13. Band-aids Don't Fix Bullet Holes

91 41 19
                                    

Hari itu Arunika kecil terpaksa pulang sendiri. Ayah tidak pergi berjualan ke pasar karena flu. Biasanya sepulang jualan, ayah menjemputnya ke sekolah dengan sepeda.

Tanpa payung, Aru terpaksa menembus gerimis dengan hanya memakai jas hujan kuning yang robek bawahnya.

Mendung semakin pekat meski gerimis belum menjadi hujan. Di persimpangan, ia melirik ke ujung gang buntu. Aru melihat seorang lelaki terduduk lesu bersandar ke bak sampah.

Ia kenal topi itu.

Si lelaki mendongak, menatapnya tajam.

Mas Harun.

Aru berjalan pelan. Mulutnya bercicit kecil, bertanya sedang apa kakaknya di sini.

Mata lelaki itu merah, tajam, dan gelap. Nafasnya memburu. Seperti bukan Mas Harun yang selalu membanting pintu di depan wajahnya setiap kali marah.

Seingat Aru, wajah kakaknya memang galak, tetapi bukan menyeramkan seperti itu. Tatapannya asing.

“Jangan ke sini!”

Aru berhenti setelah mendengar dengusan kakaknya.

“Mas, sakit?”

“Jangan dekat-dekat!”

“Mas kenapa hujan-hujanan?”

“Pergi!”

“Mas, ini Aru…”

ARRRGGHHH

Aru berteriak. Tangannya ditarik kasar. Di matanya, sang kakak saat itu berubah seperti binatang. Tidak punya akal. Ia bahkan tidak mengenali adiknya sendiri. Tidak sadar apa yang diperbuatnya lagi.

Suara tangisan teredam hujan yang mulai deras. Tubuh Aru gemetar. Harun terus meracau tidak jelas. Mengguncang tubuh Aru dengan kasar, bahkan membantingnya ke tembok.

Segalanya terjadi sangat cepat. Terlalu di luar nalar.

Arunika baru 11 tahun.

Ia tidak tahu apapun.

Ia tidak tahu lintingan apa di mulut kakaknya.

Ia tidak tahu kakaknya sedang tinggi.

Yang ia tahu hanya satu.

Kakaknya orang jahat.

Aru hanya bicara kalimat itu selama berbulan-bulan pada semua orang.

“Mas orang jahat.”

Ibunya menangis tanpa henti. Ayahnya menelan penyesalan terpahit. Dokter mengobatinya. Psikater berusaha menyembuhkan traumanya.

Aru baru berhenti mengatakannya setelah mendengar Harun yang mengatakan itu di pengadilan.

“Maaf. Mas jahat. Maaf.”

Keduanya menangis.

Yang satu membenci.

Satunya lagi menyesal menyadari kesalahan bejatnya.

Percuma. Plester takkan bisa menyembuhkan luka menganga.

•••

BREATH (RAWS Festival)Where stories live. Discover now