20. To Be A Father?

16.4K 1.7K 61
                                    

yippee memperingati 2K readers aku kasih bonus nih satu chapter buat klen sobat telor itik hehehe enjoy!

***

"Bagi gue, menunjukan cinta gak harus dengan kata-kata, cukup gue dan dia saling mengisi kekosongan satu sama lain, itu sudah lebih dari cukup." –Jeffrey Aditama.

***

Jeffrey

Sepulang dari rumah Ibu saat minggu lalu, memang benar keadaan rumah tangga gue dan dia tampak semakin membaik. Rumah tangga kami sekarang sama seperti layaknya rumah tangga pada umumnya.

Saling memperhatikan, saling menanyakan kabar bahkan tak jarang juga melakukan kewajiban sebagai suami istri.

Kita sudah tidur satu ranjang.

Bahkan dia sekarang selalu menunggu gue pulang baru bisa tertidur, katanya kalo tidur sama gue jadi lebih nyaman ada yang nemenin.

"Sayang, nanti aku ada kelas tapi agak sore jadi kayaknya pulangnya malem deh."

Iya, sekarang dia juga kadang sesekali suka manggil gue dengan sebutan 'sayang'

"Yaudah, nanti abis dari rumah sakit aku langsung ke tempat les kamu aja ya!"

"Emang gak capek? Gak apa-apa kok aku bisa naik taksi." Dia juga gak pernah egois lagi.

"Gak apa-apa. Nanti pulangnya ke rumah Dokter Teo dulu, aku udah janji sama anaknya mau ajak kamu kesana."

"Oh yaudah kalo gitu."

"Assalamualaikum, I love you."

Gue bisa merasakan jika dia tersenyum ringan sebelum menjawab ucapan gue, "Waalaikumsalam,"

Dia memang belum pernah membalas ucapan 'I love you' itu dari gue walaupun kita tampaknya sudah membaik. Bahkan sangat baik.

Salah gue juga sih yang gak pernah meminta dia untuk membalas ungkapan gue itu.

Jarum jam sekarang hampir berada di angka 7 bahkan matahari sekarang sudah menyembunyikan sinarnya.

Gue segera bergegas merapihkan meja kerja gue, melepas almamater putih kebangsaan gue dan menaruhnya di stand hanger yang terletak di sebelah lemari dan bergegas menuju ke dalam mobil.

Hampir 20 menit gue berjalan menuju tempat les Kinanti yang memang jaraknya gak begitu jauh dari rumah sakit.

Tepat di depan gedung bernuansa aesthetic dengan warna hitam dan putih yang mendominan setiap sudut gedung gue melihat dia sedang berdiri bersama seorang pria.

Gue turun dari mobil kemudian menghampirinya, "Hai?" Sapa gue sambil mencium keningnya. Lalu pandangan gue beralih pada sesosok pria yang kini masih berdiri di sampingnya.

"Siapa?" Tanya gue mengarah pada pria itu.

Dia melirik sebentar sebelum menjawab, "Rafa." Lanjutnya, "Dia besok mau tampil jadi perwakilan dari sekolahnya. Makanya sekarang maksain latihan."

Oh, anak didiknya.

"Hai!" Gue mengawali untuk menyapanya dengan menjulurkan tangan gue. Karena memang dia sedari tadi hanya diam dan tampak gak tertarik saat melihat gue.

Dia meraih tangan gue, "Rafa, Om." Gumamnya.

Om?

More | JJH ☑️Where stories live. Discover now