#1

12.5K 580 27
                                    

Seorang cowok dengan seragam putih abu-abu sedang berpantas di depan kaca lemari. Ia tersenyum simpul mengamati penampilan rapinya pagi ini. Ponsel hitam di atas nakas coklat bergetar cukup lama tanda ada panggilan masuk. Dengan sigap, ia menyambar ponsel tersebut dan menjawab panggilan.

"Iye tunggu bentar" Ia memasukkan ponsel ke dalam saku celana seragam. Meraih jaket parka hijau army yang berada di kasurnya.

Kaki jenjangnya menuruni tangga dengan lincah. Sesekali ia bersiul sepotong nada dari lagu favoritnya. Seolah menunjukkan suasana hatinya dengan bagus.

"Mas Ken ndak sarapan dulu?" Tanya bi Ida saat melihat anak majikannya hendak keluar rumah.

Bi Ida memang terbiasa memanggil Ken dengan sebutan 'Mas' daripada 'Den', itu juga karena kemauan Ken sendiri. Katanya biar bisa lebih akrab. Menurutnya, seorang pembantu juga bagian dari keluarga. Apalagi bi Ida sudah bekerja dengan keluarganya selama 10 tahun.

Ken menghentikan langkahnya. Menunggu bi Ida yang berjalan tergopoh-gopoh menghampiri dirinya. Tangan beliau dengan gesit membenahi letak jaket Ken.

"Saya tidak sudi sarapan satu meja dengan anak sialan itu!" Ujar seseorang dengan suara dingin.

Ken dan bi Ida menoleh pada sumber suara. Namun, si empunya suara memilih tidak ambil pusing dengan tatapan mereka. Ia terus berjalan menuju ruang makan di mana semua anggota keluarga sudah menunggu untuk sarapan.

Sudah biasa bagi Ken mendengar perkataan kasar tentang dirinya. Ken tidak membantah ataupun membalas, sebaliknya ia memilih mengulas senyum untuk menutupi denyut perih di hatinya.

"Aku makan di kantin aja, bu" Ken mengulas senyum terbaiknya pagi ini.

Bi Ida menatap Ken, sendu "Yowes. Jangan lupa makan"

Ken hanya mengangguk. Ia meraih tangan bi Ida dan berpamitan seperti biasa.

"Hati-hati, nak" Ken mengangguk lagi, bibirnya mengulas senyum untuk bi Ida.

🍃🍃🍃

Ken melepas helm fullface yang sejak tadi bertengger di kepalanya. Menunggu Gideon, sahabatnya, memakirkan motor. Pandangannya menyapu ke seluruh parkir sekolah yang sudah penuh oleh jajaran motor para murid dan guru. Ken tersenyum simpul saat netranya menangkap helm bogo hitam yang tergeletak begitu saja di spion motor bebek.

"Yon, Ken, tunggu!" Teriak seorang siswa dari belakang saat Gideon dan Ken akan menaiki tangga sekolah.

Gideon memundurkan langkahnya yang baru menaiki anak tangga pertama. Ken mendorong tubuhnya sedikit karena kaki besar Gideon hampir saja menginjak kakinya. Gideon hanya menyengir.

"Tumben gak telat" Ken mengangkat satu alisnya. Sedangkan yang ditanya hanya tersenyum.

"Lo lupa?" Tanya Gideon tanpa mengalihkan pandangannya dari siswa yang kini berdiri tepat di samping kirinya.

Gideon memutar bola matanya. "Si bangsat udah punya pacar. Jadi kalo pagi punya alarm sendiri"

Gideon kembali melanjutkan langkahnya setelah mendengar respon 'Oh' dari Ken. Sedangkan di belakangnya ada Ranu dan Ken yang asik membicarakan tentang pacar baru Ranu yang ternyata siswi sekolah sebelah.

Keadaan sudah sangat gaduh saat mereka memasuki kelas. Ada yang mengerjakan PR, ada yang bergosip, ada yang membaca novel, ada yang tidur. Yang lebih membuat anak sekelas jengkel adalah bendahara kelas yang hobi nagih tunggakan uang kas di pagi hari.

"Lo bertiga nunggak sebulan" Ujar Rani sembari melihat catatan pembayaran uang kas yang selalu dibawanya.

"Siangan dikit kenapa sih? Gue belum sarapan, Ran. Udah lo palakin aja" Ken mendengus kesal. Baru saja ia meletakkan pantatnya di kursi, Rani sudah menagih uang kas.

"Itu alesan yang lo pake sebulan ini" Rani menatap mereka bertiga secara bergantian.

Ken mendengus kesal. Dengan terpaksa, ia harus merelakan uang sakunya berkurang banyak untuk membayar uang kas.

"Limapuluh ribu, mas Ken yang ganteng" Rani mengembalikan selembar uang dua puluh ribu yang diberikan Ken.

"Yaudah kalo gak mau"

"Eits" Rani menyahut kembali uang tersebut. "Daripada lo gak bayar. Makin susah nagihnya."

"Lo kenapa blokir whatsapp gue?" Tanya Rani saat menerima uang dari Ranu.

"Lah? Yang kemaren itu nomer lo?"

"Iyalah. Siapa lagi"

"Gue kira rentenir nyasar"

"Anjing" Rani menoyor kepala Ranu sebelum melanjutkan kegiatannya untuk menagih murid lain.

"Kantin yuk" Ajak Gideon yang sejak tadi masih berdiri di samping mejanya.

Belum juga tuntas langkah mereka, suara bel terdengar berdering keras melalui speaker kelas. Ranu berdecak keras karena harapannya pagi ini untuk sarapan nasi uduk buatan kajok pupus begitu saja. Bukan tanpa alasan, nasi uduk kajok alias kantin pojok itu memang terkenal paling enak seantero sekolah. Siang sedikit, sudah bisa dipastikan tidak akan kebagian.

Jam kosong adalah satu-satunya hal yang paling dinantikan para murid selain dibatalkannya ulangan. Sebab mereka bisa melakukan aktivitas yang tertunda. Tidur misalnya. Seperti saat ini, setelah kecewa dengan bel tanda masuk dan kabar bahagia bahwa untuk 2 jam pelajaran pertama adalah jam kosong, Ken memilih tidur di kelas. Tanpa memperdulikan 3 orang di sekitarnya yang saling mengumpat hanya karena sebuah game online.

Bukannya Ken tidak tertarik pada game online, namun ia memilih untuk mengistirahatkan otaknya sejenak sebelum nanti digunakan untuk mengerjakan ulangan fisika. Ken itu tidak pandai. Ia sendiri juga heran kenapa bisa masuk jurusan MIPA yang jelas-jelas pelajarannya penuh dengan angka.

Awalnya, Ken memilih jurusan IPS karena merasa kapasitas otaknya hanya mampu untuk menampung pelajaran sejarah. Mata pelajaran yang sangat disukainya. Namun, bu Ratna - guru BK - memaksanya untuk pindah jurusan MIPA dengan alasan bahwa Ken itu sebenarnya murid jenius. Kenapa Ken mau? Sebab bu Ratna adalah satu-satunya guru yang paling dihormati oleh Ken.

"Ken" Panggil Gideon tanpa mengalihkan netranya dari game di ponsel.

"Ken" Kali ini kaki jenjang Gideon menyenggol keras kaki Ken.

"Hm" Ken masih mempertahankan posisinya, menelungkupkan wajah yang bertumpu dengan kedua tangannya.

"Cariin noh"

Dua kata yang sukses membuat Ken membenahi posisi duduknya. Ken merapikan rambutnya dengan satu gerakan tangan. Mengusap-usap wajahnya agar tidak terlihat seperti bangun tidur. Ia lalu berjalan keluar kelas untuk menemui seseorang yang tadi mencarinya.

"Kenapa?" Tanya Ken pada seorang siswa kelas 11 yang kini sudah berdiri dihadapannya.

Tinggi mereka sama, namun perawakannya lebih besar. Wajahnya pun tidak berbeda jauh dengan Ken, hanya saja ia memiliki lesung pipit di kedua pipinya.

"Ambilin jurnal gue di rumah" Satu lagi, Rendra memiliki tatapan yang lebih tajam dari Ken.

"Nggak bisa. Gue habis ini ada ulangan fisika"

"Udah berani nanggung?" Rendra menunjukkan senyum sinis.

"Kenapa nggak minta tolong mang Imron aja"

"Oke kalo itu mau lo"

Rendra mengeluarkan ponsel hitam dari saku celana seragam. Namun, gerakannya terhenti saat Ken menahan lengan kanannya.

"Gue ambil. Tapi sabar"

Rendra tersenyum puas, sedangkan Ken hanya mendengus pelan sebelum melangkahkan kakinya menyusuri koridor sekolah.





















Gimana ceritanya?
Oiya buat yang ngerasa kok sama dengan yang lama, nahhh itu emang beberapa aku revisi kecil-kecilan. Entah bagian awal, tengah, atau akhir. Jadi saranku baca full aja biar gak bingung 😁😁

Jangan lupa VOMMENT 😊

Selamat membaca 💙💙

ECCEDENTESIASTOù les histoires vivent. Découvrez maintenant