CHAPTER 2

3.4K 304 14
                                    

"Dua!" Bisik Nita.

"Salah!" Dian balas berbisik.

Dua gadis kecil itu sedang bermain tebak jari, hal yang selalu mereka lakukan setiap malam, sebelum tidur. Selepas pukul 18.00 WITA, segala bentuk aktifitas nyaris lumpuh. Pilihan mereka hanyalah meratapi kebutaan sesaat, atau tidur mempersingkat malam. Atau menikmatinya dengan permainan konyol seperti yang dilakukan Nita dan Dian.

Rami punya cara tersendiri. Seperti biasa, dia menempelkan telinganya pada radio kesayangan, menikmati sayup-sayup alunan musik dengan tingkat Volume hanya satu bar. Bahkan suara cicak lebih nyaring dari suara radionya.Tapi tak masalah, Rami sudah terbiasa.

"Sekarang berapa?" Kali ini giliran Nita.

Tetiba seseorang menggenggam tiga jari Nita, lalu berbisik pelan di telinga gadis itu.

Tiga!

"Ah, Inak curang, tidak boleh pegang!" Rengek Nita.

Sepertinya Bu Riana mulai bosan dan memutuskan bergabung dengan kedua putrinya. Permainan mereka sederhana, yakni meletakkan jarinya di depan wajah, lalu lawan akan menebak berapa jari yang diacungkan. Oleh karena rumah sedang gelap, lawan hanya bisa menebak-nebak berdasarkan insting saja, dan jika salah menjawab, maka wajahnya harus dicoret ampas kopi. Sanksi yang sama juga berlaku apabila jarinya berhasil ditebak.

Pak Jafar tersenyum dalam gelap. Mengabadikan kehangatan itu dengan telinganya, karena matanya sedang tidak bisa melihat. Canda tawa istri dan anaknya cukup memberi warna, dalam dunia yang sedang serba hitam itu.Sedetik kemudian, senyumnya redup. Pak Jafar merenungkan nasib. Berpikir dalam keputusasaan.

Sampai kapan kami hidup seperti ini? Cahaya membenci kami, sedangkan gelap melindungi. Sampai kapan?

Saat itu angin sedang kencang-kencangnya berembus. Bisa Pak Jafar dengar bunyi gemeretak di atap rumahnya, dan itu cukup membuatnya waswas. Saat alam semakin beringas, hunian mereka justru semakin rapuh. Dan, diantara kedua musibah itu, ada sesuatu yang menyelinap dalam gelap. Sesuatu yang tak terlihat dan tak tersentuh.

Pak Jafar mendesis.

"Pelankan suara kalian!" Tegurnya.

Seketika semua terdiam, membisu dan tidak bergerak. Rami mematikan radionya. Bu Riana memeluk kedua putrinya yang mulai gemetar. Terasa jantung mereka berdentam sedikit lebih cepat.

"Inak," Rengek Dian.

"Jangan takut, ada Inak di sini," Bu Riana coba menenangkan.

Suara kursi berdecit, pertanda Pak Jafar mulai bangkit. Kemudian langkah kakinya terdengar menjauh. Pak jafar sedang berjalan sembari meraba-raba dinding, sebelah tangannya menghunus belati. Dengan gugup, dia mendekati jendela dapur. Di sanalah dia menaruh curiga akan suara aneh yang didengarnya barusan. Pak Jafar mengintip melalui celah kecil, sedang memastikan bahwa suara yang dia dengar tidak seperti yang dia takutkan. Gelap. Tidak ada yang bisa Pak Jafar lihat kecuali bayang-bayang desa yang sedikit disinari cahaya bulan.

"Amak?" Panggil Bu Riana.

"Diam dulu!" Tegur Pak Jafar, pelan.

Setelah beberapa saat, Pak Jafar kembali ke tempat duduknya. Bu Riana bisa mendegar suara kursi digeser merapat ke dinding, tempat dimana suaminya biasa duduk.

"Tidak ada apa-apa. Sepertinya malam ini pun aman," Ujar Pak Jafar, menenangkan.

Terdengar suara hela napas yang nyaris serempak, yang mereka tahan sejak Pak jafar meninggalkan tempat duduknya tadi. Semua merasa lega, hingga tanpa sadar Dian dan Nita cekikikan.

POST MERIDIEM (TEASER ONLY)Onde histórias criam vida. Descubra agora