"Oh, tentu tidak. Saya kaget karena saya pikir kita pernah bertemu di toko buku." Aku mengulas senyum, cukup puas karena suaraku sama sekali tak bergetar akibat rasa takut.

"Oh ya? Padahal saya sudah lama tidak ke toko buku."

Insting pertamaku mengatakan bahwa dia berbohong. Tapi aku tidak berniat memperpanjang hal itu. "Pasti saya salah ingat." Aku sama sekali tidak suka nada dan tatapan matanya. Begitu tajam dan tak bersahabat. "Jadi tentang apartemen yang saya tempati..." Sengaja kugantung kalimatku, berharap dia melanjutkan dan melupakan topik sebelumnya.

"Oh iya. Jujur saya cukup terkejut mengetahui Anda menolak tawaran saya." Dia menyandarkan punggung di kursi hitam legamnya. Salah satu siku bertumpu di sandaran tangan dan kepalan tangannya menahan pipi, membuatnya menatapku dengan kepala agak miring. Sikap tubuhnya tampak sangat tenang. Namun aura mengancamnya terasa semakin jelas.

"Saya yakin Pak Andi sudah mengatakan apa alasan saya menolak." Tak kubiarkan dia tahu bahwa sikapnya cukup mengintimidasiku, membuatku mengkerut ketakutan.

"Maaf kalau saya berkata terang-terangan hingga terkesan kasar. Saya bukan orang yang suka berbelit-belit. Tapi alasan Anda cukup konyol menurut saya." Kali ini dia melipat kedua tangan di atas meja, sengaja memajukan tubuhnya semakin mendekat ke arahku.

Aku semakin tak nyaman. Namun memaku diri agar tetap duduk tegak. "Bukankah seniman dan pengarang memang terkenal konyol? Kami punya cara berpikir yang berbeda dari orang kebanyakan."

Sekilas pengamatan saja, aku tahu Pak Arvin tipe pebisnis yang suka mendesak lawannya hingga berhasil mendapatkan apa yang dia mau. Jika terus berkelit dan membuat banyak alasan, aku pasti tidak akan menang melawannya. Jadi kupikir cara terbaik adalah melempar fakta-fakta yang tidak akan bisa dia sangkal.

Pak Arvin sama sekali tidak tersenyum mendengar kalimat balasanku sebelumnya. Dia terdiam dengan mata tajamnya, seolah tengah mencari titik lemahku untuk balas melawan.

My Ghost (TAMAT)Where stories live. Discover now