Adam Willy dan Sebuah Luka di Tubuh Keluarganya - B. B. Soegiono

77 8 0
                                    

Judul : Adam Willy dan Sebuah Luka di Tubuh Keluarganya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Judul : Adam Willy dan Sebuah Luka di Tubuh Keluarganya

Penulis : B.B. Soegiono

Koran/Tanggal: Koran Tempo, 14-15 Desember 2019

Cuplikan:

35 tahun // daku terlantar // mengumpat rindu dalam gorong-gorong bangunan // atap rumah / menyeberang pulau jauh // menembus dinding kapal terakhir kita // siapa anak kecil bersembunyi di kamarmu? // pegang bunga teluki / kering / di kantong bajunya // memburu mimpi kalap // menatap genting bolong / dan wanita menangis / tanpa suami // [1].

Curhat sedikit
Ini pertama kalinya saya kembali membaca cerpen koran lagi, setelah berminggu-minggu hiatus karena masalah akademik. Saya bukan lagi remaja ingusan yang menunggu PR-nya diperiksa guru-guru untuk dicoreti pulpen merah/biru. Sekarang saya sudah harus menghadapi skripsi, berjalan di semester akhir, dan berharap semuanya baik-baik saja sampai wisuda nanti menjemput.

Rangkuman Pembacaan
Adam Willy dan Sebuah Luka di Tubuh Keluarganya, menurut saya, secara garis besar bercerita tentang seorang wartawan yang ditugaskan ke daerah perang di tahun 1965. Sebagai tahun penting pemberontakan G30S/PKI, guncangan pun tercipta. Tokoh 'kau', harus berpisah puluhan tahun dengan keluarganya karena paspornya direnggut, sebab berada di negara penganut komunisme.

Kelebihan cerpen ini adalah, diksi-diksinya padat merayap. Antar satu kalimat dengan kalimat lain, berjejalan metafora yang memperkaya khasanah perbahasaan pembaca—yang mungkin bagi sebagian orang terkesan berlebihan. Misal:

Ketika seorang datang mendobrak pintu kamarmu. Pada saat itu juga kedua tangan telah berbungkus darah, berlulur air mata yang banjir dari kedua pipi yang keriput, dirundung rasa bersalah atas perpisahan tanpa perceraian. Kau merasa sangat hina dan keji, menelantarkan anak dan istrimu. Yang tak pernah kau bayangkan sewaktu meminta pamit di teras depan rumah. Sebelum pada akhirnya, waktu yang menghakimi perceraian kalian.

Bagi saya pribadi kalimat-kalimatnya terlalu padet, sampai satu titik sulit dicerna. Saya harus bolak-balik membaca kalimat-kalimat sebelumnya untuk kembali ke jalur pembacaan dan memahami peristiwa yang disuguhkan.

Kekurangan lainnya, cerpen ini terlalu luas mengambil lampu sorot. Ada waktu sekitar 35 tahun lebih berlangsung di dalam tulisan ini, mulai dari sang wartawan pergi, terpaksa berpisah dengan keluarganya, harus mengungsi dari negara satu ke negara lain demi menyalamatkan hidup, sampai bertemu lagi dengan Mora dan Halyani. Anehnya, di ujung pertemuan, penulis justru mengakhirinya dengan tragis dengan membuat mereka saling membunuh. Kejadian tragis itu diromantisasi dengan tulisan pengakuan berlumur darah di balik secarik puisi yang harusnya ia bacakan di depan keluarga.

Padahal saat pertemuan keluarga berlangsung pun, rasanya sudah pas. Sehingga ada rasa 'mengganjal' yang sulit hilang ketika mencapai ending. Rasanya seperti, sudah selesai makan bebek penyet, tiba-tiba datang lagi ayam kalasan. Belum selesai menyantap ayam kalasan, mendadak pelayan membawanya pergi dan kita kebingungan.

Kesimpulan, kesannya penulis kewalahan mengolah idenya sendiri. Di awal dia bagus, semakin ke belakang keteteran dan akhirnya cuma menuliskan sepenggal-sepenggal dari kisah 35 tahun tersebut.

Lain-lainnya, cerpen ini termasuk apik. Walau belum sampai ke kategori 'luar biasa' untuk saya. Ketertarikan saya mengulas cerpen ini karena judul dan awalannya yang berbentuk puisi. 

13.38/24.12.2019

A P R E S I A T O R  [Kumpulan Review]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang