Setipis ATM.

149 22 2
                                    

Air mata yang jatuh dalam sujud di sepertiga malam adalah saksi nyata bahwa doa Adara yang tiada terputus untuk kesembuhan sang suami. Ia hanya akan dan terus berharap dari atas sajadah pada Sang Maha Raja Sang Maha Cahaya.

Kekokohan iman di hatinya tak pernah luntur sedikit pun. Terbukti kini lututnya yang masih berbalut kain putih bernama mukena berjingkat menuju tempat tidur sang suami.

"Maafin Adara tadi, Mas. Adara tahu Mas mendengar perkataan Adara pada Arimbi soal kesembuhan Mas yang sebentar lagi." Tangan lembutnya mengusap pipi Pras dengan mata yang masih terpejam dalam temaramnya lampu kamar dan hanya berbekal sinar lampu dari luar menembusi dari jendela kamar. Semilir angin di sepertiga malam yang sejuk setelah hujan mereda di awal malam tadi.

"Mungkin itu bisa jadi doa. Setiap saat aku meminta pada Allah tuhan kita dengan sayyidul istighfar."

Sejenak menatap rona sang suami yang bergeming dengan dengkuran halus. Adara hanya tersenyum dan kembali berjingkat menuju atas sajadah.

Jeritan kasar menggema kamar mengagetkan Adara. Perempuan itu berbalik dan melihat Pras meronta memegangi kepalanya.

"Mas Pras!!!"

Pras sendiri yang entah jiwanya berada di mana tak menggubris teriakan sang istri. Ia hanya terus memegangi kepalanya. Panik bagi Adara, pasti. Beberapa pelayan langsung ia perintahkan memanggil psikiater yang memang menangani Pras.

"Sabar ya, Ibu Adara. Suami ibu masih butuh penanganan khusus. Saya sudah memberinya suntikan penenang dosis rendah," terang dokter kejiwaan yang menangani Pras.

Hampir putus asa rasanya bagi Adara. Bukannya terlihat mulai membaik seperti beberapa hari belakangan,  sang suami malah semakin tak terkontrol.

Tubuh sang bidadari mulai melemah melihat sang suami tergolek tak berdaya. Begitu pun dirinya yang tak berdaya, tubuhnya meluruh ke lantai dari atas kasur samping Pras. Meluruh bersama air mata yang terkuras sepanjang hari.

🍉🍉🍉

Dengan linangan air mata dan helaan napas berat, Adara bersandar melemah di sandaran sofa.

"Mengapa dari dulu, ana hanya sekejap merasakan bahagia? Apa dosa ana besar sekali sampai kebahagiaan yang ana rasakan terasa singkat?"

"Pernah mendengar Antipoda, Ukhti Adara?"

Beberapa waktu lalu, ia sempat menemui Ukhti Novi yang dari dulu menjadi murobinya. Bingung harus ke mana. Kawan seperjuangan yang Adara pikir bisa membantunya menenangkan hati.

Mendengar ulasan sang Murobi, Adara terlihat lesu dan hanya bernapas berat. Ukhti Novi sebenarnya enggan bercerita. Namun keinginan hati mengatakan harus. Ia harus membantu Adara mendobrak kembali semangat keyakinannya yang mulai kendor.

"Antipoda itu tempat di belahan bumi yang berlawanan. Sesuatu yang bertentangan kalo kita bahasakan secara nontekstual."

"Apa perlunya Ukhti bahas itu?" sela Adara.

"Aku tidak bahas antipodanya, tapi sunnatullahnya. Sudah seringkali kita menerima kebahagiaan. Antipoda itu bagian bumi di seberang kita sana, nun jauh di sana. Tapi apa pernah, Allah menciptakan masalah kita seperti Antipoda? Tidak, Ukhti!"

Adara tetap bergeming dan ingin lanjutan kisah sang sahabat sekaligus guru spiritualnya itu.

"Kebahagiaan kita lebih banyak ketimbang sedih susahnya. Jangan ikuti talbis syaiton, bisikan setan," terang Ukhti Novi.

"Ana lelah, Ukh." Merekatkan kedua kelopak mata cukup lama. Merasakan beratnya isi hati. "Ana ingin lepas dari kabut derita ini. Berat nian hamba rasa. Hamba sampai tak berhenti berdoa dari atas sajadah. Berdzikir tiada henti. Rasanya sepi, tak ada jawaban. Mas Pras tetap saja bergeming tak ada perubahan. Justru semakin parah."

Dalam buliran sesak yang semakin deras mengalir, Ukhti Novi sadar, kali ini bukan nasehat yang sahabatnya itu butuhkan. Ia langsung memeluk Adara. Tak ayal, air mata yang jatuh semakin tak terbendung. Kali ini bukan lagi isakan biasa. Ukhti Novi mengusap punggung sang sahabat.

"Tenang, ya, Ukhti Adara. Allah bersama antum, Allah bersama antum."

Tak ada ucapan apa-apa, Adara mulai mereda. "Allah bersama ana?" Lekat kelopak hazel itu menatap Ukhti Novi. Sang murobi lekas mengangguk memberi kepercayaan.

"Ingat kisah Aisyah Radhiyallahu anhu. Ketika beliau difitnah? Nabi mendiamkan beliau menunggu wahyu turun. Siti Aisyah pun dengan sabar dan tenang menunggu jawaban dari Allah. Beliau menunggu, Ukhti, dengan sabar. Allah bersama Antum. Allah bersama orang yang sabar."

Adara menyeka air mata yang terjun ke pipi mengingat nasehat sang sahabat. Hampir saja ia menyalahkan Allah dan berputus asa atas segala rahmat yang selama ini diberikan-Nya.

"Beginilah imanku, Ya Rabb. Setipis kartu ATM," gumam Adara sembari tersenyum sendiri. "Diuji dengan sedikit kepanikan, sudah ingin bunuh diri saja rasanya." Ia tambah melebarkan senyum di bibir mungilnya.

"Kayaknya Mama lagi bahagia?" sapa Arimbi.

Bersambung

(Bukan) Harapan di Atas SajadahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang