RD 4 ~ [Aku Suka [Hujan]]

9 2 0
                                    

Dia menghela nafas sebelum akhirnya menatapku. "Jangan sekarang."

"Apanya?" tanyaku seakan tak paham.

Dia menepuk kepalaku pelan dengan tangan kirinya yang terkepal. "Ayolah Brel, jangan pura-pura tak tahu."

Aku tersenyum tipis, menarik tangannya dari kepalaku.

"Aku memang tidak tahu."

Dia-Rain-mengalihkan wajahnya sesaat setelah melepaskan tangannya dariku. "Kamu sengaja meninggalkan payung di loker kelas, kan?"

Aku tertawa lalu memandang langit rintik yang kian menderas.

Ya, meski aku tahu langit sudah mendung-secara di sengaja-aku meninggalkan payung di dalam loker kelas. Dan kini, saat Rain muncul bersamaan dengan rintik, aku belum sampai rumah sementara hujan semakin deras.

"Kamu ini tahu segalanya tentangku ya." alihku tersenyum lebar.

Rain mencubit pipiku ringan, "Jangan mengalihkan pembicaraan. Sungguh aku tidak akan membiarkanmu hujan-hujanan bahkan hari ini."

"Aku nggak akan hujan-hujanan. Aku hanya mau berteduh bersamamu saja," senyumku tipis.

Rain memandangku beberapa saat dan membuang nafasnya. "Baiklah asal kamu benar-benar tidak hujan-hujanan."

"Yippy!"

"Tapi lain kali melakukan ini lagi aku tidak akan membiarkanmu!" katanya tegas kembali mencubit pipiku kali ini lebih keras.

Aku hanya mengangguk dan menyembunyikan tangan kiriku dibelakang punggung sambil menyilangkan jari telunjuk dan tengahku(tanda kalau aku akan mengingkari ucapanku).

Dengan begini jika di lain waktu aku melakukannya lagi, maka bukan salahku. Karena aku telah membuat pertanda yang kebetulan tidak disadarinya.

"Hujannya kelihatan tidak akan reda dengan cepat." Rain mendongak ke atas, membuatku tersenyum tipis karena terasa aneh melihatnya seakan-akan bisa menyentuh air dari langit itu. Apa dia lupa kalau dia itu hantu?

Hantu... Kayaknya kata 'ilusi' lebih enak terdengar.

"Rain!" seruku hendak mengganggunya yang berdiri di bawah hujan.

Berteriak sekeras apapun tidak akan ada yang mendengarnya, sebab suara milikku akan terhapus oleh hujan. Ditambah, tempat teduhku di bawah atap rumah seseorang. Tentu saja tidak ada yang memilih tempat tanpa kursi ini.

"Rain!" merasa tidak mendapatkan respon, aku memanggilnya lagi. "Rain, Rain, Rain, Rai-"

"APA!?" serunya kesal.

Aku tersenyum senang. "Aku suka hujan."

"Aku tahu. Kenapa tiba-tiba mengatakannya?" herannya mengernyitkan satu alisnya.

"Kamu tuh nggak tahu." aku menyilangkan tangan, "karena kamu nggak pintar bahasa inggris."

"Sekarang kamu mengungkitnya!" Rain berseru tak terima.

"Mau dengar cerita seram?" alihku menendang-nendang ubin dengan kedua tangan dibelakang.

"Kenapa tiba-tiba jadi cerita seram..." tatapnya dengan datar.

Mengetahui dia akan mendengarkanku. Aku hanya tersenyum tipis dan menerawang jauh ke atas langit yang penuh awan hitam. "Hujan turun dan kamu datang. Tapi aku telah tidur..."

"Itu memang kebiasaanmu..." komentarnya.

"...dan tidak pernah bangun lagi." tambahku kemudian memandanginya penuh arti.

Raut wajah Rain yang mulanya menatap dingin berubah drastis. Dia menatapku marah lalu berdiri tepat dihadapanku dengan mimik serius. "Jangan mengatakan hal semacam itu lagi. Tidak lucu."

"Aku tahu. Karena itulah kunamakan cerita seram."

Rain masih tidak mengubah ekspresinya. Dan sebelum dia mengucapkan sepatah kata lainnya. Seseorang memanggil namaku sambil berlari kearahku. Ah, ternyata dia adalah tetangga sekaligus teman sekelasku.

[.]

"Brella!"

Anak laki-laki itu berlari membawa dua payung. Nafasnya tersengal saat dia membungkuk untuk mengembalikan nafasnya.

"Payung... Payungmu ketinggalan..." ucapnya masih dengan napas tersengal.

Rain yang berada disebelahku mengamati anak laki-laki itu bak seorang ayah yang melihat calon menantunya. Tak lupa dia juga menaruh tangannya di dagu miliknya.

Aku mencoba menahan tawa, tapi melihat Rain yang kemudian mengelilingi anak laki-laki itu, membuatku tak sanggup mengendalikannya lebih jauh. "Pft."

"Eh kamu menertawaiku?" anak laki-laki itu mendongak ke arahku masih dengan posisi menyentuh lututnya karena capek.

"Aaron Nathaniel Julian... panjang juga namanya?"

Dari sekian lama kamu memperhatikannya, itu yang kamu permasalahkan...? Aku kembali menahan tawa.

"Jadi kamu beneran menertawaiku!?"

"Nggak. Dasar kepedean." ucapku singkat dengan nada dingin.

"Aku nggak tahu kamu bisa jadi orang yang dingin."

"Jadi kamu sendirian daritadi? Maaf harusnya aku lari lebih cepat."

"Aku baik-baik aja kalau kamu nggak datang. Dan bisa kamu pergi aja, ganggu."

"Hei-"

"Hah... sifatmu itu masih saja menyebalkan bahkan saat kita berdua." dia menggaruk-garuk kepalanya, lalu menyerahkan payungku ke tanganku. "Ya sudah aku akan pergi. Tapi..." liriknya.

"Setidaknya hangatkan dirimu bodoh! Tanganmu dingin sekali tahu!" teriaknya lalu melemparkan hoodie hitam yang tadi dipakainya ke arahku.

Hoodie itu langsung saja menutupi wajahku. Dan saat menyingkapnya, Aaron sudah berlari lebih dulu sambil membuka payungnya di jalan.

Anak itu....

"Tidakkah dia menarik?" sela Rain.

"Aku tidak tahu kamu gay?"

Dia mengerjap. "Untukmu! Bukan untukku. Sifatmu itu benar-benar deh..."

Aku hanya tertawa.

"Kalau kamu ekspresif seperti ini padanya. Hubungan kalian pasti akan lebih baik."

"Anak itu harus dipertegas. Kalau aku memberikan hati padanya, nanti dia pikir bisa mengambil jantungku."

"Jadi sekarang kita mau bermain majas? Baiklah."

"Aku belum siap menerima siapapun. Kamu saja sudah cukup."

"Kamu harus mempersiapkan diri, kalau-kalau aku tiba-tiba menghilang."

"...itu nggak lucu."

"Karena namanya cerita seram."

***

07.04.2020

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 07, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Rainy DayWhere stories live. Discover now