13. Moments of Grand Plan

1.5K 168 5
                                    


"Jadi pertemuan lo semalam hanya menghasilkan patah hati saja?"

"Sialan. Siapa yang patah hati?" sergahku sebal mendengar tuduhan Vira.

Vira tergelak. Sepertinya aku mulai terbiasa dengan tawa Vira atas kehidupanku, karena keinginan untuk membuat tawanya terhenti semakin berkurang. Aku membiarkan ia meneruskan tawanya sampai puas.

"Lucu sih lo, Riss. Lo kedengaran kecewa banget, saat cerita ternyata Leon enggak naksir sama lo. Benar-benar deh, semakin halu ya lo kerja di sana."

"Sekarang bayangkan deh, Vir, kelakuan dia begitu. Mana gue tahu kalau ternyata dia kelewatan saja baiknya, mau menyenangkan semua orang."

"Yah, setidaknya sekarang lo jadi tahu. Beres satu masalah. Anyway, jadi enggak ada bocoran sedikitpun untuk rencana selanjutnya nih?"

Aku menggeleng lemah, kemudian menghempaskan tubuh di kursi kerja sambil tetap mengempit ponsel.

"Riss, lo masih di sana?"

"Enggak," jawabku cepat, suara Vira mengingatkan kalau dia tidak bisa melihat gerakanku. "Kita banyak bicara soal kehidupan masing-masing jadinya. Seperti yang lo bilang, begitu di luar area kantor jadi lebih rileks membicarakan hal lain di luar pekerjaan."

"Tapi lo terlalu rileks jadinya," Vira kembali ketawa. "Oke deh salah satu tujuan lo terkait perasaan Leon terpenuhi, tapi tujuan utama lo kan mencari tahu info soal perusahaan. Penting untuk membantu lo segera keluar dari kodel? Eh, apa deh nama perusahaan lo?"

"Coridel Live," balasku malas.

"Iya itu. Coba deh lo ingat-ingat lagi, masak enggak ada satu bahasan tentang perusahaan sedikitpun semalam."

Aku menyalakan laptop sambil mengingat-ingat percakapanku dengan Leon semalam. Aku dan Leon menghabiskan waktu cukup lama sampai akhirnya mall tutup, dan kami setengah diusir oleh karyawan food court yang mulai bersih-bersih area. Seingatku kami hanya berbicara tentang kehidupan personal masing-masing, seperti hobi atau aktivitas waktu luang. Ada sedikit bahasan menyinggung percintaan, tapi berkisar mantan-mantan Leon yang rata-rata memutuskan hubungan dengan alasan Leon terlalu baik atau terlalu larut dalam pekerjaan.

"Oh, Leon mengingatkan soal town hall sih, acara triwulanan kantor. Town hall yang terakhir gue enggak ikutan karena harus ke kantor klien, yang sekarang harusnya bisa datang. Saat town hall, setiap karyawan diwajibkan memberikan ide dan masukan untuk perusahaan. Akan ada beberapa ide yang dibacakan dan ide-ide yang oke akan direalisasikan. Semua ide akan dibaca dan dipilih oleh Pak Irwan sendiri, Managing Director gue.."

"Kalau lo enggak kasih ide? Bisa kena surat peringatan?" potong Vira.

"Sudah gue pikirkan kemungkinan itu dan menurut Leon enggak mungkin terjadi, karena sekretaris direksi akan mendata ide-ide yang masuk dan memastikan semua karyawan memberikan masukan. Kalau perlu, sampai menunggu kita menuliskan ide di meja kerja masing-masing."

"Wow, pemaksaan akan hak kekayaan intelektual."

"Begitulah," balasku datar, kembali berhadapan dengan jalan buntu itu benar-benar menyebalkan. Sembari mendengarkan Vira mengoceh soal pemaksaan hak-hak asasi manusia, aku membuka kotak surel dan menemukan banyak surel masuk menanyakan dokumen bistrip yang masih pending. Pekerjaan tambahan untuk mengecek dokumen perjalanan bisnis ini mulai menyita pekerjaan utamaku sekarang. Semakin membuat mangkel saja.

"Riss, bagaimana kalau kasih ide aneh saja?" celetuk Vira sedikit mengagetkanku. Sebelumnya, dia masih bercerita panjang lebar soal hak manusia untuk diam itu sama berharganya dengan mengeluarkan pendapat, sama-sama kebebasan berekspresi.

Kick Me Out!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang