Tiga Puluh Satu

67.5K 13.5K 750
                                    

Anjani melihat tangannya yang bertautan dengan Dhyast saat mereka berjalan bersisian menuju restoran di mal. Itu hanya gestur sederhana, dan Dhyast sepertinya tidak menyadari tautan jari-jari mereka karena tatapannya lurus ke depan. Dia bersikap seolah itulah yang seharusnya dilakukannya saat mereka jalan berdua, menggenggam tangan Anjani untuk meyakinkan bahwa Anjani memang berada di sisinya.

Tautan tangan itu terlepas ketika mereka duduk berhadapan di meja restoran dan memegang buku menu yang disodorkan pelayan.

"Ibu beneran sudah baik?" tanya Dhyast setelah pelayan yang mencatat pesanan mereka berlalu.

"Beneran sudah baik kok. Makasih." Anjani menyentuh jari Dhyast sejenak. Ini untuk kedua kalinya laki-laki itu menanyakan kabar ibunya sejak menjemputnya di kantor tadi. Itu pertanyaan tulus, bukan basa-basi.

"Makasih untuk apa? Yang merawat Ibu kan dokter sama perawat di rumah sakit, bukan aku."

"Tapi yang membayar biaya perawatan kan Mas Dhyast. BPJS Ibu cuma kelas 3, nggak bisa di top up ke VIP kayak kemarin. Juga untuk makanan yang Mas bawa buat aku dan Rayan." Selama beberapa hari ibunya dirawat, Dhyast rutin membawakan makanan. Kalau dia tidak sempat karena benar-benar sibuk di kantor, dia akan mengutus sopir untuk melakukannya.

"Aku nggak nanyain kondisi Ibu karena mengharap ucapan terima kasih sih. Rasanya nggak enak dengar kamu bilang terima kasih terus, kayak kita orang lain saja."

Kali ini Anjani menggenggam tangan Dhyast lebih erat sambil tersenyum. "Jangan ngomel gitu, nggak cocok untuk karakter Mas Dhyast. Ucapan terima kasih itu spontan terucap setiap kali menerima pertolongan orang lain, siapa pun dia. Mama mengajarkan itu sejak aku kecil. Katanya, berterima kasihlah saat menerima sesuatu dari orang lain, meskipun kamu membayar untuk itu. Minta maaflah saat kamu sadar telah melakukan kesalahan pada orang lain. Itu doktrin yang sudah menempel di kepalaku. Sama sekali bukan untuk membuat Mas nggak nyaman."

"Tapi aku tetap saja nggak nyaman dengarnya, karena kamu ngucapinnya seolah aku lebih berjasa daripada para dokter dan perawat di rumah sakit." Dhyast balas menggenggam tangan Anjani. "Kita nggak usah ngomongin ini lagi deh."

"Iya... iya, nggak diomongin lagi." Anjani mengalah. "Senyum dong. Kalau muka Mas serius gitu, rasanya seperti aku lagi diomelin Pak Purnomo karena kerjaanku nggak beres."

Sudut bibir Dhyast spontan mencuat. Ekspresi seriusnya luntur. "Memangnya kamu sering diomelin Pak Purnomo?"

"Belum pernah sih. Pekerjaanku nggak pernah nggak beres." Bibir Anjani ikut mencuat. "Jangan sampai kejadian deh, aku takut banget dipecat. Cari kerja sekarang ini sulit banget. Dan kalaupun dapat, harus mulai adaptasi lagi. Aku sudah nyaman banget di kantor sekarang."

Dhyast bisa saja mengatakan kalau dia bisa mencarikan pekerjaan di kantornya untuk Anjani, tetapi dia menahan diri. Kesannya superior, dan Anjani benar soal adaptasi itu. Anjani juga pasti akan tidak nyaman kalau rekan kerjanya tahu dia mendapatkan pekerjaannya karena hubungan mereka.

Setelah makan dan keluar dari restoran, Dhyast menahan langkah Anjani saat mereka melewati toko kue.

"Kita beli brownies untuk Rayan ya?" Nadanya bertanya, tetapi kakinya sudah masuk ke toko. "Resep brownies di sini mungkin beda dengan yang biasa kamu bikin, tapi kata Shiva, enak kok. Dia juga lumayan pemilih sama makanan, jadi rekomendasinya biasanya bisa dipercaya."

Perhatian Dhyast benar-benar membuat Anjani tersentuh. "Aku mungkin sudah sering bilang ini, tapi makasih sudah sabar menghadapi Rayan ya."

"Rayan belum beneran menerima aku dengan tangan terbuka, tapi seenggaknya, dia nggak mendengus lagi saat ketemu aku." Dhyast tertawa. "Aku nggak yakin dia tipe yang mempan disuap, tapi namanya juga usaha. Mungkin saja setelah beberapa buah brownies, kami nanti bisa nge-game bareng. Kata guru TK aku dulu, harapan dan cita-cita itu harus setinggi langit. Harapan dan usaha yang sejalan hasilnya pasti maksimal. Jadi orang harus optimis, kan?"

Chasing Upik AbuOnde histórias criam vida. Descubra agora