Perkenalan dan Perjodohan

148 5 0
                                    

"Jika kenyataan selalu seindah ini, bagaimana bisa aku menolaknya?"

***

Jalan yang kulalui teramat asing. Entah sudah berapa lama kami di jalanan sepi ini. Lima belas menit, dua puluh atau bahkan tiga puluh? Entahlah, fokusku tidak begitu baik saat ini.

Jalanan ini memang sepi, aku tidak berbohong. Tidak banyak kendaraan melintas di sekitar sini. Itu yang kuamati sejak tadi. Atau mungkin hal ini hanya terjadi sesekali, seperti pagi ini contohnya.

Ibu serius menyetir di sampingku. Dan aku tidak punya bahan obrolan yang bisa diperbincangkan. Jadilah kami hanya diam-diaman sejak tadi. Ibu pun hanya bertanya satu-dua kalimat di awal perjalanan tadi.

Lima menit berselang, aku mulai jenuh berdiam diri. Basa-basi sedikit tidak ada salahnya.

"Ehm," aku membasahi tenggorokan yang kering diajak diam sejak tadi, "masih jauh lagi, Bu? Kalau Ibu lelah, Syarif bisa menggantikan Ibu menyetir."

Ibu tersenyum manis. Semanis biasanya. "Tidak akan lama, Nak. Sepuluh atau lima belas menit lagi kita akan sampai. Ayah mungkin sudah sampai, dia membawa mobil lebih cepat daripada Ibu. Bukankah begitu?"

Aku tersenyum. Betul juga.

"Sebenarnya akan ke mana kita, Bu?" Sejujurnya aku masih penasaran. Tak seperti biasa, ayah dan ibu membawaku ke rumah teman lama mereka.

"Ke rumah teman ayah. Om Dito. Kamu tidak kenal, karena ini kali pertama kami membawamu ke sana."

Aku diam. Merasa sudah cukup bertanya. Intinya tetap sama. Kami akan pergi menemui teman ayah. Untuk apa-apanya, aku belum bisa menyimpulkannya.

Tepat sepuluh menit kemudian, kami sampai di sebuah rumah dua lantai. Ada taman luas di halaman rumah. Ada beberapa bunga yang ditanam di sana. Hanya beberapa yang kukenal, seperti mawar, tulip dan matahari. Sudah jarang sekali aku melihat bunga matahari di sekitarku. Sepertinya tak banyak orang yang menanamnya.

Mobil kami sudah memasuki pekarangan rumah yang katanya milik om Dito itu. Gerbang coklat tua itu terbuka tepat ibu menyalakan klakson, bertanya keberadaan si tuan rumah. Mang Asep-begitu nama yang kutangkap dari percakapan antara ibu dan satpam rumah ini-membukakan gerbang besar itu dan menyilakan kami masuk.

"Kamu tetap di sini, Rif?"

"Eh?"

Aku tertegun. Ibu sudah di luar, siap menutup pintu mobil sebelah kanan.

Buru-buru aku melepas seat belt yang membelit tubuhku. Mengikuti langkah kaki ibu. Hal yang pertama kulihat adalah seorang pria paruh baya. Rambutnya masih hitam keseluruhan, kemeja biru membungkus tubuh atletisnya. Kata pertama yang kutangkap dari orang itu adalah tampan. Ya, sebagai seorang lelaki aku mengakui pria di hadapanku tampan, bahkan di usianya yang tak lagi muda.

"Ini yang namanya om Dito, Rif. Beri salam, Nak."

Jadi, pria di hadapanku ini om Dito? Teman lama ayah?

Ibu menyikut lenganku karena tak juga memberi salam.

"Ah-oh, saya Syarif, Om. Putra satu-satunya ayah Naufal." Aku memberi senyuman terbaik yang kupunya. Tak lupa menyalaminya sebagai rasa penghormatan.

Om Dito tersenyum ramah. "Wah, ini ternyata bakal calon mantu Om. Ayo, ayo, masuk! Di dalam udah ada ayah kamu."

Aku menatap heran om Dito. Lalu menoleh ke arah ibu, bertanya lewat lirikan mata. Ibu hanya menggeleng pelan. Memintaku berjalan mengikuti om Dito yang sudah cukup jauh meninggalkan kami.

Kesan pertama yang kudapat saat masuk rumah ini adalah ... nyaman. Rumah ini tidak semewah rumah para bangsawan, namun mampu menentramkan setiap mata yang memandang.

Kami berhenti di sebuah sofa yang telah berpenghuni. Sudah ada ayah, wanita paruh baya yang kuanggap sebagai istri om Dito dan pemuda yang kutaksir memiliki umur tak jauh dariku.

Aku memilih single sofa, sedang ibu duduk di samping ayah. Om Dito baru saja kembali dari dapur. Memberi tahu asisten rumah tangga untuk membuatkan minum ... mungkin.

"Nah, ini anak sulung Om. Namanya Nata. Yang samping Om, tante Gea, istri Om."

Aku mengangguk paham. Ikut memberi salam, memperkenalkan diri pada istri dan sulung om Dito.

"Oh, iya, kebetulan si bungsu sebentar lagi akan sampai. Om punya dua orang anak, pasangan, laki-laki perempuan."

Lagi-lagi aku mengangguk. Tidak punya kata-kata yang bisa diperbincangkan.

Tak lama waktu berselang, aku menangkap alunan salam dari pintu utama. Om Dito bangkit dari duduknya, menolak bi Sarah yang baru saja akan berbelok menyambut tamu di depan sana.

Suara tapak kaki menarik kesadaranku. Memintaku untuk mengangkat kepala. Dan tepat sekali bola mataku menangkap seorang gadis berkerudung biru yang sangat pas sekali di wajah putih susunya.

Entah berapa lama aku terpaku, tahu-tahu dia sudah duduk di hadapanku, diapit oleh om Dito dan tante Gea.

"Kami sudah lama menunggu saat-saat ini tiba. Papa sudah bilang, kan, ingin memberimu kejutan di hari kepulanganmu?" Om Dito melayangkan pertanyaan ke gadis berkerudung biru itu. Aku tidak tahu namanya, atau mungkin dia sudah memperkenalkan diri namun aku belum benar-benar pulih dari keterkejutanku.

"Iya, Papa. Anya sudah siap mendengarkannya." Baiklah, aku sudah tahu namanya. Anya, anggap saja begitu.

"An, lelaki di hadapan kamu ini adalah calon suami kamu. Syarif namanya. Putra semata wayang dari om Naufal dan tante Diva. Kamu kenal nama-nama itu, bukan?"

Aku terperangah mendengar kalimat om Dito yang teramat santai itu. Anehnya, hanya aku yang terkejut. Sedang gadis yang dipanggil Anya itu tampak biasa saja.

"Iya, Papa. Teman baik Papa sejak kuliah."

Gadis itu berujar tenang. Sejak tadi ia hanya menunduk, jadi aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya. Saat aku sudah ketar-ketir mendapatkan kenyataan ini, aku tidak tahu perasaan apa yang ia miliki saat ini.

"Nah, seperti yang sudah kami sepakati sejak kalian kecil dulu, kami akan menikahkan kalian saat dewasa. Bukan begitu, Fal?"

Ayah mengangguk mantap di tempatnya. "Iya, kebetulan Syarif baru saja menyelesaikan sidang komprehensif-nya pagi tadi. Sedang kamu tengah menjalani semester akhir dan tak lama lagi akan menyusul Syarif meraih gelar sarjana. Jadi, ini adalah saat yang tepat."

Aku menahan napas untuk beberapa saat. Kenyataan ini cukup indah, namun terlalu mendadak juga bagiku. Aku masih mampu merasakan degup keras di dadaku. Tapi anehnya, gadis itu masih saja tampak biasa. Apa aku-nya saja yang terlalu berlebihan?

"Ah, iya, Rif, ini Tanya, putri bungsu Om yang Om ceritakan tadi. Seperti yang kamu dengar barusan, dia yang akan menjadi istri kamu. Hari ini juga."

Lagi-lagi aku tertegun. Hari ini? Apa maksud kata-kata ambigu itu?

"Gimana, An?" Kali ini om Dito menelengkan kepalanya ke samping kanan, tepat ke arah Tanya.

"Anya ikut kata-kata Papa dan Mama."

Itu artinya?

"Kalau kamu, Rif?" Belum selesai rasa terkejutku, om Dito kembali bertanya padaku.

Aku harus jawab apa? Tentu saja aku mau, tapi bukankah ini terlalu mendadak? Menerima perjodohan dan menikah hari ini juga?

__

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Selamat membaca!
Jangan lupa follow, ya:)
Temukan saya di ig @fajariahsf_

Tanya?Onde as histórias ganham vida. Descobre agora