Rahasia Itu

87 6 0
                                    

Lagi-lagi hari ini aku harus menemaninya ke pesta pernikahan sahabatnya. Aku mengeluh pelan membaca Whatsapp dari Pak Dave, Direktur di mana tempat aku bekerja sekarang. Terbayang wajah Pak Dave di pelupuk mataku. Sudah empat bulan aku bekerja dengannya, dering tanda pesan masuk membuyarkan lamunanku. Aku membacanya. Dari Pak Dave, siapa lagi yang rajin mengirimi pesan kepada ku selain bosku yang over posesif ini.

Tanpa ku sadari aku menarik nafas panjang. Rasanya ribet sekali terlibat dengan lelaki yang kita sendiri bahkan tidak tahu apa maunya.

Untungnya di sini semua karyawan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Jadi tidak ada yang sempat bergosip atau segala macam, tidak ada juga yang memperhatikan aktifitasku.

Aku mengambil tas selempenganku lalu beranjak pergi meninggalkan kantor.

***

Aku tiba di parkiran Mall yang terletak tidak jauh dari kantor. Untunglah masih ada tempat kosong untuk mobil mungilku ini. Ahh, sebenarnya ini bukan mobilku, ini mobil perusahaan, sebagai sekretaris aku diberikan fasilitas kendaraaan.

Terkadang ada rasa janggal juga di hati, apa memang benar, sekretaris mendapatkan fasilitas yang aku punya sekarang?

Akhirnya tiba juga aku di cafe tempat aku dan Pak Dave janjian untuk ketemu. Dari jauh kulihat sosoknya yang menawan, perlahan mulai menghampiriku.

"Sudah makan Put?" tanya Pak Dave begitu dia duduk di kursi kosong tepat di depanku, naun matanya sekalipun tak beranjak dari layar Ipadnya

Sengaja pertanyaannya tidak aku jawab. Pak Dave mengangkat wajah. Memandangku sambil mengernyit dahi.

"Makan hati," jawabku pedas.

Tawa Pak Dave meledak, aku makin cemberut. Ya, walau sebenarnya kami ini bos dan karyawan, tapi karena kami dulu adalah teman lama, aku bisa bebas mau bercanda atau marah padanya saat berada di luar kantor.

"Aku juga belum makan nih," kata Dave.

"Habis makan kita ke butik Mbak Ines ya," katanya. Aku hanya mengangguk, semua dia yang mengatur.

Aku mencoba beberapa gaun pesta untuk kupakai nanti malam. Sebisa mungkin aku memilih gaun yang sopan tapi elegan. Aku bukanlah gadis metropolitan asli, aku berasal dari daerah perkampungan di bagian barat kota ini. Setelah mendapat gaun yang aku inginkan, aku memilih sepatu dan clutch bag yang cocok untuk dipadukan dengan gaun yang akan kupakai nanti.

Aku melirik Dave, yang ternyata sedari tadi terus memperhatikanku.

"Kapan nih mau nikahnya?" tanya Mbak Ines sambil tersenyum manis.

Pertanyaan Mbak Ines tak jelas ditujukan pada aku atau Pak Dave. Yang jelas, aku memilih diam.

"Ya, entar juga nyampe undangannya ke Mbak," jawab Pak Dave sambil mengedipkan matanya.

"Berapa semua Mbak?" tanya Pak Dave lagi pada Mbak Ines.

Ini bukanlah kali pertama ia membelikanku gaun karya disainer terkenal, atau tas dan sepatu branded, tapi tetap saja aku belum terbiasa dengan harganya yang sama dengan biaya hidupku berbulan-bulan.

"Dave, jangan lagi. Gaun ini mahal sekali," kataku saat melihat Dave sudah berada di depan kasir dengan kartu hitamnya. Namun seperti biasa dia langsung beranjak pergi tanpa mendengar sepatah katapun tentang protesku.

"Tidak mungkin aku akan membawamu ke pesta dengan celana jeans kan Put, lagian anggap saja itu hadiah karena kamu sudah nemani aku."

Hatiku berdesir. Empat bulan yang lalu kami kembali bertemu, setelah hampir lima tahun tak ada kabar. Teman semasa kecilku yang kini menjadi atasanku dikantor. Cinta pertamaku yang mungkin sampai sekarang belum berubah.

Aku memandang lurus ke depan untuk berusaha menutupi debaran di hatiku.

Bahkan sampai sekarang getaran itu selalu datang, di saat aku mencoba menghalaunya biarlah cinta sendiri ini hanya aku yang rasa..

Rahasia Kecil untuk Sebuah AlasanWhere stories live. Discover now