ISTD 13

22.4K 1.2K 115
                                    

Suara tangisan yang hampir tak terdengar itu memenuhi ruangan dengan tembok semen yang tidak di cat. Sebuah kipas keluaran lama yang menggantung di deknya memutar lambat, Oris berdiri di samping wanita tersebut sambil memperhatikan pergerakannya yang kian melemah.

Lagu yang sudah terputar puluhan kali dari radio kecil di ruangan tersebut meredam suara ringisan gadis bernama Fidea, gadis dengan umur tujuh belas tahun yang sudah di kurung Oris lebih dari kurun waktu tiga bulan. Mata Fidea terus tertuju pada ekspresi datar milik Oris, wajah yang tak memiliki semangat hidup itu terus menatap dirinya menggunakan mata redup yang di balut kacamata berbingkai silver.

"Kau menyerah, Fidea?" suara berat itu menggema di telinga Fidea, gadis itu tak menjawab. Menurutnya lebih baik mati secara langsung daipada di terus merasakan sakit ketika dagingnya di sayat dengan pisau secara perlahan dan di paksa bertahan dan bergerak selama 6 jam. "Kita masih punya waktu dua jam," sambung Oris.

Fidea masih tak menjawab, ia terus menatap Fidea dengan lekat. "Hei... ada apa?" Oris membungkukkan tubuhnya, "kau marah?"

Airmata Fidea jatuh, menyapu darah di pipinya. "...kenapa kau lakukan ini padaku Oris?" tanya Fidea, matanya berbinar, jelas dari tatapannya kalau sekarang ia tengah kecewa, terkejut, takut dan sedih secara bersamaan. Oris tak menjawab, kedua sudut bibir pria itu tertarik ke atas, ia membelai pipi Fidea dengan lembut, membuat darah yang membasahi pipi gadis itu tersapu mengikut ujung jari-jarinya.

"Itu karena... kau kabur dariku." Jawab Oris,

"Aku... aku tidak kabur Oris, aku di sini." Ujung jari Fidea menyentuh lengan kemeja Oris, bersamamu ...." sambungnya.

Oris tak merespon, senyumannya memudar. Kini wajahnya menjadi datar, ia juga mengangkat jari-jarinya dari pipi Fidea, pria itu membawa pandangannya ke belakang, cukup lama ia memperhatikan sebuah palu yang tergeletak di atas lantai semen kotor.

"Ini akan sakit," ucap Oris, tangannya menjangkau palu. "Tapi aku berjanji aku tidak akan memakan dagingmu seperti saat kau melihatku makan daging manusia seperti sebelumnya."

Fidea tak merespon, ia hanya mengalirkan airmata sambil terus menatap wajah Oris, wajah yang tidak mungkin main-main dengan ucapan yang barusaja ia katakan. Palu itu sudah terangkat ke udara, siap turun kapanpun untuk menghancurkan tempurung kepala Fidea.

"Sayonara ...."

Brugh!

Brugh!

Brugh!

ISTD

"Waktu engkau kau lepaskan... berdebar hati di dada ...."

Lagu klasik terputar dari radio yang Oris letakkan di atas meja. Rambut hitam bergelombang milik Jasmine masih menitikkan air, dres putih dengan lengan panjang pemberian Oris begitu pas di tubuh kecilnya, flat shoes warna hitam pudar yang juga di dapatnya dari Oris melekat sempurna di kaki Jasmine. Mereka  sekarang tengah duduk berhadapan, dengan sebuah hidangan daging semur.

"Bagaimana?" tanya Oris, ia menatap Jasmine dengan lekat.

Jasmine tersenyum, jujur saja ia merasa malu mengingat pakaian dalam yang di pakainya saat ini dari Oris. "P,pas ...." jawab Jasmine malu. Oris terdiam, ia tak lagi berbicara. Sedetik kemudian, ia menjangkau sendok lalu mengaut sepotong daging berukuran sedang ke piring milik Jasmine, "cobalah..." ucapnya kemudian.

Jasmine mengangguk, ia menjangkau garpu di sampingnya lalu menusuk daging berwarna cokelat yang terhidang di atas piringnya, Jasmine menggigitnya sedikit. Segera senyuman mengukir di bibirnya, "seperti biasa... kau koki yang hebat Oris, ini enak." Ucap Jasmine di sela kunyahannya. Oris tak bereaksi, ia terus menatap Jasmine dengan lekat.

I SAW THE DEVIL ✔ (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang