Bab Delapan

4.7K 303 1
                                    

Yasinta POV

Gue bisa melihat dengan jelas wajah kekagetan Rama. Tentu saja dia kaget. Gue adalah orang terakhir yang ditemui Sinta sebelum dia meninggal.

“Gue hanya bertemu dengan Sinta dua kali. Saat pemakaman Kak Galih, dan saat itu.” Kata gue.

“Lu... kenapa lu bicarain ini?” tanya Rama bingung.

“Hanya untuk menyelesaikan masalah.” Kata gue.

“Masala-...”

“Ram, gue tau gue emang ga pantes bilang apapun ke lu karena gue masih tujuh belas tahun. Tapi, gue harap lu mau dengerin gue.” kata gue memotong kata-kata Rama.

Rama bingung, tapi kemudian dia mengangguk.

“Sinta cerita ke gue banyak hal hari itu. Lu yang tampan, pintar, baik dan luar biasa. Lu yang jago bela diri dan olahraga. Lu yang bisa bermain gitar, piano dan biola. Lu yang suka makan es krim cokelat. Lu yang ga pernah suka alkohol dan rokok. Lu yang ga tertarik dengan wanita seksi tapi lebih memilih wanita biasa saja. Sinta sayang banget sama lu.” Kata gue.

Rama masih saja diam.

“Sebaiknya lu kurangi, dan kalau bisa... lu berhenti minum alkohol. Dan kalau bisa lagi... “ gue berhenti memberi jeda.

Gue pandang wajah Rama. Matanya menatap gue dan menunggu gue untuk melanjutkan bicara.

“Lu hidup dan berbahagia buat bagian Sinta juga.”

Mungkin gue memang terlalu banyak bicara. Tapi, gue hanya merasa sedih karena Rama menjalani hidupnya dengan sia-sia. Tak tahukah dia kalau Kak Galih saja menikmati setiap detiknya sebelum akhirnya dia meninggal karena leukemia? Tidak tahukah dia kalau masih banyak orang yang menyayanginya dan menginginkan keberadaannya?

“Ternyata lu bawel dan sok tau ya? Gue kira lu pendiem.” Kata Rama yang sukses membuat gue kaget.

“Maaf.” Kata gue melepaskan kontak mata dari Rama.

“Gue udah berhenti minum sejak gue ketemu sama lu terakhir kali, dan ...”

Dan?

“Dan gue mungkin akan berusaha buat hidup dan berbahagia untuk bagian Sinta. Gue sendiri lelah hidup kayak gini, tapi gue ga tau harus gimana.”

Gue masih diam. Menatap Rama dan menunggu Rama melanjutkan kata-katanya. Rama terlihat sedih. Sorot matanya ... sorot matanya menunjukkan dia sedang menyembunyikan sesuatu yang sangat besar dan sulit.

“Well, thanks lu udah nganterin gue pulang berkali-kali dari klub malam.” Kata Rama mengalihkan pembicaraan.

 Gue hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Mungkin hal mengenai Sinta adalah hal tersensitif yang tidak akan pernah bisa gue bicarakan. Rama terlalu sedih dan menutup diri dari kenyataan yang ada.

Gue jadi ingat hari itu. Tepat sebulan setelah kematian Sinta, gue ketemu Rama di klub malam. Rama duduk sendirian di bar dan minum entah berapa banyak gelas.

Flashback

“Sin, lu belum mau pulang? Gue sama Rei udah mau balik nih. Lu kan tadi mau cepet-cepet pulang.” Kata Jessi, sahabat gue.

Gue menatap Jessi dan menggeleng.

“Jes, lu duluan aja deh. Nanti gue suruh supir gue jemput.” Jawab gue.

“Ck. Pasti gara-gara cowok ganteng yang duduk di bar itu. Dari tadi lu ngeliatin cowok itu mulu. Wow!” Goda Jessi.

Gue hanya tersenyum tipis. Tak lama, Rei datang dan menggandeng Jessi pergi. Tinggal gue sendiri duduk di pojokan. Gue hanya bisa menghembuskan nafas pelan.

Loving You #4 : Rama & SintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang