Bab 5

46.3K 414 38
                                    

"Nah, Hasna, apakah kamu sudah siap? Kamu sudah dikarantina selama seminggu, jadi sekarang adalah waktunya." A Hafiz, pria maskulin di usia matangnya itu, bertanya kepada Hasna di balik kamera.

Gemuruh di jantung Hasna kian gegap gempita mendengar suara lantang A Hafiz. Ia menelan ludah dengan sukar. Kedua tangannya saling remas. Seperti kata A Hafiz, sekaranglah saatnya. Setelah mengikuti karantina di kediaman A Hafiz, dipisahkan dengan gadget, tidak tahu kehidupan di luar sana, tidak bisa menonton apa-apa kecuali video porno A Malik yang ia tolak, sekarang Hasna akan menjumpai sosok laki-laki yang telah membuatnya tengkar dengan Rasti.

Mengingat nama sang sahabat, hati Hasna memekik. Keinginan untuk mundur, teratur didengungkan seluruh jasadnya. Mendengar bagaimana Rasti begitu mengagungkan persahabatan mereka, seperti merampakkan pertahanannya. Ia tidak pernah berpikir, perempuan itu, kendati memiliki sifat yang liar, rupanya setulus ini menjalin tali persahabatan. Bahkan terang-terangan menghormatinya—melebihi rasa hormat kepada orang tuanya. Dan, bagaimana bisa Hasna mencederainya dengan meneruskan syuting video porno sialan ini?

Hanya saja, demi Tuhan, sesakit hati apa pun Rasti terhadapnya, sesakit apa pun ia menanggung pedih, Hasna tetap tidak bisa berdiam diri terus-terusan ditindas oleh orang tuanya. Dua hari lagi, ia akan dipertemukan dengan Ustaz Raka. Jika ia ingin memprotes pola asuh orang tuanya, jika ia ingin menunjukkan kepada orang tuanya bahwa ia terluka dari cara mereka mendidiknya, Hasna harus bergerak kesit. Rencana impulsif yang mampu ia susun dengan matang tersebut harus dilunaskan supaya orang tuanya paham bahwa ia menderita selama ini.

Sebagai langkah lanjutan suara protes itu, Hasna meminta waktu seminggu kepada orang tuanya untuk menenangkan diri. Dan itulah yang dilakukan Hasna selama dikarantina. Menjalani hidup sehat; olahraga teratur; makan makanan segar; memiliki jam tidur terstruktur. Ajaibnya, dari gaya hidup sehat yang dijadwalkan A Hafiz, halimun pekat yang menjeratnya belakangan, terurai seperti tempias air hujan. Alih-alih melihat video porno, Hasna isi waktu-waktu luangnya dengan membaca kitab. Ia tunaikan rakaat-rakaat salat yang sempat terlewat. Ia perpanjang zikir dan puja-puji kepada Sang Pemilik Jagat. Ia kidungkan salawat-salawat. Ia dirikan dua sepertiga malam dengan taat. Ia bermunajat, memohon ampunan, meminta hidayah. Dan semua aksi yang ia lakukan dalam seminggu ini, bermuara pada titik ini. Di hadapan kamera yang menyala. Diarahkan oleh seorang sutradara. Di dalam sebuah kamar yang berseprei seputih gamping. Dipeluk udara AC yang sejuk. Beralaskan papan keramik yang dingin menyentuh telapak kakinya.

Lagi, Hasna menelan ludah. Oke. Tenangkan dirimu, Hasna. Tenangkan dirimu.

"Insha Allah saya siap, A," ujar Hasna pelan. Ujung hijab ia pilin-pilin. Profil A Malik yang ia mimpikan selama hampir sebulan utuh ini akan menampakkan wujudnya. Dan, Hasna sudah tidak sabar. Seperti Rasti, ia ingin menciptakan sejarahnya dengan A Malik. Biarpun tidak semomentum Rasti, setidaknya Hasna berniat membuat kesan yang tidak mampu dilupakan. Entah bagaimana caranya.

"Bagus. Nanti Malik akan ke sini. Kalian berdialog saja secara natural. Jangan hiraukan keberadaan saya dan kamera saya. Malik akan membimbingmu, jadi kamu tenang saja. Dia ahli di bidang ini. Kamu ikuti saja alur mainnya. Jangan dibuat tegang. Kamu akan merasakan nikmatnya kalau kamu rileks. Oke?"

Kembali membasahi kerongkongan dengan liur, Hasna mengangguk. Ia membetulkan letak jilbabnya. Ia rapikan gamisnya yang kusut. Pagi ini ia mengenakan terusan busana muslim warna merah marun. Sangat kontras dengan kulitnya yang bersih. Mengikuti perintah A Hafiz, Hasna memulas bibirnya dengan gincu berwarna nude, ia sapukan perona pipi di tulang pipinya yang mencuat indah. Ia sisir alis tebalnya. Dan ia semprot tubuhnya dengan wangi vanila. Kuku-kukunya sudah ia gunting dan kikir.

Singkat cerita, ia siap.

Seluruh jasmaninya mendengkingkan kata mantap.

Segala prahara dengan Rasti, setelah diterapi dengan gaya hidup sehat seminggu kemarin, benar-benar menguap di dalam kamar panas ini. Dalam pikirannya hanya tersebut nama A Malik dan rupanya yang senantiasa ia mimpikan.

Losing My VirginityWhere stories live. Discover now