Open Up

1.2K 176 13
                                    

Semburat jingga menjadi tontonan utama Thala kali ini, entah karena dia ingin menikmati senja seperti yang sering dilakukan oleh anak senja atau karena gadis itu tak memiliki kegiatan lain untuk membuat pikirannya teralihkan. Gadis itu kembali menghela napas untuk kesekian kali hari ini. Ada banyak penyesalan yang bersarang di otaknya.

Dia menyesal telah meluapkan semuanya pada Kenzo, harusnya dia mengerti keadaan Kenzo bukan menyamakannya dengan keadaannya yang berharap akan keluarga. Hal itulah yang membuatnya menghindari Kenzo beberapa hari ini. Bukan karena marah atau kesal, tapi malu dan merasa bersalah. Sekarang yang ada dipikirannya adalah bagaimana cara agar dia bisa kembali berbaikan dengan Kenzo yang sayangnya tak akan terwujud karena sifat dasarnya yang selalu menghindar.

"Kamu nggak apa-apa Tha?" tanya Yuna yang malah membuat Thala bertanya-tanya apakah dia tak menyembunyikan perasaannya dengan baik atau Yuna yang terlalu peka.

"Nggak apa-apa, emang kenapa?"

"Kayaknya beberapa hari ini saya lihat kamu sering banget hela napas kayak ada masalah." Thala memberikan senyuman terbaiknya untuk membuat Yuna percaya bahwa dia baik-baik saja.

"Tenang aja, aku nggak apa-apa kok."

"Syukur deh kalau gitu, saya pikir ka—" ucapan Yuna terhenti ketika seseorang membuka pintu.

Ketika Yuna dan Thala mengamati manusia yang datang bersama Cherry dan Jane, mereka berpikir keras apa ada teman mereka yang tampak begitu gagah seperti itu?

"Lala," panggil orang itu hingga Thala tercekat.

"Kenzo?" Gadis itu tak percaya bahwa orang yang memakai baju perempuan itu adalah Kenzo, padahal dulu Kenzo pernah merajuk pada mamanya hanya karena menguncir rambutnya yang panjang karena tak ingin seperti perempuan.

"Kenzo?" Yuna membeo, dia ingat pernah melihat Kenzo dan menurut ingatannya Kenzo adalah lelaki bukan perempuan.

"Well, sekarang silahkan kalian bicara. Yuna, ayo pergi." Jane mengajak Yuna pergi meninggalkan dua orang itu untuk bicara.

"Duduk," suruh Thala.

"Kenapa pakai baju kayak gitu? Kamu pasti nggak nyaman." Kenzo mengangguk masih menatap Thala yang kini mulai menunduk.

"Iya, memang nggak nyaman. Tapi, ini satu-satunya cara biar aku bisa ketemu kamu." Thala akhirnya memberanikan diri menatap Kenzo yang sudah bersiap menatap manik coklat milik Thala.

"Sorry, La."

"Nggak, kamu nggak salah. Aku yang lagi sensitif dan kayak anak kecil." Thala kembali memperlihatkan senyum itu, senyum yang selalu ingin Kenzo hapus dari wajah gadis itu. Senyum yang seolah mengatakan semuanya baik-baik saja, tapi jauh di dalamnya ada yang hancur. It's broken smile.

"Kenapa kamu harus selalu menekan emosi kamu sih La? Itu bukan karena kamu sensitif ... that's me who being jerk. I am sorry."

"No, you are not. Aku beneran lagi sensitif dan aku lampiasin itu semua ke kamu. Harusnya aku consider sama perasaan kamu, tapi aku malah nyalahin kamu. Aku ... aku nggak dewasa."

"Kita emang belum dewasa, La." Kenzo mengambil tangan Thala untuk dia genggam.

"Dan saat ini kita nggak perlu jadi dewasa. Kita cuma perlu jadi bahagia. Kita masih 19 tahun, kita masih perlu jadi anak-anak dan bahagia sebelum menjadi manusia dewasa yang banyak beban. Jadi, dibanding kamu merasa bersalah karena nggak bisa jadi dewasa lebih baik kamu merasa bersalah karena nggak bahagia." Senyum Thala terkembang, Thala sadar bahwa ucapan Kenzo benar, mereka memang belum dewasa dan mereka juga tak harus menjadi dewasa.

"Nah gitu dong senyum." Thala kembali melebarkan senyumannya, kali ini gadis itu berhasil membuang salah satu beban yang ada di punggungnya.

"So, sekarang kita baikan?" tanya Kenzo dan anggukan dari kepala Thala adalah respon yang dia tunggu. Gadis itu memaafkannya.

"Baikan."

"Yes!" Tawa Thala keluar dan dengan senang hati Kenzo menyambut dan menemani tawa itu dengan miliknya, bahkan dalam tawa sekalipun dia tak ingin Thala sendirian.

"Tha, kamu butuh pelukan nggak?" Kenzo merentangkan tangannya siap jika Thala ingin memeluknya.

"Kenapa tiba-tiba?" kekeh Thala tak mengerti dengan maksud Kenzo.

"Kata Mama, kalau orang sedih berarti hatinya sedang dingin dan dia butuh pelukan biar hatinya hangat."

Thala tak mungkin lupa kata-kata itu, dulu Dara sering mengatakan itu pada Thala dan mama Kenzolah yang sering menghangatkan hati Thala yang dingin.

"Apa aku kelihatan sedih?" tanya Thala. Kenzo tersenyum dan menurunkan tangannya. Seperti yang ia tahu, Thala menggunakan topengnya kembali.

"Dari luar nggak, tapi dari dalam iya. Kamu pikir cuma karena kamu senyum aku nggak tahu kalau kamu lagi banyak pikiran?" Thala tersenyum ternyata di dunia ini masih ada yang bisa membaca rasa yang dia simpan.

"Kamu nggak harus senyum terus La, ada kalanya kamu keluarin semua emosi kamu. Mau marah, nangis. Nggak ada yang bakal muji kamu walaupun kamu nahan tangis, dan nggak ada yang bakal bilang kamu lemah hanya karena kamu nangis. Kamu nangis itu tandanya kamu manusia punya perasaan," kata Kenzo mendekat ke arah Thala mengelus jemari Thala pelan.

"Aku udah nangis kok, lama banget sampai aku capek." Thala masih menatap pintu seakan yang dia ajak bicara adalah pintu di sana bukan Kenzo.

"Kamu mau cerita, atau lebih butuh hiburan atau pelukan?" Thala tersenyum kecil, Kenzo selalu paham dirinya dan tak pernah memaksa Thala untuk bercerita.

"Karena kamu diam aja, berarti kamu lebih butuh hiburan. Oke, aku bakal cerita kalau gitu." Thala kembali mengalihkan perhatiannya ke Kenzo yang tampak berpikir cerita apa yang harus dia katakan untuk menghibur Thala.

"Jadi, kemarin aku ikut kelas, terus setelah setengah jam masuk kelas dan—"

"Mama dateng abis kita datang acara kuliah umum." Kenzo tampak kaget tatkala Thala tiba-tiba bercerita.

"Dia minta aku berhenti kuliah dan pulang ke Bandung." Thala mengambil oksigen untuk mengurangi rasa berat pada dadanya meskipun itu sama sekali tak berpengaruh.

"Kami berantem hebat saat itu, dia bilang aku bukan keluarganya lagi." Senyuman palsu Thala kembali keluar dan Kenzo tak menyukainya. Lelaki itu mengelus jemari Thala, dia yakin bahwa untuk sekarang hanya itu yang bisa dia lakukan untuk Thala.

"Aku pikir itu cuma ancaman, kamu tahu, 'kan seorang ibu nggak mungkin buang anaknya." Kenzo mengangguk, bahkan ibu singa pun tak akan menelantarkan anaknya.

"Tapi, itu bukan ancaman Ken. Mama ngasih surat kuasa ke Papa, dan minta biar aku dimasukin ke kartu keluarga Papa. Mama buang aku, seperti ucapannya." Thala berhenti sejenak, dia perlu mengatur hatinya ketika bicara tentang luka dihatinya hingga tak menyadari ada buliran yang merayap di pipinya. Kenzo menyeka air mata yang turun di pipi Thala sementara sang pemilik hanya tersenyum sendu.

"Papa. Dia bilang dia nggak mau masukin aku ke KK-nya karena keluarga barunya nggak bisa nerima aku. Aku dibuang Ken, aku dibuang sama mereka." Kali ini Thala tak berniat menyembunyikan tangisannya, dia tahu bahwa Kenzo tak keberatan mendengarkan tangisannya, terbukti bagaimana tangan lelaki itu membawa Thala ke pelukannya.

"Itu alasan aku kenapa marah sama kamu kemarin. Aku iri sama kamu dan Keanu yang punya kesempatan buat punya keluarga. Sementara aku nggak. Aku juga mau punya keluarga. Aku mau punya rumah. Aku mau tempat buat pulang." Kenzo mengerti bahwa rumah yang dimaksud oleh Thala bukanlah rumah dalam bentuk bangunan, tapi orang tempat dia merasakan kehangatan. Sebuah keinginan kecil, tapi bagi Thala itu adalah hal yang mewah.

"Kamu bisa anggap aku rumah kamu, La," kata Kenzo membawa kepala Thala untuk bersandar di bahunya.

"Aku bisa jadi tempat kamu pulang. Kamu bisa ngadu apa aja sama aku. Aku bakal jadi rumah kamu." Kepala Thala tergerak untuk melihat Kenzo, meneliti setiap ekspresi Kenzo mencari apakah lelaki itu bersungguh-sungguh atau hanya sekedar kalimat untuk menenangkan Thala. Namun dalam pencarian itu Thala hanya menemukan niat tulus Kenzo. Kini yang ada di benak Thala adalah apakah dia boleh menjadikan Kenzo rumahnya?

✅♛❀𝑸𝒖𝒂𝒊𝒏𝒕𝒓𝒆𝒍𝒍𝒆❀♛ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang