CHAPTER 1

7.1K 397 68
                                    

Hidup Rami sangatlah normal. Seperti kebanyakan remaja desa lainnya, Rami melewati pubertas sederhana di perkampungan terpencil yang jauh dari gemerlap kota saat itu; tahun 90-an. Lima belas tahun sudah Rami tinggal di Desa Keruak, daerah Bukit Tinggi Trawang, Kabupaten Praya, Nusa Tenggara Barat. Selepas SMP, Rami mulai rajin membantu orang tuanya berkebun. Merawat ladang jagung warisan turun temurun. Apa boleh Rami buat, gedung SMA terdekat berada 10 Km dari desa. Sekolah sudah jadi angan. Jarak tak tercapai, biaya tak memadai.

Sore ini Rami pulang dari Hutan Trawang dengan sumringah. Buruannya bermacam-macam digendong di bahunya. Kelinci, Ayam Hutan, Ular, dan sekantong buah-buahan, serta tanaman liar yang mereka sebut sayuran.

"Sebentar lagi kami pasti makan enak. Amak dan Inak pasti suka sekali daging ayam ini. Apalagi Nita dan Dian," gumam Rami, sepanjang jalan pulang sambil menggigil kedingingan. Maklum, desa tempat tinggalnya berada di atas gunung.

Hutan Trawang adalah dinding alami. Membungkus Desa Keruak dengan lebatnya pepohonan, dan beragam cerita seram. Walau begitu, satu-satunya akses ke Desa Keruak adalah dengan melewati hutan tersebut. Ada jalan berbatu yang mengular di pedalaman. Jalannya berkelok-kelok menuruni gunung, sekitar 5 Km sebelum sampai di jalan utama Kota Praya. Memasuki tahun 1993, jalan tersebut diperluas agar bisa dilalui kendaraan. Sejak saat itu, Keruak mengalami kemajuan pesat, seperti terjangkaunya jalur listrik, dan segala macam bantuan pemerintah.

"Hei, Rami, mbe wah e laik?"1 Sapa seorang petani yang kebetulan berpapasan.

"Wah ko jok gawah, Pak,"2 jawab Rami, ramah.

"Wah, banyak sekali buruanmu itu."

"Ya, syukurlah, Pak. Sedang beruntung hari ini."

"Ingat, jangan pergi terlalu jauh ke dalam, jangan sampai melewati jembatan!"

"Dendek 3 khawatir, Pak. Saya bisa jaga diri."

Selanjutnya, Rami dan petani itu berpisah di persimpangan empat. Di sana terpampang papan kayu penunjuk arah. Hutan Trawang ke selatan, tebing ke barat, Keruak ke utara, dan Tanah Bangsawan ke timur.

Tidak ada yang spesial di Desa Keruak. Mereka tidak punya hasil bumi yang melimpah, tidak pula wisata yang indah. Namun, setiap pekan selalu ada yang berkunjung ke Hutan Trawang. Seringkali pengunjungnya mampir ke Desa. Konon, di tengah hutan juga dibuat papan yang sama, setelah banyak laporan orang hilang dan ditemukan dalam kondisi sudah tak bernyawa. Tragis.

Ke utara dari persimpangan—sekitar 200 meter, adalah daerah pemukiman. Rumah-rumah penduduk berbaris memanjang ke utara, dikelilingi pagar besi berkawat dan pohon-pohon khas dataran tinggi. Sudah banyak rumah gedung di Keruak. Dampak era pembangunan yang merata. Bahkan Keruak punya sekolah dasar dan menengahnya sendiri. Ada sekitar 100 kepala keluarga di desa itu. Jumlahnya terus meningkat setiap tahun. Sebagian penduduk adalah perantau dari luar desa, bahkan ada yang dari luar pulau.

Sampailah Rami di rumah, dan langsung disambut oleh kedua adik perempuannya.

"Kakak bawa apa?" Tanya Dian.

Rami jongkok sejajar kedua bocah itu.

"Coba tebak. Ekornya pendek, telinganya panjang."

"Kucing!" Tebak Nita penuh semangat.

"Salah."

"Kelinci?" Tebak Nita lagi.

"Hei! Gantian, donk, Kak Nita. Biar Dian yang jawab," rengek Dian, si Kecil yang manja.

"Ya sudah, sekarang Dian yang jawab," Rami mencoba jadi penengah.

"Kelinci!" Jawab Dian dengan suara lucunya.

POST MERIDIEM (TEASER ONLY)Where stories live. Discover now