Part 9: Bersikaplah Baik

229 21 2
                                    

   Tim kembali melanjutkan perjalanan setelah melakukan doa bersama. Barisan perjalanan seperti pada biasanya. Sam sebagai penuntun jejak, dan Hasbi kembali pada posisi awal pemberangkatan sebagai penutup barisan.

   “Ingat, jika lelah, cepatlah untuk memberitahu.” Sam berteriak di barisan paling depan. Mengingatkan pada semua temannya.

   Sam berhenti sejenak di persimpangan pertiga jalan setapak. Mengamati jalur mana yang akan diambil. Jalan itu semakin mengecil. Tertutup semak yang semakin lebat.

Sam mengeluarkan golok dari sarangnya. Melanjutkan perjalanan sambil menebas semak-semak. Jalan kiri yang di pilihnya.

Tidak semua peserta penjelajahan dari tim ini membawa golok. Hanya Sam, Rizal, dan Jarsip yang terikat sebuah tali bersarung golok di pinggang mereka.

   Hutan di pagi hari sangat dingin. Meski hari dirasa sudah siang, kabut masih berselimut di lebatnya hutan. Kicauan burung mengiringi langkah mereka.

   Maya dan Fely memperhatikan sekitar. Menatap kiri dan kanan. Sesekali menongak kepala menyapu langit-langit hutan. Gelap. Sinar mentari benar-benar tertutup rimbunnya pohon besar yang banyak tumbuh di hutan.

   “Jalannya semakin gelap saja,” gumam Fely seraya memperhatikan sekitar hutan.

   “Aku takut jika ada ular di semak,” sahut Maya.

   “Kalian jangan banyak bicara, nanti cepat lelah,” sergah Jarsip yang mendengar obrolan keduanya.

   Medan jalan kembali menanjak sedikit demi sedikit. Tertutupnya oleh semak serta tumbuhan lain membuat penjelajahan agak sedikit lambat, juga melelahkan.

Bau hutan dari tanah lembab mulai tercium. Suara tonggeret mulai kembali terdengar.

Mereka terus berjalan sampai sekitar dua jam perjalanan. Beberapa diantara mereka menghentikan langkah hanya untuk minum. Tanpa banyak berbicara dan membahas apapun, perjalanan terus berlanjut.

Hari sudah semakin siang. Sam menghentikan langkahnya membuat barisan ikut terhenti.

   “Jejaknya tertutup. Bagaimana?” ucap Sam menatap Rizal yang berdiri di belakangnya.

   Rizal cuek. Membuang wajahnya seketika Sam menatap. “Kau seharusnya tidak bertanya ini padaku, Sam,”

   Sam menatap Rizal datar. Mengangguk kecil, lalu berbalik badan. Sejenak ia mencoba mengingat arah jalan yang harus di pilih. Memperhatikan jalur yang mereka pijak. Namun benar-benar tertutup. Matanya benar-benar tidak mengenali tempat itu sekarang.

   “Mungkin kau salah ambil jalan ketika di persimpangan tadi, Sam,” seru Vera dari belakang mengingatkan.

   Sam bergeming. Ia terus mengamati sekitar. Melirik ke pohon-pohon mencoba mengenalinya. Mungkin Vera benar, ia salah mengambil jalan. Tapi jika ia mengambil jalan kanan di persimpangan tadi, ia tahu itu akan menuju ke Argopaja. Bukit yang seperti lapangan sepak bola. Posisinya yang paling tinggi, namun tepiannya banyak berdiri pepohonan besar. Banyak mitos negatif di tempat itu, sehingga banyak penjelajah urung melalui jalur Argopaja.

   Sam mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

   “Tidak ada sinyal,” gumam Sam.

   “Astaga. Kau seharusnya tahu jika sudah berpengalaman di hutan,” ketus Rizal. Si tempramen itu mulai kesal.

   “Sam, jangan kau suruh kita untuk putar balik, dan kembali memilih jalur kanan di persimpangan tadi,” seru Jarsip.

   “Huh, lelah sekali,” keluh Maya menurunkan tas besarnya itu.

Napak TilasWhere stories live. Discover now