Sepuluh

56.8K 12.9K 1.1K
                                    

Anjani buru-buru memakai ranselnya setelah berada di luar ruangan BK. Pertemuan para orangtua dan wali murid itu akhirnya selesai dengan baik, meskipun orangtua Katrin tidak muncul sampai mereka semua bubar.

Ibu Michael sangat suportif dan jelas-jelas membela Rayan, sedangkan Julian yang ternyata adalah wali si kembar yang ponselnya menjadi korban emosi adiknya itu tidak banyak bicara. Dia sepertinya hanya hadir sebagai pelengkap saja. Seperti pengamat yang tekun menilai situasi. Anjani beberapa kali meliriknya untuk melihat reaksi laki-laki itu pada Rayan, tetapi tidak banyak yang bisa dibaca dari rautnya yang tenang.

Jakarta ternyata tidak seluas yang selama ini dipikir Anjani. Buktinya, dalam kurun waktu sebulan dia bisa bertemu orang asing yang sama beberapa kali. Seharusnya Alita yang mengalami momen seperti ini, karena itu pasti bagus untuk perkembangan novel yang dia tulis. Dia pasti akan menganggap pertemuan itu sebagai tanda-tanda dari semesta. Penulis seperti Alita pintar mendramatisir keadaan. Mungkin karena segmen pembacanya adalah perempuan. Dan diakui atau tidak, sebagian besar perempuan menyukai drama. Bisnis penerbitan novel roman, musik balad, Kpop, Kdramaland, Hollywood, dan Bollywood mendapatkan keuntungan mereka dari dompet-dompet perempuan yang terbuka lebar untuk drama di telinga dan mata.

"Langsung balik ke kantor?" Ruth menyentuh lengan Anjani.

"Iya, Bu." Anjani menyesuaikan langkah dengan ibu Michael. Sebenarnya dia ingin bicara soal ponsel yang dibeli Michael untuk mengganti ponsel yang dirusak Rayan, tetapi rasanya sungkan, apalagi setelah melihat berapi-apinya perempuan baik hati ini membela Rayan. Mungkin nanti saja, setelah uang untuk mengganti harga ponsel itu terkumpul. Anjani toh sudah punya kartu namanya. Mengungkit soal itu sekarang saat belum punya uang rasanya seperti membicarakan angan-angan. "Terima kasih Ibu sudah ikut datang walaupun sebenarnya nggak harus."

"Saya hanya punya satu anak. Tentu saja saya harus datang karena Michael minta saya datang. Apa yang penting untuk Michael, itu juga penting untuk saya. Dan Rayan penting banget untuknya. Mencari teman itu gampang, tapi menjaga dan mempertahankan persahabatan nggak mudah. Di saat-saat tertentu, ego terkadang menguasai dan mengambil alih akal sehat kita. Hanya orang yang benar-benar peduli dan sayang kepada kita yang bisa bertahan menghadapi kita di saat-saat seperti itu. Oh ya, ibu kamu gimana kabarnya? Kata Rayan, dia sempat masuk rumah sakit ya?"

Rasanya masih tetap ajaib mendengar Rayan menceritakan tentang keluarganya kepada orang lain, tetapi kali ini Anjani senang karena cerita adiknya itu positif. "Sudah baikan, Bu. Terima kasih."

"Michael minta saya jenguk, tapi saya khawatir suasananya akan canggung karena kita belum saling kenal. Kalau sudah kenal begini kan lebih enak. Salam buat ibu ya?"

"Akan saya sampaikan, Bu." Mereka sudah hampir sampai di tempat parkir. "Sekali lagi terima kasih sudah bicara untuk Rayan."

Ruth tidak menanggapi ucapan terima kasih itu. Dia menunjuk mobilnya. "Mau sekalian?"

Anjani tersenyum dan ganti menunjuk tempat parkir motor yang terpisah. "Saya naik motor ke sini, Bu."

"Pantesan kamu pakai ransel gitu." Ruth tertawa. "Pasti enak dibawanya kalau naik motor. Nggak repot, nggak bikin bahu sakit sebelah, dan muat banyak barang. Kayaknya sih. Saya belum pernah naik motor atau pakai ransel. Waktu muda dulu, yang pakai ransel hanya laki-laki, dan bentuknya memang maskulin semua. Tren mode memang luar biasa."

Anjani ikut tertawa dan membalas lambaian Ruth yang kemudian menuju mobil yang pintunya sudah dibuka oleh sopir. Sebagai penghargaan, dia menunggu sampai mobil itu berlalu sebelum bergegas ke tempat parkir motor.

"Hei...," suara itu menghentikan langkah Anjani. Julian tiba-tiba sudah berada di sampingnya. Tadi Anjani dan Ruth keluar dari ruang BK lebih dulu karena Rayan dan Michael langsung ngeloyor pergi begitu gurunya mengizinkan, sedangkan Julian ditahan oleh adik kembarnya.

"Ya...?" Anjani mengernyit. Apa yang diinginkan Julian? Bukankah ponsel adiknya sudah diganti? Oleh Michael memang. Namun, kalau ibu Michael saja yang mengeluarkan uang tidak mau hal itu diketahui orang lain, mengapa Anjani harus menjelaskan hal itu?

Julian mengusap dahi, tampak tidak nyaman, sebelum akhirnya berkata, "Sebenarnya adik saya nggak minta ponselnya diganti. Dia sudah bilang sama saya dari kemarin."

"Rayan sudah merusak barang temannya. Memang harus diganti," Anjani mengulangi ucapannya di ruang BK tadi. "Dia harus belajar soal tanggung jawab. Besok-besok dia akan berpikir dua kali sebelum melakukan kesalahan yang sama. Saya minta maaf karena...," Apakah Julian harus dipanggil dengan sebutan "Mas" atau "Bapak"? Anjani menggeleng. Kenapa dia harus repot-repot memikirkan panggilan untuk Julian yang mungkin saja tidak akan ditemuinya lagi? Dia buru-buru melanjutkan, "karena kecerobohan Rayan bikin kita harus dipanggil datang ke sekolah." Dia menunjuk tempat parkir. "Saya harus pergi sekarang."

"Naik motor?" Julian ikut melihat arah telunjuk Anjani.

Helikopter. Sudah tahu masih tanya. Rupanya otak si Julian kualitasnya tidak sebagus tampangnya. Kabar buruk untuk Alita karena dia selalu menulis tokoh utama laki-laki yang cerdas. Nilai marketplace si Julian akan sulit mencapai tahapan decacorn dengan kapasitas otak seperti itu. "Iya, motor. Roda dua, pakai mesin."

"Motor sebenarnya bukan kendaraan yang aman untuk perempuan."

Anjani hampir memutar bola mata mendengar kalimat absurd itu. Julian akan dicincang dengan senang hati oleh puluhan juta perempuan pengguna motor kalau berani mengucapkan kalimat itu di depan komunitas pengguna motor. Pengguna Honda dan Yamaha yang selama ini bersaing akan bersekutu membuat Petisi untuk menyingkirkan laki-laki ini ke Antartika. "Kami perempuan bisa belajar keseimbangan sama baiknya dengan laki-laki kok. Roda dua sama sekali bukan masalah. Motor praktis sih karena bisa nyelip-nyelip saat macet, masuk gang, dan bisa diparkir di teras sempit. Dan percayalah, harganya nggak semahal mobil."

Julian tersenyum. "Apa saya barusan terdengar sebodoh yang saya pikir sekarang?"

Anjani ikut tersenyum. "Menggunakan gender untuk menilai sesuatu memang nggak kedengaran pintar sih. Tapi biasanya orang bodoh malah nggak pernah sadar kalau dirinya bodoh kok. Jadi ya...." Dia mengedik tidak melanjutkan.

Julian tertawa. Dia sekali lagi mengusap dahi. "Ini mungkin akan kedengaran lebih konyol sih, tapi kita bertemu sebelum ini. Bukan bertemu yang bertatap muka dan ngobrol kayak gini sih. Lebih tepatnya saya pernah lihat kamu sebelumnya."

Anjani tentu saja tidak akan mengakui kalau dia dan teman-temannya pernah menggosipkan Julian saat melihat laki-laki itu nongkrong di kafe yang sama. "Oh ya?"

"Tadi saya baru ingat kalau pernah lihat kamu di sekolah ini saat menjemput Shera waktu dia sakit. Saya juga pernah lihat kamu di kafe dan di lobi kantor. Kamu kerja di gedung Purbaya juga?"

Anjani menggeleng. "Nggak. Saya ke sana untuk mengantar dokumen bos yang ketinggalan saat dia meeting." Dia melirik pergelangan tangan. Dia harus segera kembali ke kantor.

"Ooh... saya pikir kamu kerja di sana juga. Jadi, kamu kerja di mana?"

"Sebentar." Anjani melepas ransel untuk mengambil ponselnya yang berdering. Dia meringis saat melihat nama bosnya muncul di layar. Dia mendengarkan sejenak sebelum menjawab dengan beberapa kalimat pendek. Setelah mengakhiri percakapan dia mengangkat kepala dan melihat Julian masih berdiri di tempatnya. "Saya harus pergi sekarang. Sekali lagi, maaf karena Rayan bikin kita semua jadi nggak nyaman."

"Saya nyaman-nyaman saja kok."

Anjani kembali meringis. "Kalau begitu seharusnya kita tukar posisi karena saya malah nggak terlalu nyaman sering-sering dipanggil guru BK." Dia buru-buru melanjutkan langkah menuju tempat parkir. Baru beberapa langkah, dia lantas berhenti. Julian masih mengiringi langkahnya. "Ada apa lagi?" tanyanya ragu.

"Setelah bertemu empat kali, rasanya malah aneh kalau saya belum tahu nama kamu." Julian mengulurkan tangannya.

Anjani melihat tangan itu sejenak. "Bisa jadi kita nggak akan bertemu lagi setelah ini."

"Kita belum pasti soal itu, kan? Tapi nggak ada salahnya kenalan. Jadi saya akan tahu harus panggil kamu siapa kalau kita memang ketemu lagi."

Anjani mengedik dan menjabat tangan laki-laki itu. "Anjani."

"Dhyastama. Dhyast."

Baiklah. Dia bukan Julian lagi sekarang. Anjani langsung menertawakan pikirannya.

Chasing Upik AbuWhere stories live. Discover now