Pernikahan dan Pernyataan

201 7 2
                                    

"Perihal kecewa, kita memiliki dua pilihan yang sama riskannya. Melepaskan atau balik menerima. Keduanya tidak akan mudah."

***

"Aa ... sa-saya, Om?" Sial! Lidahku patah-patah hanya untuk menjawab pertanyaan om Dito.

Kalau saja ayah dan ibu memberi tahukan semua ini sehari sebelumnya saja, mungkin tidak akan seperti ini. Setidaknya aku punya kata-kata yang bisa diucapkan, tidak segugup seperti sekarang ini.

Om Dito tersenyum tenang. Lagi-lagi lidahku kelu. Aku seperti dikuliti oleh banyak pasang mata. Sedangkan ibu sudah memohon lewat bola mata beningnya itu.

Ayolah! Aku tak perlu alasan untuk menolak perjodohan ini. Tapi, dentuman keras di dalam sini terus saja mengganggu konsentrasiku sejak tadi. Malangnya, gadis itu masih saja tenang dengan ketertundukannya. Tidak melirikku barang sedikit pun.

"Jadi, gimana, Rif?" Om Dito kembali bertanya. Sungguh kenyataan saat ini sangat berkebalikan dengan kondisi biasanya. Seharusnya seorang gadislah yang ditanya mengenai lamaran seorang pria. Lalu, mengapa aku yang ada di posisi ini?

Ternyata beginilah yang dirasakan seorang gadis lajang yang berusaha menjawab pinangan lelaki. Dag-dig-dug ini benar-benar berdampak besar padaku. Sekonyong-konyong pusing menjalar ke seluruh bagian kepalaku.

"Rif ..." Kali ini ibu, sedang ayah tetap duduk tenang di tempatnya. Tatapan mata ibu benar-benar membuatku semakin kliyengan.

"Aa ... i-iya, Om. Saya terima." Double sial! Aku benar-benar malu. Mungkin wajahku sudah pucat pasi. Untung saja gadis itu tidak berminat mengangkat wajahnya sejak tadi. Namun aku sempat bertanya-tanya, tidakkah ia lelah dengan posisi seperti itu?

"Alhamdulillah. Kalau begitu kita akan menggelar akadnya tepat hari ini, siang ini. Untuk mahar, saya dan putri saya tidak memberatkan kamu, apa saja yang kamu bisa dan punya, sisanya bisa menyusul belakangan. Penghulu dan para saksi sudah kami siapkan. Tugas kamu hanya menghapalkan lafal ijab qobul-nya."

Lagi-lagi aku terperangah. Jadi, semua ini benar-benar sudah direncanakan? Lalu, buat apa mereka menanyakan kesediaan kami berdua? Aku ingin tertawa mendapati perjodohan super konyol ini.

Aku tak pernah menyangka pernikahanku akan berjalan seperti ini. Setidaknya aku pernah bermimpi untuk meminang gadis yang kusukai dan menjalani pernikahan normal seperti yang lainnya. Bukan pernikahan serba dadakan seperti ini. Semua kesiapan bahkan sudah diambil alih oleh para orang tua.

"An, kamu bersiap-siaplah! Sebentar lagi perias akan sampai di kamarmu."

Berbeda denganku yang terus-menerus terperanjat sejak tadi, gadis itu masih saja bersikap tenang. Tidak membantah, pun mempertahankan suatu hal apa pun.

Jadi, di sini yang aneh aku atau mereka?

***

Aku sudah menghapalkan lafal ijab qobul sejak tadi. Nama gadis itu cukup sederhana dan mudah diingat. Tanya Ayundia Putri. Kami sama-sama memiliki awalan huruf P di akhir nama kami. Apalah ini pertanda kami akan berjodoh di dunia, pun di akhirat nanti? Aku menggeleng bodoh. Semua ini membuatku berpikir seperti anak kecil. Hingga menghubung-hubungkan nama dengan jodoh.

"Gimana, Rif, perasaanmu? Kamu diam saja sejak tadi." Di saat seperti ini, om Dito masih sempat bertanya santai disertai tawa renyahnya. Puas sekali melihat wajah pucatku.

Setidaknya aku bisa lebih tenang mendapati calon mertuaku adalah sosok yang humoris dan santai di setiap kesehariannya. Seringkali aku merasa kikuk hanya untuk mengajak ayah bercengkrama. Iya, hubunganku dengan ayah memang tidak biasa. Terkesan kaku dan formal di beberapa kondisi.

Aku menarik napas berat. "Lumayan gugup, Om. Apa selalu seperti ini kalau akan menikah, Om?" Aku meletakkan kertas yang harus kuhapal mati sejak tadi di atas meja. Di atasnya kuletakkan ponselku, menahannya agar tidak terbang ditiup angin.

Om Dito tersenyum kecil. Memandangku sebentar sebelum menjawab pertanyaanku. "Begitulah. Bagaimanapun ini adalah prosesi sakral, mendapati kenyataan bahwa seorang lelaki akan mengambil gadis yang dipinangnya dan menerima tanggung jawab yang selama ini dipikul ayahandanya.

"Hal itu tidak akan mudah, Nak. Sejak kamu mendengar kata 'Sah' dari para saksi, maka sejak itulah kamu harus siap membimbing dan mengarungi bahtera rumah tangga bersamanya. Kamu bertanggung jawab atasnya, atas tingkah lakunya serta kebutuhannya, lahir dan batin."

Aku mengangguk paham. Sedikit demi sedikit rasa gugupku menguap. Beberapa jam ke depan tanggung jawabku akan bertambah, seperti yang dikatakan om Dito. Beberapa jam ke depan statusku akan berubah, dari seorang lelaki lajang menjadi suami orang.

Ya, kenyataan itu cukup membuatku tegang, walau sekarang berangsur hilang.

***

"Saya terima nikah dan kawinnya Tanya Ayundia Putri binti Aldito Kusuma Putra dengan mas kawin tersebut dibayar TU-NAI."

"Bagaimana saksi?"

"SAH!!"

Serta-merta dadaku terasa lapang. Gugup yang sempat melilitku berangsur hilang. Senyum cerah mampu menghias bibirku.

Akhirnya.

Dalam satu waktu aku benar-benar dibuat terkejut berkali-kali. Tapi, kalau rasanya sebahagia ini, aku yakin tak akan kecewa.

Tanya-istriku-mengisi ruang kosong di sampingku. Dia cantik sekali. Aku tidak berbohong. Melihatnya sedekat ini ternyata sangat menyenangkan. Bahkan, mengetahui ia benar-benar menjadi istriku membuatku tak mampu menghentikan senyum sejak tadi. Iya, aku sebahagia itu memang.

Dalam hitungan jam aku berjumpa, jatuh cinta bahkan menikah tanpa disangka. Dan tokoh utama dalam cerita ini adalah dia, Tanya Ayundia Putri, yang kini tengah bersiap mengecup tanganku, tanda bahwa ia telah sah menjabat sebagai istriku.

***

Apalah arti bahagia jika orang yang kita cinta tidak menginginkannya. Aku tambahkan satu hal lagi yang baru kutahu kebenarannya-tepat setelah kami sampai di sebuah kamar yang tahu-tahu sudah dihias bak kamar pengantin. Dari penglihatanku, bisa jadi ini adalah kamar istriku.

"Aku tahu kita baru saja menikah. Tak elok rasanya mengatakan semua ini. Tapi, aku tak mau terbebani dengan ini semua. Semua ini cukup melelahkan, setidaknya bagiku."

Aku menatap heran gadis di hadapanku. Dia bukannya menyilakanku duduk di atas kasurnya, malah mengajakku berdiri sejak tadi. Berhadap-hadapan. Dengan mata yang mulai berani memandangku saat ia berbicara.

"Maksud kamu?"

Dia menghela napas. Nampak menimbang-nimbang sesuatu. "A-aku tahu ini sudah terlambat." Dia mengedarkan pandangan ke arah lain, menghindari tatapanku. "A-aku tidak mencintaimu. Tidak akan bisa mencintai kamu."

Aku tersenyum kecil. Meraih kedua tangannya, yang untungnya tidak mendapat penolakan.

"Itu wajar, Ay."-Aku memilih panggilan 'Ay'. Sengaja kupotong dari penggalan nama 'Ayundia'-"Kita baru aja bertemu pagi tadi, lalu menerima perjodohan ini tak lama setelah itu. Tidak akan mudah menerima kenyataan yang serba dadakan ini. Jadi, aku tak akan menyalahkan kamu, memaksamu untuk segera mencintaiku. Kita bisa melakukannya perlahan-lahan. Kamu pernah dengar, kan? Cinta datang karena terbiasa. Selagi kita melakukannya bersama-sama, tidak akan ada masalah."

"Enggak." Dia masih kukuh menolak. "Itu tak akan pernah terjadi, Rif. Semua ini keinginan papa, bukan aku."

Aku menghela napas, kecewa. "Apa ini yang ingin kamu katakan? Di hari pernikahan kita? Setidaknya berpura-puralah bahagia, hari ini saja."

Tepat dalam satu waktu aku berjumpa, jatuh cinta, menikah dan kecewa tanpa bantahan. Resmi sudah aku merebut kebahagiaan seorang wanita.

__

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Selamat membaca!
Jangan lupa follow, ya:)
Temukan saya di ig @fajariahsf_

Tanya?Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin