Ch 1 : The Royal Maid

10.3K 667 18
                                    

Lalisa POV

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lalisa POV

"Selamat datang, Lalisa."

Aku membungkuk hormat kepada nyonya Lee. Beliau ini merupakan kepala pelayan yang bertugas untuk memperhatikan kelancaran berbagai pelaksanaan tugas atas perintah yang diberikan oleh Yang Mulia Raja, Yang Mulia Putri dan juga pemegang kuasa lainnya yang berada di dalam istana kerajaan Gyeongsu tempat dimana aku berada saat ini.

"Terima kasih, nyonya Lee."

"Tak perlu sungkan. Berhubung kau merupakan pelayan baru, mari ku jelaskan terlebih dahulu perihal pekerjaanmu sebagai pelayan, bagaimana cara yang tepat untuk melayani para Yang Mulia, peraturan dan juga larangan-larangan apa yang harus kau patuhi selama kau berada di dalam istana." Ujar nyonya Lee seraya memegang kedua pundakku.

Ya, hari ini, tepatnya pada tanggal 10 Januari 2020, aku berhasil diterima sebagai salah satu pelayan wanita di istana kerajaan Korea Selatan. Pelayan — aku tau, pekerjaan ini bukanlah pekerjaan mewah yang bisa dengan mudah membawakanku pundi-pundi uang secara besar-besaran. Namun, aku cukup bersyukur dan sangat bersyukur setelah aku mengetahui bahwa aku telah berhasil diterima sebagai seorang pelayan di istana kerajaan. Mengapa?

Alasannya sangat sederhana, tingkat pendidikanku yang hanya sebatas sekolah dasar tak bisa menjamin apapun untukku agar bisa diterima di berbagai perusahaan besar yang tersebar di luaran sana. Kondisi ekonomi yang memprihatinkan menjadi faktor utama mengapa aku memutuskan untuk tak melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi, bukan — bukan aku yang memutuskan, lebih tepatnya, kedua orang tuaku yang berusaha keras untuk memberitahukan dan menjelaskan kepadaku yang pada saat itu masih berusia 12 tahun tentang bagaimana kondisi ekonomi yang tengah keduanya hadapi.

Aku menerimanya, secara terpaksa aku harus menerimanya — dengan senyuman manis yang selalu ku patrikan di wajahku disaat aku melihat kedua wajah lesuh yang mulai menunjukkan tanda-tanda penuaan tersebut, aku mengangguk dan memberitahukan kedua orang tuaku, bahwa aku telah siap untuk membantu keduanya mencari nafkah dengan kemampuanku yang masih terbatas pada saat itu. Tentu saja, yang kudapatkan hanyalah sebuah tolakan halus dari mereka, tak ingin menyusahkanku disaat aku masih belia dan tak mengerti seberapa kerasnya dunia di luar sana.

Pada akhirnya, aku hanya bisa menemani kedua orang tuaku pergi ke pasar untuk menjual kue-kue buatan ayah dan ibuku. Pada saat usiaku menginjak 15 tahun, aku mencoba untuk mencari pekerjaan yang sekiranya tak memerlukan ijazah ataupun tingkat pendidikan yang terlalu tinggi. Berbagai café, restoran, dan lain sebagainya sudah kudatangi, mencoba untuk melamar pekerjaan sebagai seorang pencuci piring atau pembersih lantai, atau apapun itu yang setidaknya bisa memberikanku pundi-pundi rezeki agar aku bisa membantu kondisi perekonomian keluargaku, namun — aku hanya bisa mengangkat kaki keluar dari tempat-tempat tersebut disaat apa yang ku dapatkan hanyalah sebuah penolakan.

Aku hampir menyerah, aku hampir pasrah, aku mulai berusaha untuk menerima takdir yang Tuhan berikan kepadaku. Pada saat itu aku selalu berpikir, mengapa dunia sangat tidak adil kepada orang-orang sepertiku? Orang-orang dengan status rendah yang dipandang secara tak kasat mata oleh masyarakat di luaran sana. Mengapa dunia sangat tidak adil, disaat anak-anak lainnya bisa bebas bermain dengan teman-temannya, tertawa bebas, menuntut ilmu dan hidup tanpa memikirkan beban ekonomi, aku, diusia belia, sudah harus memutuskan pendidikanku dan membantu kedua orang tuaku untuk mencari pundi-pundi rezeki. Aku ikhlas menjalani semua ini, aku hanya bertanya, mengapa dunia ini sangat tidak adil?

Her Highness - JenLisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang