32. Kait

228 24 1
                                    

Jika kawan-kawan butuh versi full Bahasa Indonesia, ada di bagian bawah, ya. Scroll langsung saja.

***

/ka·it/
1 besi (kawat dan sebagainya) yang ujungnya melentuk (seperti gancu, seruit, sanggamara)
2 ukuran jarak baris pada ketikan; penunjuk ukuran jarak baris pada ketikan
3 sesuatu yang menyusahkan dan mengandung tipu muslihat
4 tarik dengan
5 ekor kecil pada kaki atau kepala huruf di beberapa gambar huruf
6 titik dalam sebuah program, tempat pemrogram menyisipkan kode uji atau kode waktu

***

The greatest obstacle to discovery is not ignorance―it is the illusion of knowledge.

― Daniel J. Boorstin

***

Berbeda dengan bagian UGD rumah sakit, bangsal farmasi riuh oleh sosok-sosok yang mengantre untuk mengambil obat. Untungnya, Fira terjaga di kursi roda. Lydia tak perlu mencarikan Fira kursi.

Lydia memberikan resep ke apotek. Saat ia hendak kembali ke tempat ia meninggalkan Fira, Ucup telah kembali. Tangannya menggenggam map asing. Pria itu pasti bingung dengan jaket Lydia yang membungkus nyaris seluruh kepala Fira.

Ucup mengangkat tangan. Jemarinya menyentuh jaket Lydia. Otomatis, kaki Lydia memburu tempat Ucup tegak.

"Ucup, don't!" seru Lydia.

Ucup terhenti. Ia menatap Lydia yang baru saja menjerit. Gadis itu tak peduli dengan satu ruangan yang tengah menatapnya.

"Why?" tanya Ucup.

Ucup menyangka Lydia akan semakin menjerit. Ternyata, gadis itu mengambil kain dari saku celananya.

"Her veil is wet."

Ucup mengernyit.

"She is sick. I think it's okay."

Lydia menggeleng.

"You're okay seeing her hair, but she doesn't. Don't you know about aurat?"

Ucapan Lydia menghentikan pemikiran Ucup. Ia berpikir bahwa tak apa-apa bila Fira tak menggunakan kerudung. Gadis itu tengah sakit; Tuhan pasti mengerti. Mengapa Lydia, yang jelas-jelas tak satu kepercayaan dengannya dan Fira, lebih mengerti?

"She can breathe. Please don't open it."

Ucup mengalihkan pandang. Wajahnya memerah. Ia mungkin mampu menerima bahwa ia tertinggal dari rekan seangkatannya, namun batinnya tak suka menelan fakta bahwa ia terlambat satu langkah.

Ucup memandang sekeliling. Tangannya menggigil. Ia hendak duduk dan menenangkan diri, namun bangsal farmasi penuh sesak. Ia terpaksa menelan ludah berkali-kali.

Berbeda dengan Ucup, Lydia memperhatikan pria itu. Jelas saja, sosok setanggap Ucup seketika menutup diri. Badannya bahkan condong ke arah lain. Ia menolak bertatap muka dengan Lydia.

"Are you okay?" tanya Lydia.

Kepala Ucup berpaling cepat. Pandangnya nanar.

"Please sit down and—I don't know, drink something? You're not okay."

Ucup nyaris hilang akal. Di saat segenting itu, bahunya ditepuk. Ia nyaris terlunjak.

"Arina!" seru Ucup.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Arina. "Muka lo keringetan banget."

Pertanyaan Arina terdengar sepele, namun gadis itu mampu menghancurkan gugup yang menumpuk. Ucup tertawa sekilas dan menjawab, "Di sini penuh, Rin. Jago banget gue kalau nggak keringetan."

[1/3] PrasamayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang