Sidang dan Recana Pertemuan

180 6 0
                                    

"Kasih sayang yang tersembunyi kadang kala tidak mudah tertangkap indra. Namun ketulusannya pasti mampu dirasakan oleh hati-hati yang mau terbuka."

***

Masih terlalu pagi sebenarnya untuk berkemas. Matahari baru saja muncul dari sudut timur, dengan warna persis senja petang. Seusai ibadah subuh, aku sudah sibuk dalam kamar minim perabotan ini. Hanya ada beberapa perkakas yang dirasa perlu.

Alasanku kuat saat ibu bertanya mengapa kamar yang kuhuni teramat sunyi. Sebab dengan ini, aku merasa lebih hidup. Setidaknya ada banyak pasokan oksigen yang bisa kuhirup tanpa harus ada halangan sterik di sekelilingku.

Baiklah, mari kita tinggalkan basa-basi mengenai kamar ini. Aku telah mengenakan kemeja putih dengan bawahan celana hitam. Tak lupa dasi hitam panjang telah membelit kuat leherku. Jas dengan warna senada masih kubiarkan tergantung dekat lemari jati.

Selanjutnya aku turun ke lantai bawah untuk sarapan seperti biasa. Ternyata aku bersiap cukup lama juga.

"Pagi, Ibu." Aku menyapa ibu seperti biasa.

"Pagi, Sayang. Kamu sarapan dulu, ya. Ibu udah siapin nasi goreng dan susu putih."

Aku mengangguk dengan senyum cerah. Sedetik kemudian, mataku menangkap kursi kosong di depanku.

"Ayah mana, Bu?"

Ibu berhenti menata makanan. Berbalik menatapku dengan senyum tipisnya.

"Masih di kamar. Mungkin masih berkemas. Makanlah terlebih dahulu. Ayah akan menyusul."

Aku kembali mengangguk. Menikmati makanan di hadapanku dengan penuh khidmat. Beberapa menit berselang, aku mendengar suara berderit di depanku. Ayah tengah menarik kursi yang sedari tadi kosong. Ibu dengan cekatan menuangkan nasi goreng di piring kosong dan sepasang sendok-garpu, mendorong pelan tepat di hadapan ayah.

Aku mendengar lirih suara ayah mengatakan terima kasih. Tepat aku menyelesaikan nasi gorengku, ayah memandangku dengan tatapan tenang, seperti biasa.

"Bagaimana persiapan sidangmu, Rif?"

"Alhamdulillah, baik, Ayah."

Ayah mengangguk beberapa kali. Lalu kembali berujar, "Kamu tidak lupa, kan, apa yang Ayah-ibu katakan malam tadi?"

Aku menatap ayah. "Tidak, Ayah. Tapi, Ayah-ibu akan datang, kan?"

Kali ini ibu yang menjawab, "Pasti, Nak. Ibu yang akan datang."

Serta-merta kecewa bersarang di dadaku. Aku sudah bisa menebak jawaban apa yang akan kuterima. Untuk apa aku bertanya? Setidaknya aku masih berharap ayah akan peduli, diam-diam tanpa aku ketahui.

Sarapanku tandas sudah. Pelan aku tarik ke belakang kursi yang kududuki. Ayah tidak suka bising, tapi aku sudah tidak punya keperluan lagi di meja makan ini. Jadilah aku kembali ke kamar dengan tak lupa berpamitan terlebih dahulu.

Aku sudah kembali bersama dengan jas hitam dan ransel di punggungku. Ada makalah, laptop dan peralatan lain di dalam sana. Aku menarik napas pelan. Memantapkan diri untuk sidang penentuan kelulusanku.

Di dapur hanya ada ibu yang tengah sibuk membersihkan sisa makanan. Tidak ada ayah di sana. Mungkin sudah berangkat bekerja. Jika pagi-pagi seperti ini ayah sudah tidak terlihat keberadaannya, biasanya ada rapat mendadak yang tengah menanti.

"Ayah sudah pergi. Buru-buru katanya." Jawaban ibu persis dengan dugaanku.

Aku hanya mengangguk, memasang senyum terpaksa. Apa lagi yang kuharapkan? Ayah menanyakan persiapanku seperti tadi saja sudah membuatku senang. Mendapati kenyataan seperti ini seharusnya tak membuatku sedih.

"Syarif berangkat, ya, Bu. Doakan sidang pagi ini lancar."

Ibu menerima uluran tanganku. Lembut sekali elusan tangannya mengusap rambutku. Setidaknya ibu selalu bersikap hangat padaku. Itu sudah lebih dari cukup bagiku.

"Jangan lupa berdoa, Nak. Semoga sidang pagi ini lancar. Selepas Ibu bersiap-siap, Ibu akan menyusul. Jam berapa Ibu harus datang?"

"10.15, Bu."

"Baiklah, sekarang lekaslah berangkat. Kamu tidak akan lupa pertemuan hari ini, bukan?" Lagi-lagi ibu mengingatkan. Jika sudah seperti ini, pastilah pertemuan ini sangat-amat penting. Yang kutahu, kami akan bertemu teman lama ayah. Itu saja, tidak lebih.

"Syarif berangkat, Bu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alakumussalam."

***

"Wooaa!! Akhirnya empat tahun kamu terbalas juga, Rif." Hadi bersorak heboh di sampingku.

Aku tertawa kecil. Ketegangan di ruang tertutup tadi sirna sudah. Aku sudah bisa bernapas normal kini. Di tanganku sudah tergenggam beberapa bunga beserta kartu ucapan mahaindah dari teman-teman yang menungguku di luar ruangan.

Aku sempat bertanya-tanya, siapa kiranya pencetus tradisi ini. Bunga-bunga flanel ini membuatku geli. Mengetahui aku adalah seorang lelaki, rasanya lucu sekali mendapatkan bunga warna-warni sebagai hadiah dalam satu sejarah hidupku yang tak pula penuh rona. Dari merah paling pekat hingga ungu yang paling gelap, dengan kata-kata penuh drama yang dijejalkan di tiap bunga tanpa nyawa. Tapi, lagi-lagi, tidak sopan menolak pemberian orang lain, bukan?

Aku mengetikkan balasan pesan dari ibu. Ibu sudah di perjalanan, katanya.

[To: Ibu Tercinta]

Syarif sudah selesai, Bu. Syarif akan menunggu di halte depan.

"Aku harus pulang. Ibuku lagi di jalan kemari."

"Loh, loh, baru aja kita ngumpul. Kamu gak lupa, kan?"

Sudah berapa kali aku mendengar diksi 'lupa' pagi ini?

Aku tersenyum kecil. "Untuk itu, akan segera kita agendakan. Tapi, kali ini aku benar-benar gak bisa. Ada hal penting yang harus kuurus."

Galih, Hadi, Ilham dan Reza yang sejak tadi terus menemaniku mengangguk walau tak serentak. Setelah mengungkapkan rasa terima kasihku, aku benar-benar melangkah pergi dari hadapan mereka. Tujuanku sekarang satu, halte bus tak jauh dari fakultasku. Tempat perhentian mobil ibu beberapa saat lagi. Aku memang sengaja tidak membawa kendaraan tadi. Memilih pergi bersama Hadi, salah satu karibku sejak semester satu.

Tiga menit aku menunggu, mobil ibu sudah berhenti tepat di depanku. Aku melongok ke dalam melalui jendela yang terbuka. Ibu sendirian. Lagi-lagi aku menghela napas berat. Apa yang kuharapkan? Ayah akan pergi dari kantornya, begitu kata ayah pagi tadi.

Pernyataan ibu membuyarkan lamunanku.

"Selamat, ya, Sayang. Hadiah buat kamu akan diberikan saat kita sampai nanti."

Perlahan aku menarik kedua sudut bibirku. Tenang saja, selalu ada ibu yang hangat padaku. Itu sudah lebih dari cukup, bukan?

"Naiklah!"

Aku tersadarkan, segera menempati bangku sebelah kemudi. Pelan ibu melajukan mobil ke tempat yang masih asing bagiku. Setidaknya, untuk saat ini.

__

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Selamat membaca!
Jangan lupa follow, ya:)
Temukan saya di ig @fajariahsf_

Tanya?Donde viven las historias. Descúbrelo ahora