Tatapan Pertama

2.2K 204 5
                                    

Seperti hari-hari kemarin, aku berdiri di depan beranda rumah Bu Iffah. Menikmati angin pagi yang menyejukkan. Udaranya begitu basah. Dingin menelusup pada tulang belulang. Sudah sejak tiga Minggu lalu aku keluar dari rumah sakit. Hari-hariku kembali seperti dulu lagi. Bukan, bukan karena papa kembali. Namun ada dua wanita hebat yang mengisi waktuku akhir-akhir ini. Aku mulai memejamkan mata. Merasakan dingin yang luar biasa. Kulit yang sehabis di basuh dengan wudhu memang sedikit berbeda. Aku memang merasakannya. Hingga ku temukan kebiasaan baruku ini. Yang akan pergi ke beranda rumah selepas menunaikan solat subuh. Memejamkan mataku kemudian menghirup udara pagi dalam-dalam. Rasanya sungguh luar biasa. Aku merasa lebih baik.

Sebab, dengan melakukan itu, aku bisa merasakan syukur atas apa yang Allah beri padaku. Dia titipkan dua mata kepadaku, Dia titipan hidup padaku, Dia titipkan dua telinga pula padaku, Dia beri juga aku mulut. Namun apa yang aku lakukan? Kadang masih saja mengeluh. Mengatakan bahwa Dia tak adil. Padahal, sudah lebih dari cukup yang Dia berikan hanya saja kita yang tidak tahu cara bersyukur. Kita yang tinggi hati dan tidak mau merendah hingga kita lupa caranya berterima kasih.

"Ihsan"

Perlahan ku buka mata. Aku sedikit takut dengan suara itu. Suara papa yang kemarin sempat menjadi kelemahanku. Aku takut itu adalah ilusi kemudian membuatku jatuh dan terpuruk lagi. Membuat dadaku sesak kemudian menyakiti diriku sendiri.

"Ihsan..."

Sekali lagi suara itu kembali. Tolong jika itu bukan papa, jangan memanggilku seperti itu. Aku tidak ingin sesak ketika ku buka mata ini dan tidak melihat papa disana.

"Ihsan..."

Dan untuk kesekian kalinya. Hingga aku mulai berani untuk menatap apa yang tengah terjadi. Pria itu berdiri dengan gagah di hadapanku. Baretnya begitu jernih dengan warna merah yang begitu menyala. Aku suka warna itu. Namun aku lebih suka orang yang memakainya. Aku berharap itu bukan halusinasiku. Aku berharap dia adalah kenyataan. Dia tersenyum begitu manis. Ah, dia benar-benar papa. Papa pulang hari ini.

Allahu Akbar...

Allahu Akbar...

Allahu Akbar...

Aku menangis sejadi-jadi. Aku rindu papa. Ku peluk pria itu dengan begitu erat. Papa merengkuh tubuhku begitu erat. Kurasakan bajuku yang mulai basah. Mungkin banjir air matanya yang membuat bajuku ikut basah.

"Papa jangan pergi lagi papa... Papa jangan pergi... Papa..."

"Tidak akan"

"Jangan papa... Jangan pergi..."

"Tidak sayang tidak. Ihsan apa kabar?"

Aku tak menjawab hanya air mata dan sesegukannya yang menjadi jawaban. Hanya erangan dariku yang mampu menjawabnya. Bu Iffah keluar dari rumah. Mungkin karena mendengar erangan ku yang luar biasa keras.

"Ada apa Ihsan?", Katanya.

Namun ia tertegun kala melihat seorang laki-laki yang begitu gagah tengah merengkuh tubuhku. Papa tersenyum pada Bu Iffah meski di matanya masih tertinggal bulir air mata. Matanya masih sembab berkaca-kaca menatap Bu Iffah yang ikut berkaca-kaca. Mungkin sebentar lagi wanita itu akan menangis.

"Apa kabar ibu?"

Benar saja, satu tarikan dari papa membuat wanita itu menangis. Ia langsung menghambur kemudian memeluk papa begitu erat. Papa balas memeluknya. Terakhir mereka bertemu sudah lama sekali. Tiga Minggu lebih mungkin. Saat aku dan Bu Iffah mengantarnya bertugas.

"Ibu yang harusnya bertanya padamu. Apa kabar?"

"Seperti yang ibu lihat. Saya baik-baik saja doa dari ibu yang menyertai saya. Kebaikan hati ibu yang membuat saya tenang. Terima kasih telah menolong saya menjaga putra saya"

Sekeping Cinta Buat Papa *SUDAH TERBIT*Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang