RD 3 ~ [Keinginan yang Samar]

21 2 0
                                    

Rain berjalan disampingku.

Orang-orang mungkin akan melihat kalau aku hanya berjalan sendiri di bawah payung saat hujan. Tapi aku tahu, kalau aku tak sendirian.

Rain selalu disana. Tidak berjalan di depanku, tidak juga berjalan dibelakangku. Dia hanya...berjalan disampingku. Sejak kami bertemu Rain selalu melakukannya. Tidak bicara apa-apa pada keadaan yang terjadi dan hanya mengatakan apa yang ia inginkan.

Aku mulai berhenti menanyakan keberadaannya sejak setahun yang lalu. Sekarang tidak penting lagi Rain itu siapa, bagaimana dia bisa disini, dan mengapa hanya aku yang bisa melihatnya. Informasi semacam itu tidak penting, selama Rain bisa disini aku tidak akan menanyakannya lagi.

"Kenapa denganmu senyum-senyum sendiri? Sudah gila ya."

"Hei, harusnya kamu bilang senyumku manis dong." protesku tentu saja tidak terima dengan hinaannya.

Rain mengedikkan bahu sebelum akhirnya memeluk dirinya seperti kedinginan. Padahal dia tidak terkena hujan sama sekali. Membuatku bertanya-tanya kenapa.

"Akhir-akhir ini tingkahmu mirip manusia ya?" tanyaku penasaran.

"Maksudmu?"

"Mengantuk dan kedinginan. Hari ini kamu sudah melakukan itu." hitungku mengangkat jari telunjuk diikuti dengan jari tengah.

Rain berpikir sejenak, "Mungkin karena terlalu lama bersamamu, tiba-tiba saja indra-ku sebagai manusia jadi tumbuh?"

Aku berdehem panjang. Ya, siapa yang tahu kenapa?
"Kalau begitu bisa saja kamu jatuh cinta padaku dong." godaku.

Rain otomatis menyilangkan kedua jarinya dan menatap dengan mata datar. "Nggak, nggak bakalan. Kecuali kamu hidup sampai seribu tahun. Kalaupun aku bakal jatuh cinta, yang jelas bukan denganmu."

"Siapa yang tahu dengan masa depan, kan?" tambahku ingin menjahilinya.

Karena Rain memiliki postur seperti anak laki-laki di kelasku. Aku selalu berpikir kalau kami ini seusia. Rain juga tumbuh selayaknya manusia. Jika Rain hanyalah ilusi, aku bisa mengerti betapa aku menginginkan saudara.

"Aku kan bukan manusia, bertemu dengan orang seperti kalian yang bisa melihatku itu sudah biasa. Walau aku tak ingat kenapa aku tumbuh seperti ini."

"Jadi memang tidak pernah ada kasus kamu bisa dilihat dua orang?" tanyaku.

"Ada satu yang bisa melihatku saja aku sudah kerepotan, bagaimana jadinya kalau kau ada dua. Kayaknya kita sudah membahas ini dulu."

Aku mengernyitkan dahi, "Apa iya?"

"Mungkin saja iya." ucapnya angkuh, "Dan berhenti bicara padaku, sekarang kita sudah di jalanan yang ramai."

"Kalau aku tidak mau?"

"Aku akan diam saja, jadi kamu benar-benar bicara sendiri." ucapnya secara yakin.

Aku tertawa lepas. "Kamu tidak akan sanggup melakukannya."

"...iya juga."

[.]

"Brel, kamu nggak periksa ponselmu?"

Aku menghentikan langkahku yang hendak membuka pintu saat menyadari suara anak laki-laki.
Dari kiri pembatas pagar dari tanaman itu, tetanggaku—Aaron—menunjukkan ponselnya yang berkali-kali menunjukkan panggilan keluar ke namaku.

"Kukira rumahmu kosong. Tapi ternyata kamu dirumah." katanya lalu melompati pagar itu.

"Aku kan tidak pernah kemana-mana." kernyitku heran.

Aaron mendekatiku lalu berkata, "Kamu habis pesan dua spageti? Memangnya ada siapa dirumahmu?"

Ada siapa?  Apa dia sungguh-sungguh menanyakan hal itu pada orang yang tidak pernah memberitahukan alamat rumahnya pada teman-teman sepertiku. Oh, hei bercanda juga ada batasnya bukan.

Menyadari pandanganku yang aneh, Aaron mengerjap sesaat. "Oh sepertinya aku salah tanya. Lalu, kenapa kamu membeli dua spageti?"

"Aku lapar." jawabku serius.

Aaron terkejut, tapi kemudian ber-oh-ria. "Ada urusan apa denganku?"

"Kamu sedang sibuk?"

"Tidak."

"Kalau tidak, aku ingin ditemani ke toko buku. Ada yang ingin kubeli."

Setelah berpikir beberapa saat, aku membuka pintu. "Tidak deh."

"Apa?" seru Aaron tidak percaya, "Kamu kan pecinta buku, dan lagi sekarang tidak sibuk. Apa kamu serius?"

"Tidak," jawabku lalu memasuki pintu. "Sekarang sedang hujan."

"Hei, sekarang ini cerah!" Serunya.

"Kamu pasti salah lihat." aku tersenyum kemudian menutup pintu.

Beberapa detik setelah melangkahkan kaki menuju kamar. Dari jendela terlihat air hujan turun dengan lebatnya, persis seperti tebakanku.

Tetanggaku yang satu itu adalah Aaron Nathaniel Julian, meski namanya mirip orang luar negeri. Dia tidak berdarah campuran apapun. Kebetulan saja kedua orangtuanya mengajar bidang studi bahasa luar. Dan seperti nama akhirnya 'Julian', Aaron lahir di bulan Juli. Hanya lebih 3 bulan sebelum aku lahir.

Sejujurnya aku tidak membencinya. Hanya saja, karena dia telah mengetahui apa yang seharusnya tidak diketahui. Dan karena dia telah memilih opsi yang seharusnya tetap menjadi samar. Secara khusus, aku agak benci padanya.

Aku menutup pintu kamar. Hendak membuka ponsel untuk melihat jam. Dan saat itu juga ada dua pesan masuk dari orang yang sama.

Aaron Nathaniel J.
Lain kali ayo ke toko buku...[view more]

Aaron Nathaniel J.
Percayalah padaku.

"Ah, kamu beli spageti?" suara Rain mengejutkanku.

Aku langsung menutup ponsel seperti sedang tertangkap basah melakukan hal yang salah.

"Ada apa? Kok kaget." keryitnya heran.

"Nggak ada." spontanku, "Ini. Kubelikan untukmu."

Dia tertegun saat menyadari spageti yang kuberi masih hangat. "Kemampuanmu mendeteksi hujan pasti meningkat pesat."

"Yep, puji aku lagi."

"Aku menghinamu." ucapnya menyeringai.

Lalu kami tertawa sembari mengamati langit yang hujan dengan spageti. Cukup dia berada di sisiku, aku sudah senang. Aku tidak membutuhkan siapapun lagi.

Rain adalah hujan. Yang turun, yang jatuh, yang menyakitiku dalam tiap rintiknya. Sakit. Sakit sekali.

***

07.04.2020

Rainy DayWhere stories live. Discover now