CHAPTER 3

5.5K 319 60
                                    

Suara pintu mobil ditutup dengan keras, disusul deru mesin mobil tua yang seolah terbatuk-batuk karena dipaksa jalan. Pikap hitam melaju pelan meninggalkan seorang Bu Riana yang melambai-lambai melepas kepergian Suami dan anak pertamanya ke kota. Kemudian, terdengar suara retak sebuah benda, sama retak dengan hati Rami saat itu. Radio kesayangannya hancur dilindas ban mobil, adalah hukuman sang Bapak atas kecerobohan Rami malam tadi.

"Radio bisa Kamu beli lagi, tapi nyawa kedua adikmu tidak. Camkan itu, anak ceroboh!"

Rami melirik laki-laki kekar berambut cepak dan berkumis tipis dipadu jenggot yang kasar. Ayahnya memang keras, tapi dia benar. Setidaknya dalam banyak hal dimana Rami selalu salah. Kembali Rami buang muka menatap ke luar jendela, mencoba menelan sakit hatinya dan menerima kecerobohannya.

Bukan kali pertama barang berharga Rami hancur di tangan Ayahnya. Pernah layangan Rami dirobek Pak Jafar gara-gara Rami bermain sampai lewat dari pukul empat sore. Rami masih ingat, dan setiap kali ingat, sakit hati Rami kumat. Pernah juga Pak Jafar melepas burung tangkapan Rami, setelah lebih dari dua bulan Rami memeliharanya diam-diam. Rami bahkan rela berlama-lama di Hutan Trawang untuk mencari pakan. Pak Jafar murka. Burung itu dilepas dari sangkar, Rami pun dikurung di kamar. Tapi, semakin dewasa, semakin Rami mengerti, bahwa dirinya memang bersalah. Kalaupun Rami benar, Rami tetap harus mengaku salah. Kecuali dia ingin betisnya dipecut rotan.

Pagi itu, berdua mereka menuju kota mengendarai Pikap milik salah seorang kerabat. Perjalanan yang akan sangat panjang, ditemani alunan musik dangdut yang sebenarnya tidak Rami suka. Jenis musik yang bukan seleranya. Kalaupun saat ini Rami sedang bergoyang, itu karena jalanan desa yang berbatu dan banyak lubang. Ini pertama kalinya Rami ikut ke kota. Dia dengar kalau jalanan di tengah hutan jauh lebih parah. Nantinya, Rami harus siap bergoyang lebih hebat. Membayangkannya saja sudah membuat Rami mual.

"Baru berangkat mukamu sudah pucat. Yang benar saja! Seingat Amak, anak pertama Amak itu laki-laki. Amak ingat juga waktu dia sunat dulu. Masih adakah burungnya sekarang?"

Kembali Rami membuang muka, menatap ke luar jendela mobil, mencoba menelan rasa mual dan menerima kelemahannya sendiri.

"Mau kemana Tuak?" Sapa seorang tetangga yang sedang menyiram halaman.

Pak Jafar hanya melambaikan tangan ke kanan dan kiri.

Kalau saya bilang mau ke kota, orang-orang ini pasti minta ikut. Atau paling tidak, titip sesuatu untuk dibeli. Ah, saya tidak punya waktu untuk itu.

"Mau buang sampah ke hutan. Ikut, kah?" Jawabnya sambil tertawa. Tawa yang sinis.

Melewati barisan rumah terakhir, mobil itu sampai di persimpangan. Ada sebuah menara jaga yang menjulang tinggi. Disokong empat kaki besi, dengan tangga mengular sampai ke atas. Di ujung menara adalah pos jaga. Empat pengeras suara berbentuk corong terpasang di sekeliling, menghadap ke empat arah berbeda. Dari sanalah suara Sirene berasal.

Pak Jafar disambut oleh Penjaga Menara. Setelah mengobrol sebentar, dia pun dipersilahkan lewat. Pak Jafar menambah sedikit kecepatan, lurus ke selatan melewati gerbang Desa Keruak, dan menuju ke Hutan Trawang.

***

Desa Keruak punya pasar. Lokasinya lumayan jauh dari rumah Bu Riana. Bertempat di sebuah tanah lapang tak terpakai yang mulai ditumbuhi rumput sepanjang lutut. Ada kiranya belasan pedagang yang menjajakan barang dagagangan hampir sejenis. Bisa dibilang, warga pergi ke pasar untuk membeli hasil buminya sendiri.Ada beberapa pedagang daging, dan ternak, itupun dengan jumlah yang terbatas. Kesiangan sedikit saja, sudah pasti tidak kebagian.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 14, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

POST MERIDIEM (TEASER ONLY)Where stories live. Discover now