Videos

41 5 56
                                    

Dua perempuan dan pria itu tertawa keras menyaksikan seorang gadis tengah tersungkur dengan wajah yang dipenuhi lumpur. Mulutnya masih menggembung, menahan sesuatu yang ada di dalam agar tidak tertelan. Tangan gadis itu menggerayangi bumi. Mencari kacamata bulat yang biasa ia pakai.

Beberapa pria yang menyaksikan di sekeliling lapangan pun ikut tertawa. Sedangkan sebagian lagi, menatapnya kasihan. Namun tak ada yang berani mendekat.

Tanpa disadari, sebuah sepatu fantofel mendarat di jari-jari manisnya. Gadis berkepang dua itu menjerit. Memuntahkan apa yang ada di dalam mulutnya dan memohon ampun pada segerombol orang yang mengelilinginya.

Di ruangan tanpa lampu yang menyala terang. Semua terlihat samar-samar. Video berdurasi lima menit tadi diputar beberapa kali oleh Ela. Tidak hanya itu, video lain yang serupa menampakkan wajah gadis yang sama pun, ia putar berkali-kali. Tidak ada rasa bosan, yang ada mimik wajahnya yang selalu berubah-ubah.

Terkadang ia tersenyum, lalu tertawa terpingkal-pingkal. Terkadang ia menangis sampai sesegukan. Terkadang ia menatap tajam dengan menggepalkan kedua tangan, bersiap untuk memukul seseorang. Namun, tak lama kemudian ia kembali normal dengan wajah lugu yang cantik.

Setelah selesai menonton lima video dengan durasi yang berbeda, ia memutuskan untuk mematikan proyektor dan kembali menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda.

"Apa kalian melihat video tadi?" Ela sedikit membungkuk dan menatap dua temannya yang tengah duduk bersandar di kursi besi dekat proyektor.

"Kalian kasihan nggak, sih? Eh, kalau jadi dia, kayaknya seru deh." Ela melangkah menuju dapur yang berada di belakang mereka.

Jarinya mulai bergerak menghitung. "Jadi tontonan orang banyak. Bikin orang tertawa puas dan kayaknya bikin sebagian orang bahagia banget. Pasti pahala gadis itu udah segunung deh. Iya nggak, sih?

"Kalian mau nggak kalau kita cobain kayak gitu?" Jari-jarinya beberapa kali mengetuk meja dapur dengan keras. Tangan kanan menopang kepala. Sementara matanya merayapi salah satu sudut ruangan yang gelap dan pengap.

Tidak ada jawaban. Mereka hanya bergerak-gerak kecil seperti ada sesuatu yang sangat sempit menahan mereka untuk bergerak lebih leluasa.

Ela kembali mendekat. "Kenapa kalian kalau ditanya selalu diam? Nggak punya mulut?" Ia berteriak di depan keduanya dengan melotot tajam.

"Atau kalian haus?" Suaranya berubah menjadi lembut. Tatapan mata itu pun sayu.

Salah satu dari mereka mengangguk mantap. Ela tersenyum lebar melihat respon itu.

Ia melangkah ke dapur dan mengambilkan segelas air putih untuk mereka. Tangan kanannya merogoh saku baju dan mengeluarkan sebuah botol tetes kecil seperti botol obat tetes mata. Ia menuangkan cairan itu sampai habis ke dalam gelas.

"Ini, ambillah!" Mereka diam dan hanya menatap gelas yang berada di meja.

"Ah ya, aku lupa." Ela menepuk jidatnya pelan dengan senyum sinis yang tak mau lepas dari bibir tipis itu.

Ia mengambilnya dan menatap Gina—gadis berambut pendek sebahu dengan tubuh yang tinggi bak model. Perlahan tangan Ela membuka lakban yang menutupi mulut Gina. Mengisyaratkannya untuk membuka mulut dan mendongak.

Tangan Ela berada di atas mulut Gina, lalu menuangkan sebagian minuman itu. Gina dengan semangat menelan. Walaupun tak semua dapat ia telan karena sebagian air telah meluber melalui sudut bibirnya.

Ela melangkah mendekati Ine—gadis berambut panjang bergelombang dengan tubuh yang mungil. Kembali ia membuka lakban yang menutupi mulut Ine dan memberikan minuman itu padanya. Namun, Ine dengan kasar membuang muka yang membuat Ela mengerutkan dahi.

"Kamu nggak haus, Ine?"

"Gue nggak sudi terima air minum dari tangan busuk lo itu!" Ia menatap tajam Ela. Membuat gadis dengan kulit sawo matang mengerutkan dahi—lagi.

Tangan mungil Ela meraih kasar wajah Ine. Napasnya memburu, ia tampak tak suka melihat Ine masih menatapnya tajam.

"Berterimakasihlah padaku karena masih memberi kalian minum sebelum hidup kalian benar-benar mati!"

"Buka mulutmu keparat!" Ela menampar Ine dengan keras. Namun, Ine tak kunjung membuka mulutnya. Ia semakin geram. Diraihnya kembali wajah Ine. Ia membuka mulutnya paksa dan menuangkan minuman itu. Membuat Ine dengan terpaksa menelannya sampai terbatuk-batuk.

Ela tersenyum puas. Ia meletakkan gelas itu di meja. Kemudian berlalu menuju sofa di depan mereka.

Beberapa menit telah berlalu. Gina tampak duduk tak tenang. Selalu bergerak mencari posisi yang nyaman, tapi tak ia temukan. Sementara Ine mengerutkan dahi, memejamkan mata seperti tengah menahan sesuatu yang bergejolak dalam diri. Ia menggeleng-geleng hebat membuat rambut yang tergerai itu berantakan.

Ela tersenyum sinis melihat pemandangan kedua temannya mulai tak tenang.

"E–Ela. A–pa Gina boleh ke toilet sebentar? Sungguh, Gina nggak tahan." Ia masih membenarkan duduk yang lumayan sulit karena seluruh tubuhnya terikat dengan kursi besi.

"El, lo kasih kita mi–numan apa, sih?" Ine mulai bersuara dengan menggigit kecil bibirnya.

"Sesuatu seperti yang kalian berikan padaku saat hari itu. Bagaimana? Nikmat, bukan?" Kembali Ela menyeringai puas.

....

Bersambung.
Part selanjutnya akan dipublish besok atau lusa.

Terima kasih sudah berkunjung dan membaca cerpen ini, semoga kalian suka. Jangan lupa tinggalkan jejak, seperti; vote and comment, ya.

Kritik dan saran kalian sangat membantuku ❤️

Reap What You Have SownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang