Chapter 9

1.1K 207 31
                                    

"Jadi, bagaimana kabarmu? Maksudku—juga kabar teman-teman lainnya?"

Yoona berjalan tenang, beriringan dengan Siwon di sampingnya. Keduanya berjalan menjauh dari kantor pusat, berjalan-jalan di trotoar sekitar. Angin siang yang cenderung sejuk mengalir perlahan, menggoyangkan helai-helai rambut Yoona, juga menggoyangkan ujung rok putih selututnya. Beberapa kali Yoona merapikan rambutnya, menyelipkan sejumput sisi poninya di balik telinganya. Perempuan itu menarik napas lebih panjang. Aroma angin yang lewat di bawah pepohonan yang menghias sepanjang sisi trotoar membuat bahu Yoona terasa rileks.

Perempuan itu tersenyum simpul.

"Baik. Semua berjalan seperti biasa."

"Benarkah?"

"Sedikit lebih sepi. Mungkin karena … kau—dan Yuri tak ada."

Yoona menoleh, masih tersenyum lebar. "Sungguh?"

"Baru tadi saat makan siang, Donghae membicarakanmu dan Yuri." Siwon mengangkat kedua bahunya. Kedua kepalan tangannya bersemayam rapi di saku celana. "Kangen sepertinya."

"Kau sendiri?"

"Aku?"

Yoona tertawa pelan. "Aku bercanda." Yoona menghentikan langkahnya.

Siwon bahkan tak tahu apakah kalimat Yoona 'bercanda' itu justru adalah gurauan semata—bahwa intensi sesungguhnya perempuan itu memang menanyakan pendapat pribadinya.

Yoona terdiam, menatap gapura kecil dengan lorong masuk.

Sebuah gereja.

"Mau mampir sebentar?"

Siwon sempat terdiam. Namun lelaki itu akhirnya mengangguk.

.
.
.
.

.

Gereja itu cenderung bersih dan tenang. Meski berada di tengah kota, karena lokasinya masuk ke dalam sebuah gang, begitu memasuki pelatarannya yang hanya terhias sedikit daun kering dari pepohonan rimbun di depan teras, suasana menenangkan bisa dengan mudah menyergap Yoona dan Siwon.

Siwon membuka pintunya perlahan. Terdengar suara deritan lirih dari pintu kayu sewarna kulit kumbang musim panas itu.

Yoona melongok ke dalam lalu melangkah masuk—namun ia tak mendahului Siwon. Ia biarkan lelaki itu tetap setengah langkah di depannya. "Berdoa?"

Siwon mengangguk tanpa menoleh. Ia rogoh kantong celananya, mencari koin untuk dilemparkan. Lelaki itu diam, berdiri dan memejamkan mata, menggumam doa yang tak dapat didengar Yoona.

Yoona tak berdoa. Ia hanya memandangi punggung lebar Siwon dengan tatapan kosong.

"Kau berdoa apa?" celetuk Yoona.

Siwon melirik ke belakang sedetik lalu menggeleng. "Kalau aku mengatakannya, itu bukan doa namanya. Itu diskusi."

Yoona tertawa pelan. Selama beberapa detik, ia biarkan Siwon berdoa. Perempuan itu menarik napas panjang dan memasang sebuah senyum tipis di bibirnya. "Mendoakan mendiang istrimu, ya?"

Mendadak, bahu Siwon terasa tegang.

Yoona melangkah mundur—hanya selangkah. "Sebenarnya, aku menemuimu karena ingin bicara saja." Yoona mengedarkan pandangannya ke sekeliling Gereja. "Mengingat apa yang ingin kusampaikan padamu, rasanya mendadak memalukan sekali."

Siwon berbalik. Ia hanya memasang wajah bingung.

Yoona mengangkat kedua bahunya. "Berbaliklah."

"Hah?"

"Kubilang berbaliklah," perintah Yoona lagi.

Meski agak tak paham, Siwon menurutinya. Ia berbalik, kembali membelakangi Yoona.

Yoona menarik napas dalam-dalam. Punggung Siwon kembali terlihat jelas memenuhi ruang pandangnya. Perempuan itu mengulum bibirnya. Tangannya merapikan poninya ke belakang. "Sejak kecil, banyak orang yang memujiku, mengatakan bahwa aku pintar. Bahwa Yoona pintar, sangat pintar, anak yang pintar, terus menerus seperti itu sampai di titik di mana aku meragukan sendiri apakah aku memang benar-benar pintar atau tidak." Yoona mengucapkannya dengan sedikit cepat.

Siwon mengerutkan alisnya.

"Tapi aku akhirnya sadar bahwa sebenarnya itu salah. Bahwa aku tidak benar-benar pintar. Di titik ini, aku merasa, sudah sepantasnya bagiku untuk melepaskan semuanya, menyerah pada segalanya."

Siwon hampir menoleh—

"Termasuk menyerah padamu, Siwon."

Siwon membeku. Terdengar helaan napas panjang dari Yoona di belakangnya.

"Tapi kalau dipikir-pikir pun, aku memang tidak pernah benar-benar memilikimu, kan?" tanya Yoona—namun perempuan itu tak meminta jawaban. Ia hanya memandangi punggung Siwon, melihat bagaimana lelaki itu tak bergerak, membatu di posisinya. Yoona tahu jawabannya sendiri. "Aku benar-benar bukan perempuan yang pintar, Siwon. Benar-benar … bukan."

Siwon menelan ludahnya.

"Itulah kenapa meski aku tahu kenyataannya, aku tetap saja tak bisa berpikir dengan jernih. Apa pun yang terjadi, meski aku tahu hatimu milik orang lain, namun tetap saja … aku mencintaimu."

"…"

"Aku sangat … mencintaimu."

Siwon memejamkan matanya. Suara goyah Yoona menggema dalam kepalanya.

"Jika suatu saat kau melihat aku datang mencarimu, aku mohon, pura-puralah kau tidak melihatku. Sembunyilah. Menghindarlah." Yoona menggigiti bibirnya kuat-kuat. Perempuan itu bersyukur, matanya sudah terlalu mengering untuk mengalirkan butiran air dari sana. "Karena aku tak yakin, apa aku punya kepercayaan diri untuk menghentikan perasaan yang menyakitkan ini."

"…"

Melihat bahwa sepertinya Siwon tak akan merespons, Yoona hanya bisa tersenyum. Perempuan itu berbalik, menggumamkan 'selamat tinggal' dan menghilang. Ketika Siwon menoleh ke belakang, ia hanya melihat pintu kayu yang tertutup dan berdebam dengan deritan—yang mengiris sesuatu dalam rongga dadanya.

.

.

.

.

.

To Be Continued

SO… LEAVE A VOTE & COMMENT, PLEASE!  🙏🙏😃

Emergency Love ✔Onde histórias criam vida. Descubra agora