Dua

105 7 0
                                    

Sunyi tak terdengar suara yang keluar dari bibirku, bahkan suara tarikan napas pun tak terdengar karena, Aku menahannya. Perlahan ku hembuskan napas dengan teratur agar tidak pingsan kehabisan napas sendiri.
Masih dengan tatapan tak percaya Aku membaca sekali lagi isi chat dari nomor yang belum tersimpan itu.

+62 812 xxxx xxxx
Assalamualaikum
Hai Rannu. Ini Deka.
Boleh saya tanya sesuatu sama kamu?

Deka? Apakah ini adalah Pak Deka, Manajer Divisi di pabrik. Apa yang mau ditanyakan. Apa mungkin ada masalah tentang pekerjaan. Kalau ada kan harusnya bertanya pada Bu Meri, Supervisor Divisi Bulu.
Dengan perasaan bingung dan sedikit shock, Aku mengetik jawaban untuk membalas pesannya.

Wassalamualikum
Boleh, mau tanya apa ya pak Deka?

Belum ada balasan darinya. Ku simpan saja dulu nomornya. Apa salahnya. Toh dia atasanku ini. Karena tak kunjung mendapatkan balasan kubiarkan ponsel tergeletak di atas kasur. Aku, keluar kamar menuju dapur. Tenggelam dalam keasikan memasak.
Selesai memasak, Aku membereskan peralatan yang ku gunakan.

Suara adzan terdengar jelas dari pengeras suara di luar sana. Menandakan menghilangnya matahari. Saatnya melaksanakan kewajiban beribadah.

Setelah selesai, Aku meraih ponsel. Mengecek pemberitahuan yang masuk. Mendudukkan diri di atas kasur kemudian membaca pesan masuk.

Pak Deka
Saya boleh mengenal kamu?

Pak Deka ingin mengenalku. Jadi selama ini, Dia tak mengenalku. Aku sudah merasa percaya diri sekali. Memangnya, Aku siapa berharap bisa dikenal orang sepertinya. Aku, bukan Nina yang bisa kenal semua kalangan di pabrik. Bukankah hal yang wajar saja bila Dia tak mengenalku selama ini. Karyawannya tak hanya Aku kan. Ku balas chat yang sudah terbaca ini.

Saya Pak?

Pak Deka
Iya, kamu. Rannu Agista.
Ada yang mau Saya bicarakan. Ayo kita bertemu secara pribadi.

Deg.
Detak jantung ku saat ini sudah tak beraturan karena isi chat dari Pak Deka. Harus ku jawab apa pertanyaan itu. Haruskah menerima ajakan Pak Deka untuk bertemu. Kira-kira apa yang ingin dibicarakan ya.

Ada masalah apa ya Pak? Apa saya melakukan kesalahan saat bekerja?

Pak Deka
Kamu nggak melakukan kesalahan, Ran. Tidak ada hubungannya juga dengan pekerjaan. Saya hanya ingin kenal kamu secara pribadi. Kamu keberatan?

Sesaat Aku terdiam. Membaca sekali lagi chat tersebut. Apa aku keberatan. Jawaban nya tidak. Aku hanya bingung. Masih dengan tangan gemetar aku mengetik kembali.

Ini bapak nggak lagi bercanda kan ya? Maksudnya gimana ya Pak? Kok saya jadi bingung.

Pak Deka
Kamu nggak perlu bingung. Dan satu hal yang harus kamu tahu kalau saya serius. Saya lebih suka bicara langsung sama kamu daripada lewat hp begini. Jadi, boleh kita bertemu?

Iya Boleh, Pak.

Pak Deka
Oke, Sabtu ini Saya jemput Kamu ya.

Maksudnya gimana ya Pak?

Chat itu sudah dibaca olehnya. Menunggu chat ku terbalas. Nihil. Tak ada tanda-tanda chat darinya hingga lama ku tunggu. Dasar aneh, bikin penasaran saja. Emangnya dia tahu rumahku ya. Baiklah coba tarik napas pelan-pelan secara teratur saja.

Argh!

Daripada pusing memikirkan balasan chat yang tak juga dibalas darinya lebih baik ke dapur untuk menyiapkan makan malam sebelum Ibu pulang.

**
Ibu ternyata pulang cepat hari ini, pukul 19.20 WIB sudah sampai di rumah. Kami makan malam Seperti biasa.
Aku selalu menunggu Ibu untuk makan malam bersama kalau Ibu pulang tepat waktu seperti hari ini.

Biasanya makan malam diselingi sedikit obrolanku dengan Ibu. Itupun disertai pertanyaan yang sangat sering ditanyakan oleh Ibu.

"Kontrak kerja mu masih berapa lama lagi?" Tanya Ibu disela-sela makannya.
“Satu tahun lagi bu.” Balas ku disela-sela kunyahan.

"Nggak mau coba cari tempat lain, Nak?"

"Belum tahu, Bu."

"Sudah mau dua tahun ya. Nanti di off lagi kalau kontrak kerjanya habis. Memangnya pabrik akan panggil, Kamu terus?"

Perkataan, Ibu sedikit mengusikku. Benar juga ya. Tinggal dua belas bulan lagi masa kerjaku. Apakah, Aku akan kembali dipanggil bekerja. Aku, sudah merasa betah di tempat sekarang. Sudah banyak hal ku lewati bersama keempat sahabat ku.
Sibuk dengan pikiranku sendiri. Ku dengar kembali suara Ibu. Wajahnya terlihat serius sekali. Tak sesantai tadi.

"Sebelum habis kontrak kerjamu ini coba cari lah pasangan, Nak. Ibu sudah tua. Nanti kalau Ibu sudah tak ada, kan ada yang menemani mu. Menjagamu. Kalau sudah menikah. Kamu mau tetap bekerja atau tidak tetap ada yang menghidupi mu?" Nasihat yang selalu sama terucap juga. Aku masih melanjutkan makanan yang masih ada dalam piring. Tidak mau melihat raut wajah ibu yaang terlihat sedih.
“Umur mu sudah 26 tahun kan sekarang, Nak. Umur mu sudah cukup matang untuk menikah. Ibu saja dulu menikah saat umur 22 tahun.”
“Iya, Bu.” Aku tahu perbincangan ini tidak akan berakhir sebelum aku menjawab. Jadi, aku pun menurut dengan ucapannya.
Kemudian Ibu bangkit berdiri setelah selesai makan untuk kembali ke kamarnya. Meninggalkan ku yang kini duduk seorang diri di meja makan. Menghabiskan sisa makan malam dengan sedikit tidak berselera.

Untuk kesekian kali, Ibu berbicara mencari pasangan. Aku pun ingin menikah. Menikah dengan siapa kalau kondisiku saat ini sedang sendiri.
Sudahlah daripada Aku merasakan sedih yang menyesakkan lebih baik bereskan bekas makan kami lalu beristirahat di kamar.

**
Rutinitas pagi seperti biasa, bangun tidur rumah sudah sepi. Aku bersiap-siap untuk berangkat bekerja.
Pagi ini Aku tak kesiangan seperti sebelumnya. Kalau tidak kesiangan, Aku bisa sarapan di rumah dengan tenang sebelum bekerja.

Setelah siap, Aku berjalan kaki menelusuri gang perumahan hingga jalan raya. Menghentikan kendaraan umum, lalu menaikinya. Sepanjang perjalanan, Aku hanya melamun memikirkan ucapan Ibu semalam. Biasanya ku tak acuhkan pembahasan ini. Tapi, entah kenapa melihat Ibu berbicara dengan wajah serius disertai pandangan sedih membuat ku merasa bersalah. Aku merasa seperti anak durhaka. Tidak mau menurut omongan ibu sendiri. Menarik napas berkali-kali untuk mengusir bayangan wajah sedih ibu.

Turun dari angkutan umum Pertama kemudian lanjut menaiki angkutan umum lainnya. Untuk bisa sampai ke pabrik, Aku harus menaiki dua kali angkutan umum. Begitu sampai, aku berjalan kaki untuk masuk dalam kawasan pabrik.
Segera berjalan ke samping pintu khusus pejalan kaki para karyawan.
“Hai. Selamat pagi, cantik.” Sapa ku kepada remaja perempuan dengan penampilan berantakan.
“Pagi.” Balas nya. Kemudian, dia mengulurkan tangannya kepada ku.

Aku, tersenyum sambil menyerahkan kantong plastik kepadanya. “Iya. Rannu, ingat kok. Ini buat kamu, cantik. Sama ini tadi, Rannu beli buah. Dihabiskan ya semuanya jangan dibuang ya.” Remaja tersebut mengangguk dan menerima nya dengan wajah ceria.
Saat melihatnya asik dengan isi bungkusan dalam plastik, Aku berpamitan dengannya. “Ya sudah. Rannu mau masuk ya.” Remaja tersebut mengalihkan perhatiannya Padaku. Kemudian, Dia menunjuk pintu yang ada di sampingnya dengan mata polosnya.
“Iya. Rannu harus kerja biar bisa beli makan buat kamu.” Ucap ku paham apa yang ditunjuknya. Setelah dia mengangguk, aku melambaikan tangan padanya yang dibalas lambaian tangan nya.
Aku kemudian masuk ke dalam kawasan pabrik.
Sampai pada loker karyawan, Aku menyimpan tas ransel kecil berwarna biru gelap. Menguncinya kembali.
Aku melihat Nina sudah asik duduk di depan pintu masuk Divisi Bulu yang belum dibukakan oleh satpam sedang menikmati sarapan nasi uduk dan teh anget.

Mempercepat jalan supaya bisa ngobrol dulu sebelum jam kerja dimulai sekitar lima belas menit lagi.
"Assalamu'alaikum. Pagi, Na," Aku memilih duduk dihadapannya. Hanya ada kami berdua di bangku permanen ini.

"Waalaikumsalam. Pagi, Nu. Sudah sarapan?"

"Sudah dong, tadi keburu kok sarapan di rumah dulu seperti biasa." Menjawab tanya dari Nina. Biasanya Aku dan Nina sering sarapan bersama jika Aku tak sempat sarapan di rumah dan jika masih ada waktu untuk sarapan. Nina hanya menganggukkan kepalanya dengan mulut penuh.

Sepertinya Aku harus bercerita padanya tentang isi pesan Pak Deka semalam. Aku penasaran bagaimana tanggapan Nina mengenai hal tersebut.
Tapi sebelum itu lebih baik sedikit bertanya tentang Pak Deka kepada Nina.

"Na, Kamu sering ngobrol sama Pak Deka kan?" Yang dijawab dengan gerakan kepala naik turun dari Nina.

"Emang ngobrolin apa aja sih Na?"
Ku lihat Nina sudah menghabiskan sarapan paginya. Ku tunggu hingga Dia selesai minum dulu.

"Banyak Nu, biasanya sih tentang kerjaan. Target. Output. Keluhan buyer. Ngobrolin kinerja karyawan. Ngobrol apa aja sih yang bisa dibahas."

"Kalau tentang hal pribadi gitu pernah nggak?" Tanya ku kembali. Ku lihat Nina sedikit memiringkan kepalanya.

"Tentang hal pribadi siapa?"
"Pribadi Pak Deka." Ucapku ragu kepada Nina.
"Sering. Kenapa, emannya Nu?" Nina memasang wajah penasaran.
Aku hanya meringis. Daripada, menghabiskan waktu dengan bertele-tele, aku memberitahukan seluruh isi chat semalam.
Nina diam mendengarkan. Menyimak, Aku yang sedang berbicara menceritakan chat semalam.

"Wow. Akhirnya ada gerakan juga." Hanya itu komentar yang Nina berikan sambil memasang wajah dengan senyuman menggoda ciri khasnya.
Aku hanya bisa memasang wajah bingung.

HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang