18. End Game

148 23 0
                                    

"Kamu itu seperti sebuah game yang selalu gagal kumenangkan. Sampai akhirnya aku kehabisan nyawa dan game itu berakhir sampai disitu."

🌚🌚🌚

Mobil Aru sudah sampai di depan pintu gerbang keluarga D. Sayangnya si gadis yang penuh rasa curiga itu malah tertidur di kursi belakang. Aru bingung harus melakukan apa. Aru sendiri paham bagaimana lelahnya Daisha. Tubuh kurusnya harus menanggung banyak beban berat. Mulai dari tugas rumah, kuliah dan organisasi. Anehnya gadis itu selalu tampak baik-baik saja. Bahkan tidak ada yang tahu kalau dirinya baru sakit.

Aru terpikirkan satu ide yang cukup menarik. Dia tidak berani untuk menyentuh gadis itu untuk membangunkannya. Semoga aja idenya berhasil.

"Hujan makanan, hujan makanan." Aru bersuara agak keras, lebih keras dari biasanya.

Benar saja, Daisha langsung bangun. Dan langsung menurunkan kaca mobil. Aru tak bisa menahan tawa lagi maka pecahlah tawanya. Meski tidak bisa juga disebut tertawa karena tidak terdengar suara apa-apa. Dan Anehnya Daisha ikut tertawa, menertawakan kebodohannya.

"Jaaku na (jahat)," drama Daisha. Tawa gadis itu sudah berhenti.

"Gomene Asa-chan."

"Mondai wa nai (tak masalah). Asa masuk ya, makasih banyak Aru sensei."

"Doi ita shima shite (sama-sama)."

Daisha membuka gerbang rumahnya dibantu oleh Mang Ujang. Sementara itu Aru menunggu sampai Daisha masuk ke dalam rumahnya, lalu dia mengemudikan mobilnya ke arah pulang. Tidak ada dari keduanya yang sadar bahwa mereka tengah diikuti. Padahal seorang dengan baju serba hitam, masker hitam dan topi hitam di atas motor mathic tengah mengintai keduanya. Orang yang berpakaian serba hitam itu kemudian mengambil ponselnya dan menelpon seseorang.

"Gimana?" Belum sempat orang itu mengatakan halo, orang di seberang sana sudah memotongnya.

"Aman Tuan, Daisha pulang dengan selamat."

"Bagus, tetap pantau. Pastikan tidak ada hal yang buruk menimpa Daisha. Jika kamu gagal. Lihat saja keluargamu akan aku buat sengsara.

"Aelah tuan kejam amat." Sambungan telepon langsung terputus detik itu juga.

🌚🌚🌚

Kembali lagi ke rutinasnya sebagai mahasiswa, Daisha mulai memilah barang-barangnya yang harus dibawa ke kampus. Sebelum akhirnya ia turun untuk ikut sarapan bersama. Atas mandat dari kedua orang tuanya, hari ini Daisha akan pergi bersama kakak laki-lakinya Doni. Dan tidak boleh ada bantahan. Mengingat Dinda mencegah kelelahan pada tubuh Daisha sehingga dirinya harus diinfus lagi.

"Kak makan yang banyak dong."

"Inikan sudah banyak, Bun,"

"Gak ah dikit itu, nih Bunda tambah lagi." Padahal Daisha berkata jujur. Isi piring Daisha sudah banyak saat itu. Hanya saja Dinda menambahnya lagi sehingga terbentuklah porsi kuli. "Bunda gak mau tahu, habisin ya."

"Untuk Bunda apa yang enggak sih."

Daisha langsung melahap makanannya dengan nafsu yang menggebu. Beruntungnya jadi Daisha dia tidak akan pernah gemuk meskipun makannya di atas kapasitas manusia normal. Daisha sendiri sudah mencoba berbagai cara untuk menaikkan berat badannya tetapi tidak bisa. Dia berusaha menaikkan berat badannya bukan karena kata-kata pahit orang lain ataupun tidak cinta dirinya. Hanya saja Daisha ingin menambah tinggi badannya, karena itu berat badannya juga harus naik bukan? Tapi sepertinya itu mustahil, dan Daisha menyerah. Lagian dia juga tidak pendek dengan tinggi badan 163 cm. Ya cuma sih kalau bisa dia ingin tinggi badannya 170 cm tentunya dengan berat badan seimbang. Ah sudahlah back to reality.

Lost Contact (Completed)Where stories live. Discover now