40. Tidak Dapat Dihindari

2.8K 394 41
                                    

—Devon Woody

Aku tiba di rumah dengan hati tidak tenang.

“Filmnya bagus.”

Aku mendengar Esme bicara padaku. Kutanggapi hanya dengan anggukkan dan senyuman seperti biasa.

“Kau melihat dia di sana?”

Aku juga mendengar bahwa yang sedang dibicarakan oleh Esme itu adalah Lila. Jadi, aku mengabaikannya. Walau tentu saja itu bagian dari pertanyaannya yang ditujukan untukku.

Dengan ekor mataku, kulihat Esme sedang menatapku dari cermin meja riasnya. “Sayang, apa aku terlalu menyulitkanmu?”

“Tidak,” gelengku cepat. Ini justru tidak akan terjadi jika bukan karena diriku.

Kudekati dia dan mengusap pundaknya. Dia membalasku dengan meletakkan tangannya di atas punggung tanganku.

Kami saling menatap dari pantulan cermin. Walau tidak berlama-lama, tapi bisa kupastikan itu tatapan sendu dan rapuh milik Esme. Terasa menusuk lemah tapi tertuju tepat ke jantungku. Penyesalan yang tertimpa penyesalan.

“Aku masih belum tenang.”

“Soal apa?” Firasatku mencurigai sesuatu. Ini seharusnya tidak perlu kupertanyakan lagi, namun aku selalu menjadi aktor terbaik sejak mengenal Lila.

Esme berbalik dan meraih tanganku. Posisi kami berbeda. Dia duduk dengan kepala yang mendongak menatapku yang tegak berdiri di depannya.

Kubalas genggaman tangannya. Ingin kusatukan kembali semua perasaanku yang dulu utuh hanya untuknya.

Segala yang berantakan dan kacau balau akan membutuhkan waktu untuk merapikannya kembali. Andai bisa lebih cepat, aku sungguh ingin melakukannya. Mengembalikan semuanya ke tempat semula.

“Dia.”

Tidak mengherankan, Esme. Aku pun selalu tidak tenang karena wanita kejam itu. “Kenapa dengan dia?”

Kepala Esme menggeleng dan helaan napasnya terdengar lelah. “Aku ingin minta maaf padanya. Saat kebingungan, ketika aku menginginkan bayi, aku hanya terpikir dia sebagai seseorang yang bersedia menjadi jembatan untuk menghubungkanku dengan impianku.”

Itu langkah yang gegabah, istriku. “Karena hanya dia wanita yang kau lihat ada di dekatku?” Karena selama ini, kau selalu percaya bahwa aku hanya memandangmu. Cuma dirimu seorang.

Esme mengangguk dengan keragu-raguan.

“Tapi aku punya beberapa teman wanita di masa lalu.”

“Namun kau tidak pernah memperkenalkan mereka, seperti yang kau lakukan padanya.”

Okay. Itu benar sekali. “Hanya kebetulan.”

Esme tertawa. Tawa pertamanya untuk beberapa jam setelah pulang dari bioskop. Padahal, film yang kami tonton bukanlah genre horor. Action yang berbalut komedi, tapi dia tidak tertawa sepanjang film diputar. Kau belum kembali seperti dirimu yang biasanya, Esme.

“Kau percaya pada kata kebetulan?”

Kuangkat kedua pundak seakan tidak peduli lagi bahwa selama kami bersama, aku menghindari kata kebetulan. “Itu dua tahun lalu, Sayang. Sekarang aku menggunakan kata itu jika dibutuhkan.”

Esme terlihat menahan geram. Mungkin lebih tepatnya dia merasa diriku yang sudah berusia tidak muda lagi ini begitu menggemaskan di matanya.

“Aku menginginkanmu malam ini. Apa boleh kupakai kata kebetulan sebagai kata kuncinya?”

Selama itu bisa membuatmu senang, Sayang. “Okay.” Mengangguk, aku segera membungkuk untuk menggendong istriku. Membawanya dengan perlahan-lahan ke tempat tidur kami.

“Ingat untuk tidak terlalu agresif. Bisa?” Kuingatkan dia saat menurunkan ritsleting gaunnya.

“Sedikit saja.”

“Apa maksudnya itu?” Kugelitik punggungnya yang telanjang.

Terkekeh geli, Esme bersembunyi dalam dekapanku. “Aku ingin sedikit lebih berkeringat dari biasanya. Aku boleh saja tua, Sayang, tapi tenagaku cukup kuat.”

Dia mungkin merasa tersaingi oleh Lila. Namun sungguh demi apa pun itu, istriku tidak setua yang terlihat. Lila mungkin terjebak di usia sedikit lebih tua dengan wajah yang lebih muda. Tapi Lila itu sempurna, Dev!

Esme menjadi tidak sabaran setelah seluruh pakaiannya terlepas. Dia malah bersikeras ingin melayaniku lebih dulu, daripada mendapatkan kesenangan bersama-sama.

Ketika Esme menggunakan mulut dan tangannya padaku, spontan mengingatkanku pada Lila. Oh, Lila!

Mataku seketika membulat saat menyadari bahwa Esme mendadak berubah menjadi Lila. Seketika aku dihantam oleh rasa frustrasi, bahkan kacau perasaanku hingga meminta istriku untuk berhenti.

“Sayang, ada apa?”

Berusaha menanggulangi wajah cemas dan gerak tubuh panik Esme, kukecup bibirnya dengan lembut.

“Aku harus ke kamar mandi.” Sambil tersenyum, aku tahu dia menyadari maksudku. Dia bisa menganggapnya bukan sebagai suatu kebohongan, andai dia mau mempercayainya.

Akh, berengsek! Sialan! Apa maumu, Lila? Apa semua ini belum cukup? Ucapan menyakitkan darimu bahkan sudah kuterima dengan sangat baik!

Mendekam sedikit lebih lama di kamar mandi dengan hasrat yang menggantung tinggi, wajah dan tubuh Lila mengajakku untuk memuaskan diriku sendiri tanpa Esme. Kutahan erangan ketika cairanku akhirnya menyembur keluar sambil benakku dihantui suara Lila yang memanggil namaku.

Dev! Jika dibiarkan terus seperti ini, mungkin aku bisa benar-benar jadi gila. Okay. Tidak apa. Kau bisa mengatasinya, Dev!

Melihat Esme terlelap setelah kutinggalkan sekitar dua belas menit, perasaan bersalah semakin menghimpit keberadaanku di sisinya. Tanpa pakaian, dia meringkuk di balik selimut setengah ke atas sambil menungguku hingga jatuh tertidur. Jangan maafkan aku, Esme.

Mimpi buruk selanjutnya, ketika beberapa malam setelahnya, di mana aku berniat menemui salah satu teman Sean untuk membicarakan tentang perkembangan keluarga Heimir yang diserahkan padanya, aku malah bertemu lagi dengan Lila di bar.

Sedang apa kau di sini, Lila? Aku bahkan tidak tahu kau wanita yang senang ke tempat seperti ini.

“Kata Sean, kau juga percaya bahwa aku mampu melakukannya, ‘kan?”

Troy, teman lama atau mungkin kenalan barunya Sean. Yang jelas kami saling mengenal dengan baik. Aku tidak bertanya bagaimana Sean memutuskan untuk memilih pria ini mengurus keluarga Heimir.

Aku mengangguk dengan fokus tidak terkendali. Pecah, terbagi dua. “Sudah sampai sejauh mana?” Kucoba mengenyahkan pikiran tentang kemungkinan Lila pergi bersama seorang pria tampan yang lain, selain si bocah sialan itu.

“Beberapa anggota keluarga Heimir mulai mundur untuk turun tangan dalam urusan perusahaan kakak iparmu.”

“Itu bagus.” Tidak menyentuh minuman yang sudah dipesankan untukku itu jauh lebih baik, karena Esme bisa menebak bahwa aku sedang frustrasi karena dirinya jika sampai pulang dalam keadaan mabuk.

“Tapi, Devon …” Troy memajukan sedikit wajahnya ke arahku di tengah kebisingan. “Perusahaan kakak iparmu itu ternyata dulunya bergabung dengan Winter Company?”

“Aku tidak terlalu tahu soal itu. Yah, bukan tidak sama sekali tidak tahu, hanya tidak terlalu mempertanyakannya pada kakak ipar.”

Banyak pembicaraan yang kulewatkan karena posisi Lila yang tadinya ada di sisi kiriku, kini tepat ada di depanku. Berada di balik punggung Troy, beberapa meter. Hingga jelas saja, tatapanku terkunci padanya.

“Troy.”

“Yap?”

“Kau percaya pada ungkapan bahwa semakin kau ingin menghindarinya, maka semakin sering kau akan bertemu dan melihatnya?”

𝐃𝐄𝐕𝐈𝐋: 𝐃𝐞𝐯 & 𝐋𝐢𝐥𝐚 Where stories live. Discover now