RD 2 ~ [Kali ini, bukan Zenithal]

20 3 0
                                    

Banyak hal bisa terjadi dalam hidup. Sebenarnya apakah hal itu akan menjadi baik atau buruk tergantung bagaimana sudut pandang kita menanggapinya.

Kalau begitu, aku akan memilih opsi pertama. Kalau semuanya berjalan dengan lurus, akan menyenangkan bukan?

Ibuku adalah wanita karir, beliau bekerja seperti mimpinya. Dan tidak keberatan meski pekerjaan makin hari semakin banyak. Beliau sangat cerdas, selalu menjunjung nilai kesempurnaan. Sampai saat ini aku belum pernah mendengar kabar beliau gagal.

Papaku adalah seorang dokter. Pahlawan bagi manusia saat ini dan sering menyelamatkan nyawa manusia yang sekarat. Sama seperti Mama, Papa adalah orang yang cerdas. Beliau juga tegas, meski humornya terbilang tidak bagus.

Aku menyanyangi mereka berdua. Tapi, sangat disayangkan, karena aku barusan berbohong.

"Hah... Bisa tidak kita hilangkan saja hari kamis ini?" celetuk seseorang yang baru saja datang.

Sebagai penghuni bangku depan yang sudah pasti mendengarnya, aku tertawa pelan.

"Lakukan saja dengan sihir." candaku.

Temanku barusan, Rany, langsung saja berwajah kesal. "Sudah kulakukan kalau aku punya!"

"Tapi siapa tahu kan? Lagipula dalam sejarah disebutkan kota Elcarym adalah kota ajaib. Banyak bangunan lama yang masih utuh bahkan setelah perang dunia kedua, padahal kota-kota sebelah tidak bersisa peninggalan apapun, loh."

"Ini dia. Mulai lagi si penggila sejarah." tanggap Rany dengan ekspresi dingin.

Sara yang masih ingin menjelaskan itu langsung berdiri dan memukul Rany dengan buku sejarahnya. Dan seperti yang umum tahu, buku sejarah tebalnya tidak bisa dibandingkan dengan buku apapun.

Kami tertawa, sampai akhirnya Daniel, ketua kelas, menghentikan keributan yang terjadi di pagi hari.

Sebenarnya aku tidak begitu benci dengan pagi yang ribut ini. Terutama setelah hampir sebulanan hujan tidak turun. Aku penasaran dan bertanya-tanya, sejak kapan aku menunggu-nunggu hujan yang turun? Tapi memikirkan hal yang tidak pasti jawabannya, bukanlah aku. Jadi hari ini, aku masih melakukan rutinitasku. Pastinya dengan sempurna.

[.]

Nilai ulangan langsung dibagikan tepat setelah hari ini kami melakukannya. Dengan semua pelajaran yang memutar otak, kami dipaksa mengerjakan 3 macam mata pelajaran berbeda.

Ya, ini alasan yang logis seseorang ingin menghilangkan hari ini untuk sementara saja.

"Akhirnya bebanku menghilang!" seru Rany yang duduk disebelahku. Dia meregangkan tangannya ke atas, dan melihat padaku. "Bagaimana nilaimu? Seperti biasa?"

Aku membalas singkat. "Iya."

"Anak jenius memang beda ya. Padahal Papa kita sama-sama dokter." keluhnya.

Aku tersenyum simpul.

"Tidak ada hubungannya, kan?"

"Iya sih... Tapi nilai 100 di semua mata pelajaran. Terbayang diotakku saja mustahil. Jangan-jangan kamu punya sihir ya, ya?" tebak Rany.

"Kalau punya, aku akan menghilangkan hari ini, dong."

"Ah, benar juga."

Rany berhenti menebak saat menyadari kalau guru selanjutnya telah masuk untuk memberikan hasil ulangan minggu lalu.

"Brella. Pertahankan ya."

Aku mengangguk, dengan senyuman. Kemudian berjalan menuju tempat dudukku.

Bagaimana nilaiku? Yah, tidak masalah. Seperti biasa kertas sampah ini tertera nilai yang sempurna. Menandakan kalau nilaiku tak akan bisa lebih baik lagi.

Ini agak kasar. Tapi kenapa harus menginginkan nilai sempurna? Manusia kan tidak diciptakan sempurna. Kenapa menjunjung kesempurnaan?

"Brel, tidak pulang?" tanya Rany menyiapkan tasnya.

Aku menggeleng, "Duluan saja. Masih ada yang harus kulakukan."

"Oke. Sampai jumpa besok!"

Kelas dalam sekejap menjadi kosong. Aku berdiri, kemudian duduk di atas meja sembari melihat kesamping. Langit tampak senja, hendak terbenam diam-diam. Dan, ya, aku menyukai pemandangan sekali lewat yang hanya bisa dilihat seorang disini.

Tanpa perlu mengkhawatirkan apapun, apalagi mencemaskan tentang yang terjadi besok. Awan hitam terlihat dari kejauhan, setiap detik dari suara jam membawanya semakin dekat.

Dan seperti dugaanku, dia muncul. Entah bagaimana menyesuaikan pakaiannya dengan keadaanku.

Seragam hitam yang dipakainya, dan rambut belakang yang acak-acakan. Dia menelungkupkan wajahnya ke dalam tangannya. Dan masih diam dengan posisi seperti anak pemalas yang tertidur.

"Lama tidak bertemu," aku mendekatinya. Tapi dia tidak bergeming sedikitpun.

"Rain?"

Saat aku menyentuh kepalanya, wajah Rain dengan mata tertutup terlihat damai.

"Dia tidur?" gumamku terkesima, langka melihat Rain yang seperti ini. "Padahal cuma hantu! Memangnya kamu perlu tidur!?"

Aku tertawa kaget. Mungkin terlalu keras, tawa itu telah membangunkan Rain.

"Kamu berisik sekali." protesnya menguap.

"Pft, kamu benaran mengantuk! Wow!"

"Padahal hampir sebulanan tidak bertemu, sekarang kamu malah menertawakanku!" kilahnya tidak terima.

"Hahaha, maaf, maaf."

Rain tidak memprotes lagi. Dia melihat sekelilingnya dan menyadari ada di ruang kelas. Ya, ini bukan kali pertamanya dia berada disini dan mengenakan seragam itu.

"Jadi kenapa kamu tidak pulang? Nilaimu sepertinya baik-baik saja." tanyanya tidak minat.

Aku otomatis duduk di kursi sebelah Rain. "Aku tidak bawa payung."

"Padahal kamu tahu hari ini hujan." kernyitnya memandangku.

"Justru aku tidak bawa payung karena aku tahu hari ini akan hujan."

Rain memandangku datar. Aku tergelak melihat ekspresinya.

"Hha... Bagaimana kalau orangtuamu memarahimu."

Aku menatap ke langit yang hitam sambil memunggungi wajah Rain. "Tidak masalah. Mereka sangat sibuk. Mereka tidak akan datang bahkan di acara pentas anaknya sendiri. Jadi aku tidak akan dimarahi hanya karena terlambat pulang."

Rain tiba-tiba berdiri dihadapanku, dia mengulurkan tangannya dan berbicara, "Brella Pricillia, kalau kamu tak pulang sekarang aku akan memarahimu."

Melihat wajah serius Rain, aku menahan tawa. "Iya, iya. Ayo pulang."

Aku meraih uluran tangan Rain untuk berdiri. Ya, kalau boleh aku ingin hujan-hujanan saja. Tapi karena Rain melarangnya, kami mampir ke minimarket dekat sekolah untuk membeli payung.

Waktu sebulan dimana dia menghilang, terbayar dalam waktu sehari. Tentang dia dan hujan, bahkan tentang hubungan kami yang mengalir seperti air.

Keduanya, aku menyukainya.

***

03.11.2019

Rainy DayDove le storie prendono vita. Scoprilo ora