Distorsi yang Memukau

12 2 0
                                    

"Apa kau mengingat sesuatu, Satifa?"

Satifa yang sedang duduk di atas tempat tidur menoleh ke arah Jaster di sisi lain ruangan. Sejak tadi dia mencoba untuk mengingat sesuatu. Namun nihil. Bahkan saat ini pikirannya kosong.

Empat hari ini dia habiskan untuk berlibur bersama suami dan anak-anaknya. Dan saat ini anak-anak sudah tidur di kamar mereka setelah dibacakan dongeng Pulau Chinara oleh Jaster untuk yang ke sekian kali.

"Apa yang kau pikirkan?" Jaster yang sedang menuang teh ke dalam cangkir bertanya kembali.

Sejauh ini, dua minggu hidup bersama Jaster, membuat hati dan jiwanya gegap gempita setiap saat. Membuatnya sering bertanya-tanya dan berpikir keras di sela-sela keriuhan itu: Ke mana perasaan-perasaan ganjil yang sering dia alami dulu? Ke mana surutnya seluruh gejolak keingintahuannya? Ke mana hilangnya mimpi-mimpi itu?

Seakan-akan dalam dua minggu ini kekuatan intuisinya telah redup dan melemah, bahkan nyaris hilang sepenuhnya. Mengapa?

Jaster bergerak mendekati tempat tidur, lalu duduk di samping Satifa dan menyodorkan secangkir teh hangat padanya. Cuaca di luar sedang dingin.

Dengan kikuk Satifa meraih cangkirnya, berpikir apakah Jaster akan marah menyadari bahwa dia belum menjawab pertanyaannya sama sekali. Dia merapatkan selimut yang menutupi kakinya dengan satu tangan. Saat ini hati dan jiwanya memang ramai. Tapi bukan berarti rasa aneh berada di dekat Jaster hilang sepenuhnya. Dia hanya merasa was-was ketika setiap malam, waktu dan ruang bagai mendukung keberadaan dirinya dan Jaster. Dia khawatir Jaster akan melakukan sesuatu yang bersifat intim dan vulgar padanya sebelum ingatannya kembali. Sebenarnya bisa saja Satifa melakukan itu dengan segenap sisa cinta yang dia punya. Tapi dia juga memikirkan ke depannya akan seperti apa?

Tanpa sadar, Jaster sudah mengurangi jarak di antara mereka, membuat salah satu sisi tubuh keduanya rapat bersentuhan. Tentu saja hal itu membuat Satifa nyaris menumpahkan isi cangkirnya.

"Apa kau merasakan sesuatu?"

Suara halus Jaster kembali menghipnotis gendang telinga Satifa, membuatnya otomatis menggelengkan kepalanya pelan.

Jaster terkekeh. "Kalau begitu, kau akan meminumnya atau tidak?"

Sebagai respons, Satifa meminum isi cangkirnya dengan satu tegukan. Kemudian Jaster mengambil alih cangkir itu dan meletakkannya di atas meja nakas samping tempat tidur.

Detik berikutnya kedua tangan Satifa sudah berada dalam genggaman tangan Jaster. "Kau tahu? Kita menikah atas dasar cinta. Dan melakukan itu atas dasar yang sama." ucapnya pelan. Sorot matanya tajam, mengawasi setiap reaksi yang ditunjukkan Satifa.

Satifa menoleh, balas menatap sepasang retina indah yang juga terpasang pada anak-anaknya. Dia masih bungkam seribu bahasa. Selalu seperti ini setiap malamnya, terkecuali jika ada anak-anak bersama mereka.

"Jadi kumohon dengan sangat, kau jangan berpikir yang macam-macam, oke?" Jaster melanjutkan sembari menyelipkan sejumput rambut Satifa ke belakang telinga lalu mengusap pipi Satifa pelan. "Aku ingin kau kembali seperti semula. Yang tidak selalu menatapku dengan pandangan asing seperti ini. Maka mulailah fokus pada pengobatanmu, ya?"

Beberapa hari setelah mereka bersama, Jaster telah membawa Satifa ke sebuah klinik pengobatan tradisional untuk menyembuhkan ingatan Satifa yang menghilang. Dalam hati, Satifa berharap agar tidak ada yang rusak dari ingatannya.

Sepasang retina yang sedang ditatap Satifa itu berpaling ke arah jendela besar di sisi kiri tempat tidur. Satifa mengikuti arah pandang suaminya. Jendela kamar vila milik Keluarga Arsenio itu sudah biasa dibiarkan terbuka lebar oleh Jaster selama empat hati ini. Gorden putih dengan motif bunga dandelion yang timbul itu selalu bersemangat menari dengan embusan angin kemarau, seakan mempersembahkan penampilan bulan dan bintang di permukaan langit gelap di luar sana.

GARIZAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang