0.07

1K 158 0
                                    

Seperti biasa. Setiap saat, kalau sedang dalam mode 'tidak tau apa yang harus dilakukan', Jungkook akan lebih memilih membersamai Taehyung yang kini sibuk berkutat dengan tugasnya daripada harus balik lagi ke kost. Jungkook hanya mudah bosan. Juga, ia merasa kalau butuh tau bagaimana kabar Namjoon dan pikirnya, dengan bertanya Taehyung menjadi pilihan yang tepat sebelum presensi si mantan gebetan itu hadir dan turut serta dalam acara 'mari berduaan dengan Taehyung dan bertanya tentang Namjoon.'

"Hi, Kook."

Kak Namjoon masih sama. Jelas saja. Ia sama sekali tidak berubah dari awal bertemu. Masih saja tinggi sekali pun Jungkook merasa tinggi badannya bertambah. Itu lesung pipi manisnya Namjoon yang selalu membuat Jungkook menahan gemas juga masih terpahat di sebelah bibir tebalnya.

Jungkook tersenyum kikuk. "Hi, Kak."

"Kemana aja? Sibuk nugas, kah?"

Taehyung yang awalnya fokus ke laptop, kini mencuri dengar. Siapa tau dari konversasi ini, timbul minimal satu saja hal yang mampu membuatnya menggoda Jeon Jungkook. Karena, lihat saja ... bagaimana pemuda bergigi kelinci itu menahan gugup dengan kaki yang tidak bisa diam —bergerak gelisah dengan harapan mampu mengalihkan kegugupan, juga kedua mata yang menatap random ruangan. Taehyung hampir saja tidak tahan untuk menahan tawa.

Sampai membuat Jungkook sadar.

Dan Taehyung cukup puas mendapat pelototan.

"Iya, nih." Jungkook nyengir canggung. "Hehe."

"Emang kenapa, Kak?" cuma basa-basi aja, sih. Karena Jungkook juga perlu tau. Barangkali, —tolong garis bawahi, barangkali Namjoon menaruh rindu padanya? Boleh saja berharap lagi, kan? Hanya sebatas Namjoon yang rindu. Tidak apa kalau hanya sebatas teman, atau adik, yang penting, Kak Namjoon rindu Jungkook.

"Cuma pengen ngasih tau aja, sih."

Kalau kalian dengar ada debuman keras seperti drum yang dimainkan brutal, bisa saja itu suara jantung Jungkook; yang kini menahan napas kala Namjoon terlihat gugup ingin mengungkapkan sesuatu.

Jangan lupa kan bagaimana Taehyung melakukan hal yang sama. Nafasnya tertahan. Fokusnya telak di ambil alih oleh presensi Namjoon yang bilangnya ingin memberi tau sesuatu. Berani taruhan, Namjoon tidak akan menyatakan perasaan, tapi Taehyung yakin, ada hal besar yang patut diperhatikan.

"Minggu depan Seokjin ulang tahun. Cuma pengen ngundang temen deket aja, sih. Dan dia setuju, kalau ..." Namjoon menjeda sembari menatap Jungkook penuh harap, "... aku ngundang kamu, Kook. Well, Taehyung juga." yang diakhiri sembari tersenyum manis. "Diusahain dateng, ya?"

Jungkook bahkan tidak tau kenapa tenggorokannya tercekat saat itu. Tak mampu menjawab yang mana hanya dibalas anggukan ringan. Dengan Namjoon yang masih tersenyum penuh harap.

###

Jungkook masih saja diam. Yang mana, tentu membuat Taehyung khawatir bukan main.

Bayangkan saja. Sudah dua hari berlalu dari undangan yang sempat Namjoon sampaikan. Efeknya membuat Jungkook menjadi lebih diam dari biasanya. Wajar sekali Taehyung kelabakan. Pasalnya, Jungkook terlihat menyedihkan sekali dengan penampilan yang selalu berantakan. Jungkool bahkan bilang kalau dia melewatkan acara mandi pagi karena lupa.

"Mikirin apa?"

Jungkooknya diam. Ingin menjawab, tapi sudah Taehyung yang bicara. "Kalau gara-gara Namjoon, i'll kill you right now, Kook."

Jungkook kembali murung. Wajahnya memberengut sebal lalu mengacak surainya frustasi.

Jujur saja. Perasaannya dengan Namjoon masih sama. Belum berubah sekalipun ia memiliki kesepakatan dengan Jimin. Kalau begini, ia jadi merasa bersalah karena beberapa waktu terakhir jarang menghubungi Jimin.

Sesekali si tetangga juga akan berkunjung. Paling tidak bertanya sudah makan atau belum? Ingin pergi keluar atau tidak? Di mana semua jawaban yang Jungkook berikan justru malah membuat Jimin merasa sedikit kecewa.

Benar. Jimin kecewa bagaimana Jungkook seolah tidak menghargai usahanya. Bagaimana Jungkook memperlakukan Jimin seolah Jimin itu teman biasa. Well, terkadang Jimin merasa perlu memperlihatkan betapa kecewanya dia. Tapi, apa daya? Mereka bahkan belum ada hubungan.

Jimin hanya sadar diri. Itu saja.

"Berapa kali sih aku harus bilang?" Taehyung kini menatap prihatin Jungkook. "Kalau ada niat lupain, ya usaha dong, Kook."

"Udah, Kak."

"Salah satunya?"

"Aku udah ada kesepakatan sama Kak Jimin supaya mau bantuin aku."

"Ada hasil?"

Hening.

Jungkook memilih diam dengan gelengan pelan sebagai jawaban.

"Itu karena kamu nggak ada usaha, Kook." bilangnya kentara sekali kalau sedang menahan diri untuk tetap sabar. Jungkook ini anaknya memang kelewat bengal. Tidak bisa dibilangin, tapi tetap saja ngeyel seolah dirinya tetap saja benar. Nyatanya, Jungkook justru semakin jatuh ke dalam lukanya.

"Lagi dieman sama Jimin, kan?"

"Nggak, sih. Tapi ya, aku ngehindar dulu. Nggak pengen ada yang ganggu."

"Niat Jimin mau ngebantu, Kook. Bukannya ganggu."

Taehyung menghela nafas. "Lebih sedikit terbuka lagi sama Jimin. Lihat sisi baik darinya yang bisa bikin kamu jatuh hati."

"Sayang banget aku belum nemuin itu." Jungkook menyesal karena mengatakan fakta.

Terkadang berpikir, dari bantuan Jimin justru ia merasa memanfaatkan pemuda itu. Bahkan ketika Jimin sudah dalam usahanya membantu Jungkook, yang dibantu saja masih jalan di tempat seperti ini. Tidak bergerak sama sekali.

Apalagi Jimin ini anaknta kelewat baik. Kan Jungkook makin merasa berdosa sekali.

"Belum, Kook." Taehyung tersenyum sembari menepuk pelan bahu Jungkook. "Tapi nanti. Bakal ada, kok."

"Semuanya butuh proses. Kalau kamu bisa menghargai usaha orang lain, suatu kali kamu yang akan menuai hasilnya pula. Jadi, karena Jimin udah baik mau bantuin kamu, jadi kamu juga harus bantuin dia, ya?"

Jungkook mengernyit, Taehyungnya tersenyum. "Bantuin dia supaya harapannya dapetin kamu itu berhasil."

Dari sini Jungkook paham.

Min Yoongi tidak salah menempatkan hati untuk menetap. —to be cont[...]

wifi; p.jm + j.jkDonde viven las historias. Descúbrelo ahora