9.) cupang-cupang-ku~

40 12 5
                                    


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Bergerombol cupang terombang-ambing menyunyi kecipak. Rœ adalah salah satunya yang bergeming melayang pada muka bening danau, tetapi maujudnya membedakan diri. Hanya dersik ranting dedalu yang mudah tergoda oleh goyangan angin. Kerik jangkrik sudah tiga bulan menghilang entah ke mana. Mungkinkah roh es pembawa musim dingin segera berkunjung?

Pada ufuk barat, tampak langit seperti bubur semangka. Sudah tiga bulan melengserkan baskara dari peraduan. Rœ terpaku pada titik-titik hitam yang tersebar acak, umpama benih buah tropis itu. Satu tangan tak sesempurna berlima jari itu tentu tidak bisa menggapainya. Kendati kedua kaki tak berjarinya berjinjit dan melompat-lompat pada permukaan air danau. Mungkin rasanya manis atau amis, sebab terlalu banyak menimbun genangan cairan kehidupan ketika membentuknya.

"Kapan musim kawin cupang-cupangku akan datang? Aku sudah rindu bermain dengan mereka. Ah, tapi mereka tidak bisa beranak-pinak." Rœ termangu di tengah danau tak beriak laiknya cermin itu. Ia melirik gerombolang cupang yang berenang searah jarum jam. Meskipun mereka terus mengikuti arus, air danau tak beriak. "Aku jadi ingin makan semangka mereka lagi. Harus menunggu berapa masa, sih?"

Bocah laki-laki telanjang itu menyugar helaian rambut putih masainya. Netra selaka datar tanpa emosi itu menyapu pandang ke sepenjuru permukaan air danau. Tangannya terjulur pada segerombol cupang yang menyelami air tepat di bawah lapisan air kaca di kedua kaki.

"Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu," hitungnya seraya mengitari danau. "Aku ingin warna lain yang belum ada di sini."

Seiring tangan-tangan baskara mulai menjejaki kaca danau, menarik keluar minat para tupai dari ceruk dedalu untuk mengeringkan surai lembapnya, serta menegakkan tunas dari rongga tanah hingga membentuk lapangan penuh bunga serupa tulip kuning.

Tebersit dari ujung di balik rerimbun belukar muncul celoteh tawa riang. Ada lima anak sekolah dasar tengah membawa tas dan tali pramuka.

"Ayo, regu kita buat tenda di dekat danau. Kita bisa pakai airnya untuk mencuci baju dan masak air." Salah satu anak yang memakai topi baret hitam menyerukan perintah yang disepakati keempat rekannya.

Sesungging bibir Rœ meluncurkan kekeh lirih. Dengan gegap tapak kaki ringan, ia menepi ke dataran wilis nan basah. Begitu kakinya menjejaki gerombolan rumput liar, kelima anak berkemah itu menoleh serempak.

"Kalian suka warna apa, selain: merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu?" tanya Rœ seraya mengulurkan tangan hendak mengajak berjabat tangan.

Sedangkan, kelima bocah berseragam sekolah itu memandangi Rœ diliputi ketakutan. Sontak mereka mundur ke belakang.

"Siapa dia?" bisik si bocah berkuncir ekor kuda pada si topi baret.

"M-M-Matanya kok putih semua!!"

"Lihat! Kaki-kakinya tidak punya jari!"

"T-Tangan! Mana ja-jari kelingking dan jempolnya!?"

"Dia hantu?"

"Lari!"

Alih-alih menerima uluran bersalam tangan, kelima bocah SD itu berteriak seperti kembang api sekali lalu lari tunggang-langgang. Namun, satu bocah berkuncir ekor kuda terpeleset.

"Teman-teman! Jangan tinggalkan aku!" Si gadis berkuncir itu meraung-raung ketakutan ketika keempat temannya tidak sekalipun menoleh ke belakang, apalagi berbalik membantunya berdiri.

"Wah, teman-temanmu meninggalkanmu sendirian. Bagaimana ini?"

Si gadis berkuncir terkesiap melihat Rœ sekonyong-konyong sudah bercangkung tepat di sampingnya.

"Halo!" sapa Rœ mengembuskan napasnya sedingin jeli beku. Kedua tangannya menangkup pada pipi comel si gadis. "Kalau kau mau jadi cupang-ku ke seratus maka kau tidak akan sendirian."

Wajah gadis itu memucat. Bibirnya entah mengapa mengatup rapat, dan tak mampu menyemburkan teriakan lagi.

Rœ menggandeng tangan si gadis untuk berdiri dan memasuki danau tak beriak itu.

Tak lama kemudian, begitu si gadis mencelup ke permukaan air danau, tubuhnya menyusut segenggam tangan. Perlahan kulitnya bersisik. Kedua bola matanya meluruh dibawa angin. Terus melayang tinggi berlabuh pada awan semerah delima.

Rœ melongo. Matanya berbinar karena sosok gadis berubah menjadi seekor cupang putih.

Malam menjelang, keempat anak yang masih berseragam sekolah dasar membawa seorang petugas keamanan.

Si petugas mondar-mandir mengelilingi danau. Bahkan bersama keempat bocah menyingkap setiap sudut semak belukar, tetapi bertangan hampa.

"Sekarang di mana temanmu? Jangan bilang ini hanya guyonan kalian?" tanyanya sedikit menaikkan nada bicaranya.

"Aku yakin tadi ada anak aneh di sini. Badannya putih semua."

"Teman kita beneran dibawa sama dia. Dia pasti hantu!"

"Anak-anak, kita sudah mencarinya. Tidak ada siapa pun di taman danau tak beriak di sini selain kita." Si petugas berkacak pinggang menatap tajam satu per satu. "Jadi, mengaku saja ini hanya akal-akalan kalian saja, 'kan?"

Sementara, keempat bocah itu hanya melempar pandangan bingung. Si topi baret garuk-garuk tak puas.

"Kalian sudah hubungi orang tuanya? Mungkin dia sudah pulang. Ayo, kuantar kalian pulang. Di sini terlalu sepi. Bahaya."

Akhirnya, dengan langkah berat mereka meninggalkan taman danau yang tenang itu.

Rœ cekikikan di dalam danau, menyelam tak bersuara hingga ke dasar bersama teman barunya.

"Cupang-cupangku, kita kedatangan anggota keluarga baru." Rœ merentangkan tangan di antara aliran hampa air danau. Dirinya dikelilingi gerombolan cupang warna-warni. "Ini dia, Cupang Putih-ku, selamat datang di rumah barumu."



9/11/2019


CAKRA ATMA: 30 Daily Writing Challenge NPC 2019 ― ⌠selesai⌡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang