9. Bukan Halusinasi

2K 328 0
                                    

—Devon Woody

“Bagaimana?”

“Apanya?” Kumainkan ujung rambutnya dengan santai. Tatapanku tidak mengarah padanya.

“Permainan kita.”

Ah, aku begitu enggan membahasnya. Sejak awal dimulai, aku terus berhati-hati. Cemas andai menyakitinya. Dia masih belum pulih benar. Aku bisa saja membuatnya kembali harus berbaring lama, andai menyerang terlalu brutal.

“Cukup menyenangkan. Aku—”

“Kau tampak tidak puas, Dev.” Dia menginterupsiku lewat elusannya di sekitar dadaku.

“Itu wajar, bukan? Sudah lama sekali sejak terakhir kali kita melakukannya.”

Jadi jangan tanya, selama dua tahun ini aku melampiaskannya pada siapa. Aku tidak akan mau menjawabnya.

“Kau jadi pergi?”

“Harus.”

Istriku menghela napas. Entah keberatan atau tidak, sejak bangun dari koma hingga hari ini, sikapnya sedikit berubah.

Dia nyaris tidak ingin lepas dariku. Walau dulu pun begitu, tapi yang ini lebih mengejutkan bagiku. Terlalu posesif.

“Kenapa aku tidak boleh ikut?”

Ini. Ini dia.

Dulu, sebelum koma, Esme hampir tidak memiliki keinginan untuk ikut saat aku harus berpergian. Entah itu perjalanan dekat atau jauh sekali pun.

“Tidak bisa, Sayang.”

“Kenapa tidak?” rajuknya lembut, manja.

Sangat berbeda dengan seseorang. Oh, stop! Jangan bicarakan tentang dia. “Kau masih belum pulih dan tidak boleh melewatkan pemeriksaan rutinmu.”

“Bukannya aku bisa memeriksakan diri di rumah sakit mana pun yang aku mau?”

Dengan cepat aku menggeleng. “Dalam kondisi yang menurutmu sudah bagus sekali pun, aku tetap tidak bisa mengizinkanmu untuk ikut. Lagipula, dokter Viggo masih yang terbaik untuk saat ini.”

Bibir tipis itu mengerucut. Dia masih secantik saat sore di dua tahun lalu, sebelum kecelakaan itu terjadi.

“Kau curang. Tidak adil!”

Menghela napas, aku beranjak dari tidurku. Esme sampai terkejut karena aku menarik diri. Menjauh, turun dari tempat tidur.

“Devon.” Panggilan lembut itu terdengar sedih.

Aku tahu. Biasanya, panggilan itu sangat ampuh. Selalu membuatku tidak dapat berkutik. Entah kali ini. Agak berbeda. “Aku harus bersiap-siap. Ayo, mandi bersama jika kau ingin.” Aku kembali ke tempat tidur hanya untuk mengulurkan tanganku ke hadapannya. Setidaknya, aku masih sangat mecintai wanita ini. Apa pun yang terjadi.

Selama di bak mandi, aku enggan bicara terlalu banyak. Kecuali bertanya tentang hal ringan seputar kesehatannya.

“Devon.” Panggilan yang sama.

Dalam jarak sedekat dan keadaan yang seintim ini, tentu saja aku tidak dapat mengabaikan pesonanya.

“Ya?” Kuusap rambutnya. Menjadikannya lebih basah. “Apa yang kau pikirkan?”

“Semua hal. Aku memikirkan semua hal tentangmu. Tentang kita. Tentang masa depan kita.”

Itu benar. Aku juga melakukan hal yang sama. Berulang kali memikirkan ini setiap waktu. Terus, selama hampir dua tahun berlalu. Saat menungguinya di rumah sakit. “Fokus hanya dengan kesehatanmu. Aku akan kembali secepat yang kubisa, Esme.”

𝐃𝐄𝐕𝐈𝐋: 𝐃𝐞𝐯 & 𝐋𝐢𝐥𝐚 Where stories live. Discover now