I. Tentang Patah Yang Tak Terganti

114 14 2
                                    

*Rekomendasi : Bisa sambil dengar video musik di atas, terima kasih :)


Feay menarik ritsleting jaketnya ke atas. Dinginnya AC di dalam mobil mulai menjalar ke seluruh bulu kuduk hingga membuat ia harus menjaga kehangatan tubuhnya. Apalagi di luar sedang hujan deras. Begitu dingin. Hampir menyerupai suasana di dalam mobil yang entah kenapa juga terasa dingin tak seperti biasanya. Mobil Kijang yang disupir oleh ayahnya Feay melaju meliuk-liuk di jalan yang berliku-liku menaiki pegunungan. Ibunya yang juga duduk di bagian depan hanya menatap jalan dengan mata kosong. Tak ada perbincangan yang keluar dari mulut mereka bertiga—yang mungkin saja mampu menghangatkan suasana.

Feay menatap setiap rintik hujan yang jatuh dari awan gelap dengan kilatan petir yang terus bergonta-ganti tempat. Tampak ia merenungi sesuatu. Seperti ada belenggu jiwa yang membuat hatinya tidak tenang.  Ia mencurigai sesuatu dari kondisi yang sedang ia perangi saat ini.

Ribuan pertanyaan tersangkut di tenggorokannya, tak berani ia tolakkan. Apa yang sudah terjadi cukup ia renungi hingga termangu. Tenggelam dalam pikiran-pikiran negatif dan fiktif yang ia ciptakan sendiri. Hingga klakson truk dari arah depan berbunyi sangat keras. Lampu tembak truk itu memancar menggaggu penglihatan lelaki berjanggut tipis yang tengah memegang putaran kemudi itu. Sehingga Kijang itu melompat ke jurang dan semua sekarat.

Mobil ambulan membawa mereka bertiga datang ke sebuah Rumah Sakit Umum Besemah di Pagaralam. Dua diantaranya telah tertutup kain putih. Hanya anak laki-laki berumur 17 tahun itu yang masih bertahan meski kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Berbagai alat ditancapkan di seluruh tubuhnya. Defibrilator menempel di dadanya, dalam ketukan tertentu membuat tubuhnya terlontar-lontar. Garis hijau dilayar menunjukkan gelombang yang semakin lama semakin stabil. Ada senyum bahagia dari balik masker pasukan dokter itu. Bocah itu selamat dari kematiannya.

3 hari ia dirawat intensif. Beberapa keluarganya datang mengunjunginya. Tante Leia dan juga Ziea sepupunya masuk saat mengetahui Feay telah sadar dan membuka matanya. Sementara Paman Sean hanya menunggu di depan. Ada sesuatu yang tak bisa ia tunjukkan pada siapapun di sana.

"Feay, kamu sudah sadar?" tanya Ziea yang begitu senang melihat Feay kembali hadir di hidup mereka.

"Gimana, Nak, keadaan kamu? Udah baikkan?" Leia pun menanyakan hal yang sama, tapi dengan nada suara yang sedikit ditekan. Wanita yang seusia tak jauh dari ibunya Feay itu tak mampu menampung rasa bahagia dan sedih secara bersamaan. Kenyataan yang harus mencekik hatinya dan menyumpal aliran pernapasannya hanya bisa membuatnya meringis.

"Kalian siapa?" kata-kata itu terlontar dari mulut Feay.

Sementara Ziea dan ibunya dibuat kaget.

Puluhan jarum yang tajam sedang menusuk-nusuk di beberapa titik kepala Feay. Otaknya bagai diremas. Ia tak kuasa menahan rasa sakit hingga kenangan itu terpaksa kembali membuatnya ingat.

1 Bulan yang lalu ....

Ada hal yang menyebabkan Feay tidak bisa ikut UN Sekolah waktu itu. Intinya ia disibukkan dengan sesuatu yang baginya sangat penting, tapi ia tak bisa mengingat apa itu. Alhasil, ia harus mengambil Paket C agar bisa mendapat ijazah yang setara. Meski ia lulus dengan baik, ijazah Paket C belum bisa diterima Perguruan Tinggi Negeri (PTN) untuk jalur Seleksi Nasional (SNMPTN), cuma bisa ikut Seleksi Bersama (SBMPTN) dan jalur Mandiri. Hanya saja yang disayangkan hasil ujian Paket C tak kunjung keluar. Padahal syarat untuk ikut SBMPTN adalah keluarnya nilai UN. Syahdan, Feay hanya bisa mengikuti SBMPTN di tahun depan.

Bukan lagi kecewa, pemuda itu bahkan menyesali apa yang telah ia perbuat. Hasil dari buah tangan ia sendiri—yang telah menggagalkan dirinya. Ia baru mengerti ternyata masuk perguruan tinggi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada perjuangan dan pengorbanan yang harus diberikan. Namun, ia tidak pernah terlintas dibenaknya untuk pasrah. Ia mencoba mencari cara lain. Tidak diterima di kampus-kampus idaman se-kota Palembang merupakan batu yang bisa menjadi penghambatnya untuk terus maju. Jika ia bersikeras untuk kuliah, walau harus masuk perguruan tinggi swasta. Yang ia khawatirkan adalah biayanya. Feay sadar akan ekonomi keluarganya yang tengah menemui titik terendah. Apalagi saat ini adik perempuannya, Fuu juga harus masuk ke SMK favorit se-Palembang. Ditambah hubungan keluarga yang tidak harmonis membuat peperangan sendiri di benak Feay.

Ia tak bisa egois cukuplah dirinya yang dulu saja—yang telah menjadi penyebab lemahnya perekonomian keluarga. Besarnya kasih sayang ibu yang tak mau melihat anaknya ketinggalan zaman, rupanya hanya dipandang sebelah mata oleh sang ayah. Hal itulah membuat Feay menjadi anak yang manja dan banyak maunya. Makanya, mulai saat ini ia sudah sedikit mengerti untuk mendongkrak ekonomi keluarganya, bukan malah melubangi pondasinya yang makin terasa melemah. Banyak hal yang sudah terjadi. Bahkan hal yang sulit untuk tidak disesali.

Syahdan, Feay memutuskan untuk bekerja. Cita-citanya ia sisikan. Ia tak ingin lagi terjebak dalam keraguan dan kebimbangan hati—yang pernah menyebabkan dirinya salah dalam memilih langkah. Maka, demi meraihnya mimpi pun perlu ia korbankan.

Jaket ia kenakan, helm ia pasang, berkas sudah ia siapkan semalaman. Feay menyalakan motor Beat yang setia menemaninya semasa SMA. Motor yang mengingatkannya pada masa-masa yang paling mengangkatnya hingga ke atas angan. Namun, kini tinggal kenangan. Ia menghembuskan nafas perlahan menancapkan gas, menggiring motornya menelusuri gang-gang sempit hingga keluar menuju jalan raya.

Tak sedikit info loker di kota Palembang yang ia dapatkan dari broadcast teman di BBM dan WhatsApp. Beberapa info lainnya ia baca dari koran dan hasil browsing-nya di internet semalam. Masalahnya, apakah dirinya sudah benar-benar siap melamar pekerjaan? Dengan CV seadanya dan dirinya yang hanya sebatas lulusan SMA, di negeri ini pekerjaan apa yang bisa didapat? Paling Office Boy, batinnya. Namun, Feay telah memantapkan dirinya. Bodo amat dengan segala tetek bengek yang penting pekerjaan itu halal.

Satu demi satu kantor, perusahaan, hotel, serta restoran yang ia datangi. Ada yang menyambutnya dengan ramah, ada juga yang mengusirnya seperti anjing tanah. Hari demi hari ia lalui, semakin banyak info loker yang ia terima, semakin banyak pula tujuan yang ia hampiri. Selagi menunggu kabar dari CV yang sudah ia kirim kemarin-kemarin. Berharap ada yang bisa menerimanya. Paling tidak memintanya untuk datang melakukan interview lebih dulu.  Seminggu, dua minggu, bahkan tiga minggu berlalu seperti air mengalir dari ilir ke ulu. Ia hanya duduk melulu. Lelaki paruh baya itu sangat yakin jika ia tidak meninggalkan nomor telpon dan email yang salah ke dalam CV-nya. Tapi, kenapa bahkan yang menyambutnya dengan ramah tak kunjung menghubunginya. Apalagi yang mengusirnya seperti anjing tanah.

"Nak, anak tetangga udah pada lulus UNSRI dan POLSRI. Kamu gimana hasilnya udah keluar? Ibu sih nggak peduli dengan kampusnya asal kamu bisa kuliah saja, ibu sudah senang."

Bersambung ....

_______________________
U L A H & I M A

_______________________U L A H & I M A

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Kontradiksi Hati | ULAH & IMAWhere stories live. Discover now